Minggu, 24 Mei 2015

Mey Tak Pernah Bisa Menulis Cerita Ini



Oleh  Ahda Imran

Utami Dewi Godjali
Ketika Mey  memulai cerita ini dengan adegan orang mati yang mendatangi Istana Presiden, tiba-tiba saja Bapak muncul dalam kepala Mey. Menghadang dan menyeret orang mati itu keluar sebelum mencapai gerbang istana,  memasukkan tubuh yang penuh bekas penyiksaan itu ke dalam drum, menutup drum dengan cara mengelas, memberinya pemberat, membuangnya ke laut. Tak ada yang bisa dilakukan Mey, selain membayangkan bahwa ia tak bisa lagi menemukan orang mati itu sepanjang hari berdiri di bawah pepohonan, di tepi jalan, memandang lurus ke arah Istana Presiden.
Yang tinggal hanya sebatang pohon itu, tumbuh bersama ingatan Mey pada orang mati dan peristiwa kematiannya.  Tidak, bukan sebatang pohon. Kau tahu bukan, ada banyak lagi pohon serupa itu, tumbuh di tepi jalan, di seberang Istana Presiden. Dalam bayangan Mey pohon-pohon itu memiliki batang dan dahan yang hitamnya menyerupai arang. Jika hujan turun, air di seluruh pepohonan itu menjadi merah, menetes atau bergelayutan di daun dan dahannya. Bila kau melewatinya lalu tempias datang dari arah pepohonan itu, kau akan terkejut menemukan pakaianmu dipenuhi percik darah.   
            Bapak mustahil tidak mengetahui hubungan Mey dengan pohon itu. Tetapi, Bapak membiarkan pohon itu tetap tumbuh sekaligus mengawasi pertumbuhannya, memangkasnya jika ranting dan dahan-dahannya sudah kelewat rimbun. Bapak tak pernah berpikir untuk menebangnya. Dan itu sengaja dilakukan Bapak untuk menyakiti ingatan Mey.
Kau tahu bukan, Bapak tak pernah berubah. Sejak kecil Mey menemukan Bapak sebagai orang yang pandai bersiasat, bukan hanya mengawasi tetapi juga menciptakan ingatan bagi Mey, Adik, dan Ibu.   
Bahkan Bapak bisa menciptakan ingatan dari sebatang pohon tomat. Ini pernah terjadi ketika Bapak membunuh kucing kesayangan Mey dan Adik. Seorang pembantu diam-diam memberitahu bahwa ia melihat Bapak mengubur berbisik mengubur kucing itu hidup-hidup di halaman samping rumah, meski cerita Bapak  kucing itu, mati tertabrak truk sewaktu lari ke jalan.
Mey menduga Bapak melakukannya bukan hanya karena Si Meong, kucing itu, sering berak di dalam rumah sehingga beberapa kali tahinya terinjak Bapak, tetapi ia memang tidak menyukai Mey dan Adik terlalu menyayangi kucing itu. Atau, mungkin ada sebab lain yang Mey tidak tahu. Yang terang, Bapak hanya mengatakan bahwa ia sudah mengubur kucing itu dan menanam sebatang pohon tomat di atasnya. 
            Mey dan Adik mememandang pohon tomat itu, tumbuh di atas kubur kucing kesayangan mereka. Semakin tumbuh besar, pohon tomat itu semakin menghubungkan ingatan Mey dan Adik dengan Si Meong, sehingga pernah Adik bercerita bahwa ia ditertawakan temannya-teman karena mengatakan kucingnya berubah jadi pohon tomat.
