Oleh Ahda Imran
Utami Dewi Godjali |
Yang
tinggal hanya sebatang pohon itu, tumbuh bersama ingatan Mey pada orang mati
dan peristiwa kematiannya. Tidak, bukan
sebatang pohon. Kau tahu bukan, ada banyak lagi pohon serupa itu, tumbuh di
tepi jalan, di seberang Istana Presiden. Dalam bayangan Mey pohon-pohon itu
memiliki batang dan dahan yang hitamnya menyerupai arang. Jika hujan turun, air
di seluruh pepohonan itu menjadi merah, menetes atau bergelayutan di daun dan
dahannya. Bila kau melewatinya lalu tempias datang dari arah pepohonan itu, kau
akan terkejut menemukan pakaianmu dipenuhi percik darah.
Bapak mustahil tidak mengetahui hubungan Mey dengan pohon
itu. Tetapi, Bapak membiarkan pohon itu tetap tumbuh sekaligus mengawasi
pertumbuhannya, memangkasnya jika ranting dan dahan-dahannya sudah kelewat
rimbun. Bapak tak pernah berpikir untuk menebangnya. Dan itu sengaja dilakukan
Bapak untuk menyakiti ingatan Mey.
Kau
tahu bukan, Bapak tak pernah berubah. Sejak kecil Mey menemukan Bapak sebagai
orang yang pandai bersiasat, bukan hanya mengawasi tetapi juga menciptakan
ingatan bagi Mey, Adik, dan Ibu.
Bahkan
Bapak bisa menciptakan ingatan dari sebatang pohon tomat. Ini pernah terjadi
ketika Bapak membunuh kucing kesayangan Mey dan Adik. Seorang pembantu
diam-diam memberitahu bahwa ia melihat Bapak mengubur berbisik mengubur kucing
itu hidup-hidup di halaman samping rumah, meski cerita Bapak kucing itu, mati tertabrak truk sewaktu lari
ke jalan.
Mey
menduga Bapak melakukannya bukan hanya karena Si Meong, kucing itu, sering
berak di dalam rumah sehingga beberapa kali tahinya terinjak Bapak, tetapi ia
memang tidak menyukai Mey dan Adik terlalu menyayangi kucing itu. Atau, mungkin
ada sebab lain yang Mey tidak tahu. Yang terang, Bapak hanya mengatakan bahwa
ia sudah mengubur kucing itu dan menanam sebatang pohon tomat di atasnya.
Mey dan Adik mememandang pohon tomat itu, tumbuh di atas
kubur kucing kesayangan mereka. Semakin tumbuh besar, pohon tomat itu semakin
menghubungkan ingatan Mey dan Adik dengan Si Meong, sehingga pernah Adik
bercerita bahwa ia ditertawakan temannya-teman karena mengatakan kucingnya
berubah jadi pohon tomat.
Ketika pohon tomat itu berbuah lebat, Mey dan Adik membiarkan tomat-tomat bergelantungan di
batang pohonnya dengan indah. Ibu lalu memasang kayu penyangga agar di dahan
pohon itu tidak rubuh karena digelantungi oleh buah-buahnya. Suatu hari Bapak
memetik buah-buah tomat itu, lalu dengan
sengaja memakannya bulat-bulat di depan Mey dan Adik. Bapak menggigit dan mengunyah tomat besar dari pohon yang akarnya menghisap sari
makanan dari tubuh Si Meong dengan lahap, perlahan, sambil memandang ke arah
Mey dan Adik dengan wajah puas. Mey dan Adik
terpaku ngeri melihat air tomat itu berleleran dari mulut Bapak,
menetesi pakaiannya, bening sedikit kemerahan seperti cairan tubuh Si Meong.
Dan itu sudah cukup membuat Adik menjerit-jerit… .
