Kesenian,
Negara, dan Kongres Kesenian
![]() |
Penampilan Ferry Curtis dalam pembukaan |
MENELAAH kebudayaan
adalah berperkara dengan kuasa perubahan. Kuasa yang membawa perkembangan
kebudayaan ke dalam berbagai fenomena yang tak pernah diduga sebelumnya. Menakjubkan
sekaligus mendebarkan. Disokong oleh ‘revolusi’ teknologi komunikasi-informasi,
kuasa perubahan kian mendesakkan beragam pemikiran yang mengkritisi segala
ihwal yang selama ini kukuh dipercayai. Sebagai ruang yang paling progresif
merepresentasikan watak kebudayaan, kesenian niscaya tak bisa menyangkal kuasa
tersebut. Kuasa yang membawa kesenian ke dalam perkembangan berikutnya; baik
sebagai fenomena seni atau fenomena
kehadirannya di tengah publik.
Sedang
dalam ruang yang lain, kuasa perubahan juga memengaruhi jagat politik. Kuasa
yang bukan sekadar mengubah polarisasi kuasa politik, namun memastikan desain
politik pembangunan negara. Setidaknya dalam sepuluh tahun terakhir, kuasa
perubahan di jagat politik dengan berbagai isu dan friksinya, telah menyorongkan
kegentingan dalam peran- fungsi negara. Terutama persambungannya dengan
perkembangan kebudayaan yang bisa diselisik dari dinamika kesenian. Dinamika dengan
fenomena kehadiran sonder persambungannya dengan negara.
Sulit
disangkal kuasa perubahan telah menghamparkan kompleksitas baru yanggenting
dan penuh
![]() |
Duet Halim HD dan Fathul Husein memimpin pleno |
Selama
sepuluh tahun terakhir, perluasan dinamika arena kesenian semacam ini tak ayal lagi menimbulkan berbagai
permasalahan. Mulai dari hak cipta, pemalsuan lukisan yang menggegerkan, nasib
berbagai ritual dan seni tradisi Indonesi, dinamika seni urban yang kehilangan ruang
habitusnya akibat politik pembangunan kota, atau ragam kesenian yang dihantui oleh ketakutan
pada sensor segolongan masyarakat.
Batas Kehadiran
Dalam
seluruhnya itu negara tak pernah hadir. Sebaliknya, negara selalu hadir dalam
berbagai prosedur perijinan aktivitas kesenian. Bahkan, di sejumlah daerah
lembaga seperti dewan kesenian didominasi oleh para birokrat, atau setidaknya
dewan kesenian yang dikondisikan berpatron pada kuasa birokrasi pemerintah. Alih-alih
menjadikan kesenian sebagai ujung tombak bagi strategi kebudayaan, hingga hari
ini tak ada desain politik kebudayaan yang jelas; bagaimana dan di mana
sebenarnya negara memosisikan peran dan fungsinya di tengah perkembangan
kesenian. Termasuk batas-batas kehadirannya. Terlebih manakala dinamika
kesenian terus menggejala ke berbagai arah dan isu, batas-batas kehadiran
negara semakin diperlukan dan sekaligus pula kian samar.
Batas
kehadiran itu kian mustahil dirumuskan sepanjang perspektif negara terhadap
dinamika kesenian tak pernah beranjak dari melulu membangun gedung kesenian,
taman budaya, mengirim atau menyertakan tim kesenian ke luar negeri. Atau, kesenian
yang masih juga dipandang melulu sebagai dekorasi, ornamen bagi niaga
pariwisata, alasan untuk membuat proyek keramaian yang dilabeli “festival”,
atau lagi kesenian sebagai alat pencitraan bagi hasrat politik kepada daerah.
Ringkasnya,
arus besar perubahan yang terjadi ternyata tidaklah mengubah perspektif negara terhadap
kesenian. Oleh sebab itu, umumnya bagi para seniman dan aktivis kesenian negara
adalah sebuah pesimisme. Berbagai program even kesenian yang diselenggarakan pemerintah selalu gagal memberi alasan untuk
tidak menyebutnya dengan sinisme “plat merah”. Sinisme “plat merah” itu bukan
hanya dilekatkan pada program even yang berlangsung di berbagai daerah, namun
juga yang sifatnya nasional.
