Kamis, 11 Juli 2013

Ridwan Kamil dan Utopia Sebuah Kota



Ahda Imran, penyair dan esais

SETAHUN setelah harian ini menganugerahinya “Pikiran Rakyat Award 2012” untuk kategori “Tokoh Muda Kreatif”,  Ridwan Kamil memenangi Pilwalkot Kota Bandung 2013.  Usianya 42 tahun. Mungkin ia walikota termuda dalam sejarah Kota Bandung.  Inilah kali pertama Bandung dipimpin oleh seseorang di luar apa yang telah menjadi “tradisi” sejak masa Orde Baru, yakni, pensiunan tentara atau birokrat. Bahkan, kecuali diusung oleh partai politik yang mencalonkannya, pula ia bukanlah seseorang yang selama ini diidentifikasi sebagai politikus, aktivis partai, atau anggota sebuah ormas yang ditautkan dengan partai politik tertentu.  

Ia selama ini lebih dikenal sebagai arsitek dengan sejumlah gagasan serta proyek arsitektur ruang perkotaan di tengah perkembangan masyarakat urban. Ringkasnya, ia berasal dari luar lingkaran kekuasaan dan pemerintahan. Tak memiliki referensi pengalaman apa pun perihal jaringan birokrasi kekuasaan atau pemerintahan. Ini menjadi menarik, sebab  kekuasaan niscaya bersoal dengan bagaimana kekuasaan itu dijalankan. Terlebih manakala kekuasaan itu dijalankan sonder referensi pengalaman, termasuk ihwal tata kelola pemerintahan atau watak dan etos kerja birokrasi.      


Bagi sekalangan orang ini dianggap genting dan mendebarkan. Apalagi untuk secepatnya berharap dia  mampu membenahi berbagai kondisi Kota Bandung yang centang-perenang. Pesimisme itu masuk akal. Apalagi memimpin sebuah kota tidaklah serupa dengan mendesain atau merancang suatu gedung. Memimpin kota ialah mengurus sebuah ruang administrasi politik beserta khalayak di dalamnya, dengan beragam hasrat dan kepentingan yang kudu dilayani. Belum lagi bila ditautkan dengan kenyataannya sebagai suatu jabatan politik, sehingga niscaya ada banyak ihwal yang harus dikompromikan.

Tentu saja itu benar. Tetapi, datang sebagai yang bukan bagian dari jaringan kekuasaan dan lingkaran birokrasi pemerintahan, atau sebagai yang liyan di ranah politik, tidaklah lantas menyebutnnya tanpa referensi. Sekurang-kurangnya, jaringan kekuasaan, lingkaran birokrasi pemerintahan dan politik semacam itu, bukanlah referensi tunggal. Maka, tampilnya yang liyan tanpa referensi kekuasaan, birokrasi pemerintahan, dan jaringan politik, menjelaskan betapa seluruh referensi semacam itu dianggap tak lagi mencukupi, untuk tak menyebutnya menjenuhkan.

Lepas dari beragam gugatan dari calon lainnya, tampilnya yang liyan memimpin Bandung merupakan bentuk ketakpuasan khalayak pada jaringan kekuasaan dan pemerintahan selama ini. Referensi pengalaman berada dalam lingkaran kekuasaan atau jaringan pemerintahan dan politik, telah kehilangan sugestinya di hadapan fakta betapa kota ini tumbuh tanpa utopia. Agaknya hasrat pada utopia itulah yang membuat orang memilih yang liyan.


Kota Tanpa Utopia
Dalam pengertiannya yang negatif,  utopia itu eskapisme. Angan-angan yang tidak berkesesuaian dengan kenyataan  Sebaliknya, utopia menjadi suatu keperluan demi membangun mimpi dan cita-cita bersama, tanpa lantas menjadi jargon. Kekecewaan   Gubernur DKI Joko Widodo pada pelaksanaan Pekan Raya Jakarta (PRJ) 2013, sehingga ia mengadakan even Pesta Rakyat di Monas, disadari atau tidak,  merupakan bagian dari desain strategi membangun sebuah utopia ihwal rakyat sebagai subjek kotanya.