Ibu dan Bapak lalu bertengkar. Ibu akhirnya membiarkan
Bapak terus berteriak-teriak dari loteng. Mey dan Adik tak mengerti apa yang
dikatakan Bapak. Mey ketakutan sambil memeluk Adik, memandang Ibu yang
mengambil parang, menebang dan membuang pohon tomat itu bersama semua buahnya.
Bapak berdiri di teras loteng.
Sebulan
setelah itu Bapak membawa seekor anjing untuk Mey dan Adik. Anjing kampung warna hitam dengan airnya liur
yang selalu menetes. Entah dari mana Bapak mendapatkan binatang yang keliahatan
tak terurus itu. Walau tak terbiasa dengan anjing, Mey dan Adik akhirnya merasa
senang juga bermain dengan binatang itu. Bapak lalu memberi nama anjing itu “Fao”. “Nama yang pantas untuk seekor anjing,
bukan?” kata Bapak pada Ibu, Mey dan Adik setuju, ibu hanya diam.
Kesenangan
Mey dan adik bermain dengan anjing itu tidak pernah membuat Bapak marah. Bapak
selalu tertawa senang setiap kali melihat anjing itu menyalak-nyalak dan
mendekat jika namanya dipanggil. Ia
tertawa keras dan terdengar berlebihan. Saat itu Adik berpikir Bapak ternyata
lebih senang mereka memelihara anjing ketimbang kucing, Mey setuju dengan
pikiran Adik.
Malah
Bapak sering menyuruh Mey atau Adik menggoda Ibu dengan membawa Fao ke
dekatnya. Mereka senang sekali melihat Ibu bersikap serba salah dan tergesa
menjauh pergi, menutup pintu kamar. Mey dan Adik menduga mungkin Ibu memang
tidak suka pada anjing seperti Bapak tidak menyukai kucing. Sampai suatu kali ketika Mey dan Adik
melakukannya lagi, wajah serta suara Ibu membuat kedua anak itu terdiam, kaget,
takut. ”Tanyakan pada dia, mengapa tidak
sejak dulu dia menguburku hidup-hidup!”
Mey dan Adik merasa tidak sedang berhadapan dengan Ibu.
Dan dikemudian hari barulah Bapak mengatakan
pada Mey dengan puas mengapa ia dulu memberi nama “Fao” pada anjing itu. “Fao
adalah nama lelaki yang pernah menjadi kekasih gelap Ibumu!”
Mey
ingin menceritakan hal itu pada Adik, tetapi Mey tidak tahu di mana adik
lelakinya itu berada, bahkan hingga bertahun-tahun kemudian. Diam-diam Mey
merasa Bapak sudah melakukan sesuatu yang buruk pada Adik. Bapak memang selalu
menganggap Adik suka menghasut, merongrong, bahkan berani menentang Bapak. Mey
bertambah cemas ketika suatu hari Bapak menanam sebatang pohon tomat di halaman
samping rumah.
**
Mey memanggil pelayan, memintanya membawa
kembali pesanannya yang baru datang untuk menyingkirkan irisan-irisan tomat
dari makanannya. Mey melarikan pandangan ke luar sewaktu pelayan mengangkat
piring makanan berisi irisan tomat itu dari meja. Di luar, dari ketinggian
tingkat sebuah gedung di mana kafe itu berada, ia melihat garis-garis hujan
yang melayang berjatuhan, deras seperti jutaan anak panah.
Setelah
pelayan itu menghilang, Mey memanggil pelayan yang lain, memesan menu yang
lain, sambil mengatakan agar pelayan sebelumnya tidak perlu membawa kembali
makanannya tadi. “Sebaiknya dia
membawakan saya segelas air putih daripada membawa lagi makanan yang sudah
terkena irisan tomat itu,” kata Mey.