KKI
Menyadari
sinisme semacam itu Direktorat Pembinaan Kesenian dan Perfilman Direktoral
Jenderal Kebudayaan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemendikbud) sengaja mengundang
limapuluh seniman berkumpul di Hotel Savoy Homman Bandung, 10-12 Desember 2014.
Para seniman itu berasal dari seluruh Indonesia dan dianggap merepesentasikan berbagai bidang kesenian;
teater, musik, sastra, tari, seni rupa, film, selain juga kritikus, aktivis dan
penggiat kesenian. Mereka diundang dalam pertemuan bertajuk “ “Persiapan Kongres Kesenian Indonesia III
2015”. Dalam pertemuan itu para seniman dipertemukan
untuk berembug menyiapkan pelaksaaan Kongres Kesenian Indonesia (KKI) III 2015 mendatang.
Dalam
pertemuan itu Kemendikbud menyorongkan draft kerangka acuan kerja kongres.
Tetapi, setelah membahasnya dengan kritis seluruh seniman menolak kerangka
acuan tersebut. Bahkan, para seniman lantas menyusun kerangka acuan kerja baru
bagi pelaksanaan KKI III 2015. Bila dalam versi Kemendikbud isu utama yang disorongkan adalah “Reaktualisasi dan Refungsionalisasi Kesenian
di Tengah Arus Perubahan”, para seniman menggantinya menjadi “Kesenian dan Negara dalam Arus Perubahan”, yang
sekaligus disepakati menjadi tema KKI III 2015.
Dengan
tema itu, KKI III 2015 hendak menaruh kuasa perubahan demi mengkritisi peran
dan makna kehadiran negara di tengah dinamika kesenian. Di situ, negara
tidaklah lantas diposisikan sebagai antagonis dalam cara pandang kelewat
general dan hitam-putih. Melainkan menelisik apa dan bagaimana sebenarnya
hakikat keberadaan negara di tengah kuasa perubahan dan dinamika kesenian.
Bagaimana dan di mana negara menjelaskan kehadiran dan batas-batas kehadirannya
di tengah berbagai dinamika kesenian, yang niscaya bertaut dengan berbagai
ihwal dalam politik pembangunan. Jangan sebut lagi tautannya dengan sejumlah produk aturan seperti undang-undang,
semisal, UU Hak Cipta, UU Anti Pornografi dan Porno Aksi, RUU Kebudayaan, atau
berbagai peraturan daerah yang bertaut dengan dinamika kesenian.
![]() |
Tim Perumus |
Tentu
ada saja isu yang luput masuk ke dalam kerangka acuan kerja hasil “Persiapan
Kongres Kesenian Indonesia III 2015” itu. Tetapi, setidaknya para seniman sudah menemukan mufakat
permulaan untuk lebih dimatangkan lagi dalam even pra-kongres. Sejumlah isu
yang telah menjadi kemufakatan mesti terus dikawal, dijaga, dan lebih
dipertajam, seraya juga terus menjaga pemerintah (Kemendikbud) agar tetap duduk
manis sebagai fasilitator. (Ahda Imran)**
KKI dan Nasib Rekomendasi
BAGAIMANA negara memandang
kesenian sebagai suatu hal yang penting, tidaklah bisa diukur dari sekadar
melaksanakan Kongres Kesenian Indonesia (KKI). Melainkan, bagaimana pemerintah
merespon rekomendasi yang dihasilkan oleh KKI, terutama yang berkait soal
dengan kebijakan negara. Bila mengukurnya dari konteks ini, maka hasilnya nol!
Tak ada perhatian perhatian pemerintah atas rekomendasi KKI. Seniman hanya
diundang untuk berkumpul, berdebat, dan bertengkar dalam kongres; apa dan
bagaimana hasilnya bagi pemerintah tidak lagi jadi penting.
Janganlah
menelisik kelewat detail. Sedangkan dua rekomendasi KKI tentang rentang waktu
pelaksanaan
KKI lima tahun sekali saja tidak direspon oleh pemerintah. Oleh
sebab itu, menjadi aneh bahwa sejak KKI I pada 1995, KKI baru berlangsung dua
kali. Dan jarak kedua KKI itu adalah sepuluh tahun. Termasuk jarak antara KKI
II pada 2005 dan KKI III 2015 mendatang.