Kota bukanlah melulu ruang geografis. Melainkan lebih bersoal dengan ruang khalayak yang minta dimaknai sebagai subjek. Tak ada yang lebih mendebarkan ketimbang kota yang dipimpin tanpa utopia ke arah itu. Kota yang gagal ialah kota tanpa utopia. Kota yang tumbuh dengan agenda kebijakan yang tak berasal dari ruang khalayak sebagai subjek cita-cita dan mimpi bersama. Alih-alih mendesain sebuah utopia, kota yang gagal lebih disibukkan  oleh beragam produksi ungkapan yang dalam praktiknya tak lebih sebagai jargon.

Sebutlah, ungkapan “Kota Seni Budaya” yang sekadar ditandai oleh ramainya pertunjukan Doger Monyet di persimpangan jalan, bangunan-bangunan bersejarah  yang dihancurkan,  massifnya komersialisasi ruang publik. Atau ini; ungkapan “Kota Bermartabat” seraya pembesar kotanya dililit kasus korupsi. Juga “Kota Jasa” tapi  kondisi jalannya jelek dan banyak sampah. Fakta semacam ini membuat ruang khalayak menjadi apatis dan pesimis. Akhirnya tak ada cita-cita dan mimpi bersama, kecuali cita-cita bersama di antara pengusaha dan penguasa. 

Subjek Otonom yang Kreatif

Sulit menemukan alasan untuk tidak menyebut bahwa  Bandung ialah kota tanpa utopia. Terlebih mentautkannya pada relasi arsitektur ruang kota dan ruang khalayak. Arsitektur ruang di kota ini lebih merepresentasikan ideologi pembangunan yang transaksional dan pragmatis bagi hasrat budaya konsumsi, ketimbang menaruh ruang khalayak sebagai subjek. Seraya bersikap apatis pada pihak pengelola kota, khalayak akhirnya membangun ruang subjek otonominya lewat beragam komunitas kreatif.  Walhasil, manakala sekira tahun 2008 didapuk oleh lembaga internasional seperti BBC sekira tahun 2008 sebagai “Kota Kreatif” di Asia, pertanyaan “Siapakah yang kreatif, warga atau pemerintah kotanya”, tentu saja sangat mudah dijawab.

Menyusur masa silam Kota Bandung di tengah berbagai perubahan, dinamika, dan karakter khalayaknya, sangatlah tak masuk akal bila kota ini tak bisa memiliki sebuah utopia. Mimpi bersama seluruh individu warga kota ihwal kotanya. Namun, utopia ini akan kembali sekadar menjadi jargon sepanjang itu tidak dimulai dari lingkaran birokrasi pemerintahan. Mimpi dan cita-cita bersama manakala etos para pengelola kota menjadi bagian dari komunitas kreatif, dengan desain kebijakan yang memosisikan ruang khalayak sebagai subjek.

Dan tampaknya inilah yang akan menjadi kerja besar walikota yang baru. Sebagai orang yang liyan di tengah lingkaran birokrasi pemerintahan dan tak memiliki referensi pengalaman, tentu saja ini bukan tugas yang mudah. Namun, menjadi bagian dari khalayak komunitas kreatif  merupakan referensi yang tak kalah pentingnya. Hadirnya yang liyan dalam tradisi kepemimpinan di Kota Bandung, baik pula dibaca bahwa utopia itu sedang dimulai.

“Jika ingin memperbaiki sistem, maka masuklah ke dalam sistem”. Meski ungkapan lama itu terasa klise namun baik diingatkan pada Ridwan Kamil,  bahwa di dalamnya terdapat pertanyaan yang genting;  Apakah Anda yang mengubah sistem, atau justru Andalah yang diubah oleh sistem? Dan sejumlah fakta menunjukkan, yang terakhir itulah yang lebih banyak terjadi.  Tabik, Tuan Walikota!**      


Catatan: Dalam versi pemuatan, tulisan berjudul "Utopia Suatu Kota"    






Tidak ada komentar:

Posting Komentar