            Ketika pohon tomat itu berbuah lebat, Mey dan Adik  membiarkan tomat-tomat bergelantungan di batang pohonnya dengan indah. Ibu lalu memasang kayu penyangga agar di dahan pohon itu tidak rubuh karena digelantungi oleh buah-buahnya. Suatu hari Bapak memetik buah-buah tomat  itu, lalu dengan sengaja memakannya bulat-bulat di depan Mey dan Adik.  Bapak menggigit dan mengunyah tomat  besar dari pohon yang akarnya menghisap sari makanan dari tubuh Si Meong dengan lahap, perlahan, sambil memandang ke arah Mey dan Adik dengan wajah puas. Mey dan Adik  terpaku ngeri melihat air tomat itu berleleran dari mulut Bapak, menetesi pakaiannya, bening sedikit kemerahan seperti cairan tubuh Si Meong. Dan itu sudah cukup membuat Adik menjerit-jerit… .
            Ibu dan Bapak lalu bertengkar. Ibu akhirnya membiarkan Bapak terus berteriak-teriak dari loteng. Mey dan Adik tak mengerti apa yang dikatakan Bapak. Mey ketakutan sambil memeluk Adik, memandang Ibu yang mengambil parang, menebang dan membuang pohon tomat itu bersama semua buahnya. Bapak berdiri di teras loteng.
Sebulan setelah itu Bapak membawa seekor anjing untuk Mey dan Adik.  Anjing kampung warna hitam dengan airnya liur yang selalu menetes. Entah dari mana Bapak mendapatkan binatang yang keliahatan tak terurus itu. Walau tak terbiasa dengan anjing, Mey dan Adik akhirnya merasa senang juga bermain dengan binatang itu. Bapak lalu memberi nama anjing itu “Fao”.   “Nama yang pantas untuk seekor anjing, bukan?” kata Bapak pada Ibu, Mey dan Adik setuju, ibu hanya diam.  
Kesenangan Mey dan adik bermain dengan anjing itu tidak pernah membuat Bapak marah. Bapak selalu tertawa senang setiap kali melihat anjing itu menyalak-nyalak dan mendekat jika namanya dipanggil.  Ia tertawa keras dan terdengar berlebihan. Saat itu Adik berpikir Bapak ternyata lebih senang mereka memelihara anjing ketimbang kucing, Mey setuju dengan pikiran Adik.
Malah Bapak sering menyuruh Mey atau Adik menggoda Ibu dengan membawa Fao ke dekatnya. Mereka senang sekali melihat Ibu bersikap serba salah dan tergesa menjauh pergi, menutup pintu kamar. Mey dan Adik menduga mungkin Ibu memang tidak suka pada anjing seperti Bapak tidak menyukai kucing.  Sampai suatu kali ketika Mey dan Adik melakukannya lagi, wajah serta suara Ibu membuat kedua anak itu terdiam, kaget, takut.  ”Tanyakan pada dia, mengapa tidak sejak dulu dia menguburku hidup-hidup!”  Mey dan Adik merasa tidak sedang berhadapan dengan Ibu.
 Dan dikemudian hari barulah Bapak mengatakan pada Mey dengan puas mengapa ia dulu memberi nama “Fao” pada anjing itu. “Fao adalah nama lelaki yang pernah menjadi kekasih gelap Ibumu!”  
Mey ingin menceritakan hal itu pada Adik, tetapi Mey tidak tahu di mana adik lelakinya itu berada, bahkan hingga bertahun-tahun kemudian. Diam-diam Mey merasa Bapak sudah melakukan sesuatu yang buruk pada Adik. Bapak memang selalu menganggap Adik suka menghasut, merongrong, bahkan berani menentang Bapak. Mey bertambah cemas ketika suatu hari Bapak menanam sebatang pohon tomat di halaman samping rumah.

