Rabu, 08 Mei 2013

“Kolong Meja” Hanafi




Oleh AHDA IMRAN

TAK ada yang aneh dengan kolong meja. Selain tempat orang menjulurkan kakinya sambil duduk mengerjakan semua urusan di atas meja, tak ada yang kudu dipersoalkan dengan kolong meja. Semua persoalan dan urusan berlangsung di atas meja. Meja merupakan sebuah “arena”, tak hanya pekerjaan dan urusan pribadi. Tapi juga perbincangan, perjanjian dan mufakat atau kesepakatan sosial yang semuanya berawal serta diresmikan di atas meja.  Oleh sebab itu, meja akhirnya kerap pula dipahami bukan melulu sebagai benda, namun suatu metafora, representasi dari realitas yang sudah menjadi kesepakatan dan bisa dijelaskan. Maka tak ada yang lantas menjadi penting dengan ruang yang berada di bawahnya, yakni, kolong meja. Ruang yang bukan sebuah “arena” melainkan melulu kegelapan.

Namun mengabaikan kolong meja adalah penyangkalan terhadap sesuatu yang niscaya, sesuatu yang bersembunyi di balik realitas dan melakukan manipulasi, bahkan di atas meja ia menyaru menjadi realitas. Sesuatu yang berada di balik berbagai kesepakatan yang berlangsung di atas meja, namun yang tetap tak bisa terjelaskan. Sekali pun di atas meja hijau, kekuatan yang ada di kolong meja itu bisa menyaru menjadi keputusan atau mufakat hukum. Sehingga realitas di atas meja hijau sesungguhnya, meminjam ungkapan Yasraf Amir Piliang, tak lebih dari sekadar mengadili bayang-bayang. 

Kolong meja ialah ruang yang selalu luput diperiksa, dan  karena itulah diam-diam ruang itu telah berpindah ke atas meja. Sementara meja itu tetap tak bergerak dan semua berlangsung seolah baik-baik saja.  Metafora serupa ini menyaran pada kesadaran betapa kian peliknya membedakan kenyataan yang sesungguhnya dan kenyataan yang dikonstruksi oleh sebuah kesepakatan di bawah meja. Ruang di kolong meja telah melakukan migrasi besar-besaran ke atas meja.

Bila mentamsil Indonesia adalah sebuah meja, sulit menyangkal betapa fenomena inilah yang kini berlangsung. Meja yang menjadi arena berlangsungnya berbagai perselingkuhan sosial, politik, hukum, moral, dan etika, yang seluruhnya kian rumit sehingga orang tak lagi tahu; apakah ia berada di atas meja atau di kolong meja. Terlebih manakala media telah menjadi panglima.  

Inilah yang kini tengah menjadi kesibukan pelukis Hanafi, memikirkan dan merenungi kolong meja. Hasilnya berupa duapuluh lukisan dengan objek berukuran rata-rata 2 x 2.20 Cm dan dua karya instalasi.  Kolong meja sebagai tema tak hanya ia hadirkan dalam sejumlah karya terbarunya , melainkan ingin pula menjadi semacam penawaran ihwal diskursus praktik-pemaknaan atas ruang. Ruang yang selama ini dianggap tak lazim dan luput diperiksa sebagai metafora yang merepresentasikan adanya kenyataan liyan yang menyelubungi segala yang berlaku di atas meja.  Ini menarik, karena sekurangnya ajakan itu membetot pemikiran ke arah pengamatan kritis ihwal bagaimana hasrat-hasrat terselubung manusia melakukan konstruksi nalar atas kenyataan.  

Akan banyak contoh soal bila mesti menyebut berbagai isu dan peristiwa di negeri ini yang tak menjelas apa pun kecuali keniscayaan bahwa ada sesuatu di balik semua itu. Sesuatu yang bergerak dari kolong meja. Mulai dari isu dan peristiwa politik, hukum, ekonomi,korupsi, kekerasan sampai yang terkesan remeh temeh, seperti kasus Eyang Subur.  Maka kolong meja yang diusung Hanafi seolah merupakan penawaran ihwal cara memandang seluruh kesepakatan kita di atas meja, bahwa ada ruang di bawah meja yang selama ini tak pernah kita periksa dalam menatap realitas. 