KKI
I berlangsung di Hotel Kartika Chandara, Jakarta pada 3-7 Desember 1995, dengan
tema “Retrospeksi dan Ancaman ke Depan; Kajian, Penilaian,
dan Strategi.” Kongres yang bersamaan
dengan semangat peringatan 50 Tahun Kemerdekaan RI itu diikuti oleh 475 seniman
dan pelaku seni dari seluruh Indonesia. Bahkan ketika itu para seniman diterima
di Istana Negara oleh Presiden Soeharto. Di antara delapan rekomendasi yang
disorongkan oleh KKI I, bahkan di nomor pertama,disebutkan bahwa pelaksanaan
KKI agar dilaksanakan lima tahun sekali. Seluruh butir rekomendasi ditujukan
pada Direktorat Jenderal Kebudayaan RI.
Akan tetapi pada tahun 2000 nyatanya tak ada KKI II.
Alasan bisa saja bersebab situasi politik yang belum lagi stabil selepas reformasi
1998. KKI II akhirnya baru bisa diselenggarakan pemerintah pada 2005, di
Padepokan Pencak Silat Taman Mini Indonesia Indah (TMII) Jakarta, 26-30
September. Berbeda dengan KKI I 1995 di masa pemerintahan Orde Baru, KKI II
yang berlangsung di era reformasi itu penuh dengan suasana panas dan terkesan
hiruk pikuk.
Bahkan sejak awal pelaksanaan KKI II, ramai
berlangsung polemik dan desas-desus. Dari mulai hal-hal teknis pelaksanaan,
hingga isu bahwa KKI II akan dijadikan
legitimasi sekelompok seniman yang berhasrat mendirikan Dewan Kesenian
Indonesia. Lembaga yang dicetuskan oleh Kongres Dewan Kesenian di Papua, dan
mendapat tantangan dari berbagai pihak karena dianggap manuver sekalangan
seniman yang mencari gerbong baru setelah masa tugasnya berakhir di Dewan
Kesenian Jakarta (DKJ).
Terutama pada malam pembukaan dan sidang-sidang pleno,
KKI II riuh rendah oleh suara keras para seniman yang berebut bicara. Bahkan
tak cukup hanya poster-poster di arena kongres yang menyebut KKI II sebagai
kongres plat merah yang menghamburkan-hamburkan uang rakyat. Sebagian para
seniman yang “galak” pun dengan heroik berdiri di atas meja sambil memprotes
pelaksanaan kongres.
Tetapi, KKI II akhirnya berlangsung dengan salah satu
rekomendasinya kembali menegaskan perlunya pelaksanaan KKI diadakan pemerintah
lima tahun sekali. Tetapi, lagi-lagi butir rekomendasi itu tak dihiraukan
pemerintah; tak ada pelaksanaan KKI III pada 2010. Demikian pula dengan butir rekomendasi lainnya
yang tak mendapat perhatian pemerintah, seperti juga nasib rekomendasi KKI 1995
yang mendesak pemerintah membentuk lembaga bantuan hukum bagi para seniman,
pembentukan lembaga kesenian yang bersifat nasional, perhatian yang lebih besar
pada kesenian di dunia pendidikan.
Ringkasnya,
rekomendasi dari dua pelaksaan KKI itu di mata pemerintah terkesan bukanlah
sesuatu yang penting apalagi berwibawa. Melaksanakan KKI bagi pemerintah hanya
sekadar demi gugur kewajiban. Hanya sekadar pembuktian bahwa negara
memperhatikan kesenian.
Oleh sebab itu persiapan pelaksanaan KKI III 2015
mendatang sejak dini telah mewaspadai agar rekomendasi KKI III 2015 mendatang
tidak bernasib sama dengan rekomendasi dua KKI sebelumnya. Rekomendasi KKI III
2015 mesti terus dikawal yang untuk itu diperlukan sebuah institusi, semacam
Badan Pekerja Kongres Kesenian. Atau,
bisa juga institusi seperti yang dibayangkan oleh Irawan Karseno dari Dewan
Kesenian Jakarta (DKJ), yakni, Dewan Kesenian Nasional. “Dewan ini bekerja
untuk mengawal pelaksanaan rekomendasi KKI, sekaligus juga menyiapkan KKI pada
lima tahun berikutnya,” ujarnya.