                                                                    **
 Mey memanggil pelayan, memintanya membawa kembali pesanannya yang baru datang untuk menyingkirkan irisan-irisan tomat dari makanannya. Mey melarikan pandangan ke luar sewaktu pelayan mengangkat piring makanan berisi irisan tomat itu dari meja. Di luar, dari ketinggian tingkat sebuah gedung di mana kafe itu berada, ia melihat garis-garis hujan yang melayang berjatuhan, deras seperti jutaan anak panah. 
Setelah pelayan itu menghilang, Mey memanggil pelayan yang lain, memesan menu yang lain, sambil mengatakan agar pelayan sebelumnya tidak perlu membawa kembali makanannya tadi.  “Sebaiknya dia membawakan saya segelas air putih daripada membawa lagi makanan yang sudah terkena irisan tomat itu,” kata Mey. 
Irisan-irisan tomat itu telah menghubungkan Mey dengan Bapak. Seseorang yang sejak kecil Mey tak pernah mengenalnya melebihi segala ingatan buruk tentang loteng. Loteng yang pelan-pelan mengubah Bapak menjadi sesuatu yang tak pernah dikenali, selalu mengirimkan bisikan-bisikan yang menakutkan. Bisikan yang menjadi amarah ketika ia ditentang sebagaimana Mey selalu mengingatnya, ketika tiba-tiba rumah dipenuhi api. Dalam kobaran api Mey melihat  tubuh Ibu hangus terbakar, di tengah suara Bapak yang tertawa sambil menyeret dan menindih tubuh Mey.
Mey menatap halaman kosong layar laptopnya, setelah tadi ia menghapus alinea pertama cerita ini. Orang mati itu dicegat Bapak sebelum mencapai gerbang Istana Presiden. Kau pasti paham benar, Bapak mustahil membiarkan seseorang menghidupkan kembali orang mati itu meski Mey hanya ingin menuliskannya dalam suatu cerita. Mey hanya boleh memiliki masa lalu sebagaimana Bapak menginginkannya sebab masa lalu hanya milik Bapak.  Untuk Mey, Bapak hanya memberi masa lalu berupa ingatan tentang orang-orang mati dan seorang anak. Anak perempuan yang lahir tanpa lidah.
Semestinya Mey hidup dengan masa depan di kota yang lain. Mey bukan tidak tahu bahwa itulah yang juga diinginkan Bapak agar ia pergi dan melupakan kota itu, satu-satunya cara untuk keluar dari ingatan yang dikuasai Bapak. Mey hanya tersenyum setiap kali pikiran itu muncul, seakan ingatan itu berupa lorong yang terputus ketika kau memasuki kota yang lain. Mey tahu bahwa sebenarnya ia diam-diam sedang menentang Bapak, bertahan di kota itu untuk menerima semua ingatan tentang masa lalu, untuk merebutnya dari Bapak.
                                                          **
Tetapi, nyatanya Mey harus menghapus adegan dalam alinea pertama cerita ini. Mey tak bisa merebut ingatan itu dari Bapak. Ia tak berani berbuat apa pun, membiarkan Bapak menyingkirkan orang mati itu ke dasar laut yang paling gelap sebelum mencapai gerbang Istana Presiden.  Selama belasan tahun, setiap sore Mey mendatangi kafe itu untuk menulis cerita ini dengan aline pertama yang selalu dihapusnya kembali dan ditulisnya kembali di hari berikutnya, lalu berjam-jam ia hanya memandangi halaman kosong laptopnya dengan tangan yang terkulai lemas. Bapak selalu muncul dari arah yang tak terduga dalam ingatan Mey.
Di luar hujan telah reda dan pelayan di kafe itu hafal benar kebiasaan Mey; menutup laptopnya, meminta segelas air putih lagi, memandang ke luar, lalu meminta bill. “Ceritanya sudah selesai, Tante?” Begitu selalu pelayan bertanya meski ia sudah tahu jawaban Mey, “Besok, besok, Tante akan datang lagi, sedikit lagi ceritanya selesai.” Hari itu Mey mengucapkannya dengan suara perlahan.
 Mey tidak menuju basement mengambil mobilnya. Ia terus berjalan menuju sebatang pohon yang tumbuh di tepi jalan, di seberang Istana Presiden. Pohon tempat orang mati itu berdiri menatap Istana Presiden. Hanya pohon itu yang tersisa sebagai ingatan Mey karena Bapak selalu menyembunyikan orang mati itu di dasar laut, juga orang-orang mati lainnya. Dan ketika kau sampai di kalimat terakhir sebuah cerita yang tak pernah bisa ditulis oleh Mey, Mey sedang berdiri di bawah pohon itu, memandang dan berjalan ke arah Istana Presiden. Lalu Bapak….**

Sumber: Kompas Minggu, 24 Mei 2015  
       


      




Tidak ada komentar:

Posting Komentar