Neon di  Kolong Meja
Di atas meja, semua urusan atau kesepakatan dihadirkan, legal-formalnya mudah diidentifikasi. Tapi apa yang bergerak di kolong meja sangat jarang dipersoalkan.  Meski kolong meja yang teramat dekat dengan tubuh setiap orang, ruang itu sangat jarang  diterangi agar tak menjadi gelap. Mengambil metafora itulah Hanafi lalu menyiapkan sebuah karya instalasi berupa meja dengan lampu penerang yang ditaruh di bawah meja.

Seraya menjadi semacam ajakan agar orang memeriksa kolong meja, karya ini tengah memeriksa hasrat gelap manusia yang tersembunyi jauh dari permukaan meja. Dalam konteks budaya kuasa yang sedang riuh berlangsung, karya ini sedang memperkarakan apa yang semestinya kini mendesak dikerjakan. “Sekarang”, kata Hanafi,  “Soalnya bukan lagi bagaimana memproduksi janji-janji di atas meja, tapi bagaimana mengurus kolong meja. Sekarang korupsi itu bisa terjadi di atas meja, tentu bersama koloni-koloninya nya; itu terjadi di atas meja.”

Di kolong meja segala ihwal sangat sulit untuk diikuti. Ada banyak gerak yang tidak mudah terjelaskan dan dimaknai, sebagaimana kegelapan yang banyak sekali jenisnya. Di dalamnya ada banyak praktik-praktik tak terduga yang diam-diam mengemuka ke atas meja dan kerap mengotori hakikat dari suatu permufakatan. Perihal ini, Hanafi mengemukakannya dalam tulisan pengantar kuratorial Jim Supangkat pada pameran tunggalnya “Enigma”(2007), “Perjanjian tentang segala hal tidak bisa dipegang karena kita tidak bisa memastikan perjanjian yang tidak muncul sebagai perjanjian. Perjanjian selalu terjadi di atas meja, tapi kita tidak tahu perjanjian yang ada di kolong meja.”

Dalam pameran tunggalnya yang sedang dipersiapkan tahun ini, “Migrasi Kolong Meja”, Hanafi hendak menating kisah ihwal ingatan banyak orang pada banyak ragam permufakatan yang hakikatnya telah diselewengkan oleh permufakatan segelintir orang. Orang-orang yang bersembunyi di dalam gelap, di bawah meja. 

Di atas meja, semuanya telah kehilangan hakikatnya sebagai sebuah mufakat demi kebajikan bersama. Mufakat ihwal politik dan demokrasi, misalnya, yang kian kehilangan hakikatnya karena lebih direcoki oleh berbagai mufakat kekuasaan para elite di bawah meja. Sehingga yang tersisa di atas meja hanyalah politik demokrasi yang prosedural, yang tinggal kulitnya.

Untuk merepresentasikan hal tersebut, di atas kanvasnya Hanafi sengaja tak mengubah posisi objek meja. Meja tetap dihadirkan kukuh berdiri. Baginya, ini semacam kesengajaan untuk menghadirkan ironi yang terjadi, beralihnya berbagai kesepakatan gelap dari bawah meja ke atas meja. Dan dalam pandangan Hanafi seluruhnya terjadi dalam peristiwa yang ritmik, mulai dari pemilu, pilkada, dan berbagai peristiwa kesepakatan lainnya.  Kegelapan yang selalu melahirkan kegelapan berikutnya, dan semua terus merambah tidak hanya di bawah meja tapi juga di bawah kursi.

“Dan semua ruang yang berada di bawah meja itu menjadi fenonema di atas seluruh dinamika yang kita gambarkan sebagai yang tak ada persoalan,” kata Hanafi.

Kolong meja ialah ruang keseharian yang dekat benar dengan tubuh setiap orang.  Semua kehadiran bermula dan berlangsung di atas meja. Tetapi, sangatlah pelik untuk memastikan apakah benar semua berada di atas meja, atau sesungguhnya yang terjadi adalah hasil dari kesepakatan di bawah meja? Entahlah, ini soal hasrat di balik politik realitas. Tapi satu hal yang jelas, tulisan ini dikerjakan di atas meja yang juga mempunyai kolongnya. **   

Sumber: Pikiran Rakyat, 5 Mei 2013





















Tidak ada komentar:

Posting Komentar