Persiapan KKI III 2015 akhirnya adalah pula merancang
strategi setelah pelaksanaan kongres. Rekomendasi kongres tak bisa diserahkan begitu saja pada
pemerintah, apalagi dengan mudah percaya bahwa tuan-tuan birokrat itu akan
memerhatikannya. Lewat lembaga yang dibentuk, rekomendasi itu kelak bukan hanya
dikawal tapi juga perlu didesakkan pada negara. (Ahda Imran)
Mufakat Menuju Kongres Kesenian III
PERTEMUAN para seniman di Hotel Savoy Homan Bandung, 10-12
Desember 2014 bertajuk
“Persiapan Kongres Kesenian Indonesia (KKI) III 2015”,
berangkat dari satu tujuan, bersama merancang materi kongres. Menginventarisasi
sejumlah isu selama sepuluh tahun, serta tautannya dengan perkembangan kesenian.
Untuk itu Direktorat Pembinaan Kesenian dan Perfilman Direktoral Jenderal
Kebudayaan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemendikbud) menyorongkan
draft kerangka acuan kerja untuk dirembukkan oleh para seniman. Draft tersebut
merangkum keberadaan dan fungsi kesenian di tengah berbagai fenomena perubahan,
untuk lalu menyorongkan isu utama ke arah refungsionalisasi dan reakatulisasi
kesenian di tengah perubahan.
![]() |
Saut Sitomorang |
Akan tetapi, sejak dimulai sesi pertama diskusi yang
dipimpin Benny Yohanes, draft yang disorongkan tersebut langsung jadi
bulan-bulanan kritik para seniman. Apalagi diskusi memang diformat tanpa
pembicara, pengarah yang mengatur dan mencatat pemaparan seluruh peserta. Selain
kelemahan dalam memosisikan kesenian yang terkesan sekadar dekorasi atau ornamen
dalam kebudayaan, seperti disebut Chavchay Saefullah dan Hikmat Gumelar, draft
tersebut juga luput menating sejumlah isu yang dianggap penting. Terutama
relasi kesenian, negara, dan kuasa modal, atau posisi ruang publik sebagaimana
dilontarkan Halim HD.
Demikian pula isu utama yang
disorongkan, “Refungsionalisasi dan Reaktualisasi Kesenian di Tengah Arus Perubahan”.
Isu utama draft itu sepenuhnya berkonsentrasi pada kesenian, seakan kesenian
bukan bagian dari fenomena lainnya yang saling berkelindan di tengah arus
perubahan. Lagi pula seperti dikemukakan sastrawan Riau Taufik Ikram Jamil, soalnya
bukanlah refungsionalisasi dan reaktulasasi melainkan sikap dan pandangan
negara terhadap kesenian. Bahkan, menurut
Saut Situmorang isu utama kongres harus dibalik. “ Bukan refungsionalisasi dan
reaktulisasi kesenian di tengah arus perubahan, tapi refungsionalisasi dan
reaktualisasi negara dalam arus kesenian!” Ujarnya.
Seraya mengkritisi drafr
tersebut, para seniman pun memaparkan pandangan mereka perihal berbagai isu
yang dianggap penting dimasukkan ke dalam persiapan kongres. Umumnya isu
menyasar ke dalam hubungan kesenian dan negara, termasuk yang terjadi kawasan Indonesia Timur yang menimbulkan
perasaan terasing sebagai bagian dari Indonesia. Sedang Halim HD Halim HD dan Gustaff Hardiman Iskandar
memaparkan hubungan kesenian dalam keberadaan ruang publik sebagai ruang
bersama, seraya mempertanyakan batas-batas kehadiran negara.
Sementara Yusuf Sulilo Utomo
menating hubungan kesenian dan media-massa; pembangunan kesenian dan ekonomi
kreatif dari Embie C Noer; dan Irawan
Karseno yang menyoal pendidikan kesenian dan institusi serta lembaga-lembaga
kesenian. Di lain sisi, seraya mentautkan pembangunan kesenian dengan pasar
terbuka Asean, Irwansyah Harahap mempertanyakan pula sejumlah batasan. “Kongres
kesenian ini apakah kongresnya para seniman, ilmuwan seni, atau penikmat seni?
Apakah perlu dibuat batasannya?”