Irisan-irisan
tomat itu telah menghubungkan Mey dengan Bapak. Seseorang yang sejak kecil Mey
tak pernah mengenalnya melebihi segala ingatan buruk tentang loteng. Loteng
yang pelan-pelan mengubah Bapak menjadi sesuatu yang tak pernah dikenali,
selalu mengirimkan bisikan-bisikan yang menakutkan. Bisikan yang menjadi amarah
ketika ia ditentang sebagaimana Mey selalu mengingatnya, ketika tiba-tiba rumah
dipenuhi api. Dalam kobaran api Mey melihat
tubuh Ibu hangus terbakar, di tengah suara Bapak yang tertawa sambil
menyeret dan menindih tubuh Mey.
Mey
menatap halaman kosong layar laptopnya, setelah tadi ia menghapus alinea
pertama cerita ini. Orang mati itu dicegat Bapak sebelum mencapai gerbang
Istana Presiden. Kau pasti paham benar, Bapak mustahil membiarkan seseorang
menghidupkan kembali orang mati itu meski Mey hanya ingin menuliskannya dalam
suatu cerita. Mey hanya boleh memiliki masa lalu sebagaimana Bapak
menginginkannya sebab masa lalu hanya milik Bapak. Untuk Mey, Bapak hanya memberi masa lalu
berupa ingatan tentang orang-orang mati dan seorang anak. Anak perempuan yang
lahir tanpa lidah.
Semestinya
Mey hidup dengan masa depan di kota yang lain. Mey bukan tidak tahu bahwa
itulah yang juga diinginkan Bapak agar ia pergi dan melupakan kota itu,
satu-satunya cara untuk keluar dari ingatan yang dikuasai Bapak. Mey hanya
tersenyum setiap kali pikiran itu muncul, seakan ingatan itu berupa lorong yang
terputus ketika kau memasuki kota yang lain. Mey tahu bahwa sebenarnya ia
diam-diam sedang menentang Bapak, bertahan di kota itu untuk menerima semua
ingatan tentang masa lalu, untuk merebutnya dari Bapak.
**
Tetapi,
nyatanya Mey harus menghapus adegan dalam alinea pertama cerita ini. Mey tak
bisa merebut ingatan itu dari Bapak. Ia tak berani berbuat apa pun, membiarkan
Bapak menyingkirkan orang mati itu ke dasar laut yang paling gelap sebelum
mencapai gerbang Istana Presiden. Selama
belasan tahun, setiap sore Mey mendatangi kafe itu untuk menulis cerita ini
dengan aline pertama yang selalu dihapusnya kembali dan ditulisnya kembali di
hari berikutnya, lalu berjam-jam ia hanya memandangi halaman kosong laptopnya
dengan tangan yang terkulai lemas. Bapak selalu muncul dari arah yang tak
terduga dalam ingatan Mey.
Di
luar hujan telah reda dan pelayan di kafe itu hafal benar kebiasaan Mey;
menutup laptopnya, meminta segelas air putih lagi, memandang ke luar, lalu
meminta bill. “Ceritanya sudah selesai, Tante?” Begitu selalu pelayan bertanya
meski ia sudah tahu jawaban Mey, “Besok, besok, Tante akan datang lagi, sedikit
lagi ceritanya selesai.” Hari itu Mey mengucapkannya dengan suara perlahan.
Mey tidak menuju basement mengambil mobilnya.
Ia terus berjalan menuju sebatang pohon yang tumbuh di tepi jalan, di seberang
Istana Presiden. Pohon tempat orang mati itu berdiri menatap Istana Presiden.
Hanya pohon itu yang tersisa sebagai ingatan Mey karena Bapak selalu
menyembunyikan orang mati itu di dasar laut, juga orang-orang mati lainnya. Dan
ketika kau sampai di kalimat terakhir sebuah cerita yang tak pernah bisa
ditulis oleh Mey, Mey sedang berdiri di bawah pohon itu, memandang dan berjalan
ke arah Istana Presiden. Lalu Bapak….**
Sumber: Kompas
Minggu, 24 Mei 2015
Tidak ada komentar:
Posting Komentar