Senada dengan Irwansyah
Harahap, Hikmat Gumelar memandang kongres mesti berangkat pada pengertian yang
sama ihwal kesenian, mana yang tercakup dan mana yang tidak, agar program
turunannya menjadi jelas. Begitu pula pengertian negara yang menurutnya tak
bisa digeneralisasi secara berlebihan, sehingga terkesan persoalan di kawasan
timur lebih berat dari mereka yang ada di Indonesia Barat.
**
![]() |
Ari Batubara mendebat |
PARA seniman akhirnya memperluas cakupan isu yang bisa ditating kelak ke dalam
kongres, yang umumnya bertaut dengan peran dan fungsi negara; kesenian dan fenomena hukum, reposisi komunitas
dan institusi-insitusi seni, pendidikan, ruang publik, dan tata kelola
pemerintahan (otonomi daerah). Ada juga gagasan yang seakan kembali mempertegas
apa yang telah diserukan dalam rekomendasi KKI I 1995, yakni, perlunya sebuah
lembaga bagi para seniman.
Chavchay Saefullah dalam hal
ini kembali menyebut perlunya pembahasan kembali ihwal Dewan Kesenian Nasional
(DKI) namun tanpa desas-desus apapun seperti terjadi pada KKI II 2005. Sedang
dalam bahasa yang lain Saut Sitomorang menyebut lembaga tersebut dengan “Art
Council”. Karena kesenian bukanlah hobi tapi profesi maka menurutnya lembaga
tersebut harus menjadi lembaga profesi yang kuat. Organisasi tersebut bisa
menyelesaikan berbagai persoalan internal kesenian yang berlarut-larut.
Sesi pertama diskusi telah
membawa berbagai pemikiran mengerucut, membayangkan semacam konstruksi isu yang
bisa dielaborasi ke dalam kerangka acuan kongres. Meski pada sesi kedua diskusi
kembali mencair dan berputar-putar dengan berbagai argumen dan perbedaan
pandangan, namun pada sesi ketiga para seniman sampai pada sebuah kesepakatan,
yakni, menolak kerangka acuan kerja yang disorongkan oleh Direktorat Pembinaan
Kesenian dan Perfilman Direktoral Jenderal Kebudayaan Kementerian Pendidikan
dan Kebudayaan (Kemendikbud).
![]() |
Embie C.Noer |
Tim Perumus yang terdiri dari: Taufik Ikram Jamil,
Irwansyah Hararap, Jabatin Bangun, Halim HD, Arie Batubara, Irawan Karseno,
Ahda Imran, Tisna Sanjaya, Benny Yohanes, Gustaff Hariman Iskandar, akhirnya
merumuskan seluruh perbincangan yang akan menjadi kerangka acuan kongres,
dengan tema “Kesenian dan Negara dalam Arus Perubahan”, dengan tiga subtema: “(Politik) Kesenian dalam Perspektif Negara”,
“Pendidikan Seni, Media, dan Kreativitas”, dan “Seni dalam Pusaran Kekinian”.
Masing tema terdiri dari 4-5 topik pembahasan.
Seluruhnya diandaikan bisa
merepresentasikan berbagai permasalahan yang berlangsung selama sepuluh tahun
terakhir dalam hubungan kesenian dan negara. Dan KKI III 2015 mendatang tidaklah bepretensi
menawarkan solusi atas berbagai permasalahan tersebut, namun setidaknya,
seperti tabiatnya kesenian, dari kongres mendatang akan muncul berbagai
perspektif pemikiran dalam memaknai fenomena
perubahan, termasuk bagaimana semestinya kesenian dan negara saling memandang. (Ahda
Imran)**
Antara Bandung, Medan, Balikpapan
TISNA Sanjaya mengkritik kerangka acuan kerja Direktorat
Pembinaan Kesenian dan Perfilman Direktoral Jenderal Kebudayaan Kementerian
Pendidikan dan Kebudayaan (Kemendikbud), sebab di situ sejumlah pertunjukan
kesenian hanya disebuat sebagai program pendukung KKI III 2015. Untuk itu ia
menawarkan gagasan bahwa peristiwa kesenian dalam KKI III 2015 harus digarap dengan
serius, harus dikonsep dengan kurasi yang jelas, dan bukan semata sebagai unsur
pendukung.
“Oleh sebab itu
kongres harus memilih tempat yang ideologis, misalnya, di tepi Sungai Citarum
agar kesenian tidak lagi dikotak-kotakkan tapi lebur dengan kehidupan,”
paparnya dalam diskusi.
Gagasan ini menarik sebab Tisna seolah sedang
menggiring agar pelaksanaan Kongres Kesenian Indonesia (KKI) III 2015 berlangsung di Bandung. Tetapi,
dalam perbincangan di luar diskusi, secara tak langsung gagasan mendapat
tantangan dari Saut Situmorang dan sejumlah seniman dari Medan. “Kapan terakhir Medan jadi tempat pelaksaan
kongres atau pertemuan kesenian atau kebudayaan? Tak pernah ‘kan? Jadi, sudah
waktunya Kongres Kesenian ini berlangsung di Medan!” Kata Saut yang langsung
diamini oleh Irwansyah Harahap, Jabatin Bangu, dan Arie Batubara.
Meski tidak menyebut Kota Medan, namun Halim HD yang
berada di situ mengatakan sebaiknya pelaksanaan kongres berlangsung di kota di
luar Jawa. Bahkan usulan itu kembali dikatakannya dalam rapat Tim Perumus,
sehingga lolos menjadi salah satu catatan dalam hasil rumusan kerangka acuan
kerja yang dibawa ke dalam sidang pleno. Karena peserta diskusi dalam sidang
pleno lebih berfokus perdebatan materi rumusan hasil Tim Perumus, usulan agar
kongres diselenggarakan di luar Jawa, tidak menjadi perhatian.
Maka, sampai acara usai para seniman belum sampai pada
mufakat final perihal kota yang jadi tuan rumah KKI III 2015, kecuali catatan
yang diberikan Tim Perumus, yakni, di luar Jawa. Beberapa hari kemudian melalui
Halim HD beredarlah pesan pendek dari sastrawan Kalimantan Timur Korrie Layun
Rampan yang merespon usulan agar kongres diadakan di luar Jawa. Dalam pesan
yang itu, Korrie menyatakan kesiapan Kota Balikpapan atau Samarinda sebagai tuan
rumah KKI III 2015.
Artinya, telah
tiga kota yang disebut oleh para seniman untuk menjadi tuan rumah KKI III 2015.
Dengan mengacu pada usulan Tim Perumus agar KKI III 2015 berlangsung di luar
Jawa, bukan tidak mungkin akan muncul usulan kota berikutnya dari para seniman.
Kongres memang sebaiknya berlangsung di luar Jawa, jangan lagi di Jakarta
seperti dua pelaksanaan kongres sebelumnya. Kota-kota di luar Jawa perlu
mendapat kesempatan dan kebanggaan menjadi tuan rumah KKI. Setidaknya, agar KKI
tidak dianggap sebagai bagian dari peneguhan Jawa sebagai pusat atau dominasi.
Akan tetapi,
itu semua tampaknya adalah otoritas pemerintah sebagai pelaksana, yang
tentu berkaitan dengan sejumlah persoalan teknis. Terutama dalam soal
transportasi para peserta yang diundang, yang tentu akan berpengaruh pada
pembiayaan; dua kali lipat dibanding jika diadakan di Jakarta atau Bandung.
Tentu saja kendala teknis itu mesti dihitung dan tak bisa dielakkan. Dan,
sekali lagi, biarlah itu semua menjadi hak dan otoritas pemerintah sebagaimana
otoritas para seniman dalam menentukan seluruh materi kongres.
Kendati begitu, wajar juga diajukan pertanyaan ke hadapan otoritas pemerintah tersebut; bisakah besarnya biaya itu dimaknai sebagai sesuatu yang lumrah dibayar sehingga para seniman, pelaku seniman, dan publik kesenian di luar Jawa bisa merasakan dirinya sebagai bagian dari kesenian Indonesia? (Ahda Imran)**
Kendati begitu, wajar juga diajukan pertanyaan ke hadapan otoritas pemerintah tersebut; bisakah besarnya biaya itu dimaknai sebagai sesuatu yang lumrah dibayar sehingga para seniman, pelaku seniman, dan publik kesenian di luar Jawa bisa merasakan dirinya sebagai bagian dari kesenian Indonesia? (Ahda Imran)**
Sumber: Pikiran Rakyat, 12 Januari 2015
Tidak ada komentar:
Posting Komentar