Minggu, 14 Juni 2015

Bandung: Antara Dayeuh Kolot dan Asia Afrika

APAKAH kota Bandung akan tetap ada seperti yang kita temui sekarang seandainya Kaisar Prancis Napoleon Bonaparte dulu tidak mencaplok Negeri Belanda? Pertanyaan ini tentu saja terdengar aneh. Tapi bagaimanapun pertanyaan itu harus diajukan, karena peristiwa yang terjadi pada awal abad ke-19 itu secara tak langsung berhubungan dengan sejarah lahirnya sebuah kota yang bernama Bandung---yang konon berasal dari kata bandeng atau ngabandeng yang berarti genangan air yang luas.

Atau paling tidak, pertanyaan itu bisa menjadi cara untuk melihat kembali latar-belakang sejarah kelahirannya sebagai sebuah kota. Dari latar-belakang inilah kita bisa tahu bagaimana dalam sejarahnya Kota Bandung lahir dan berawal dari kondisi persaingan serta perseteruan antar negara-negara kolonial Eropa ketika itu dalam perseteruan dan persaingan memperebutkan koloni-koloni di kawasan Asia, dalam hal ini Prancis dan Inggris.  


Meskipun sebagian besar kawasan di Nusantara pada awal abad ke-19 itu telah berada di bawah kekuasaan kolonialisme Belanda, namun invasi Prancis ke Negeri Belanda membuat setiap kebijakan yang dijalankan di Nusantara berurusan langsung dengan kepentingan Prancis. Termasuk melindungi kawasan Nusantara, terlebih ketika gerakan pasukan Kerajaan Inggris telah berhasil menguasai India. Untuk kepentingan itulah, selepas VOC bangkrut di tahun 1799 dan kekuasaan diambil-alih oleh Pemerintahan Hindia Belanda, diangkatlah seorang Gubernur Jendral pertama, Herman Willem Daendels. Seorang jenderal kesayangan Napoleon Bonaparte.  

Untuk melindungi Pulau Jawa dari kemungkinan serangan pasukan Inggris, dan untuk menyiapkan sebuah strategi militer pertahanan, Daendels merancang sebuah proyek raksasa dengan membangun Jalan Raya Pos (Grote Postweg) yang menghubungkan Anyer dan Panarukan. Jalan ini diperlukan untuk memperlancar gerakan pasukan,  komunikasi, dan strategi militer. 

Sekali lagi, inilah awal kelahiran Bandung sebagai sebuah kota. Suatu masa di belakang sebelum terbitnya besluit (surat keputusan) pemindahan Ibu Kota Kabupaten Bandung dari Dayeuh Kolot (Krapyak) ke kota Bandung pada tanggal 25 September 1810 yang lalu diperingati sebagai Hari Jadi Kota Bandung. Atau paling tidak, dari sudut inilah kita bisa melihat bagaimana sejak awal kelahirannya sebagai kota, Bandung tak pernah lepas menjadi bagian dari situasi sejarah global, masa demi masa. Terutama dengan penyelenggaraan Konferensi Asia Afrika pada 1955.

Zorg, dat als ik terug komhier een stad is gebouwd! (Usahakan, bila aku datang kembali ke sini, sebuah kota telah dibangun!)”.  Inilah ucapan Daendels yang terkenal,  diucapkannya di suatu tempat yang sekarang ditandai sebagai “Kilometer Nol” (di depan Kantor Dinas PU Jalan Asia-Afrika). Ucapan yang dilontarkan Daendels itu selalu dianggap sebagai momentum yang tak bisa dipisahkan dari sejarah kelahiran Kota Bandung. Tetapi, sesungguhnya ucapan itu layak dicurigai sebagai yang tak bisa dipisahkan dari kepentingannya memuluskan penyelesaian  pembangunan Jalan Raya Pos.

Seperti dikutip A.Sobana Hardjasaputra (Dr. Hj. Nina H.Lubis, M.S., dkk:2003), dalam suratnya pada Bupati Bandung, 25 Mei 1810, Daendels mengeluhkan keterlambatan pembangunan Jalan Raya Pos karena Ibu Kota Bandung (Dayeuh Kolot) terletak jauh dari jalan baru. Untuk itulah ia mengusulkan agar Ibu Kota Bandung dipindahkan ke Cikapundung. Meskipun ia mengatakan bahwa tempat yang baru itu sangat cocok dan lahannya subur, tapi usulan pemindahan Ibu Kota Bandung itu kemungkinan juga diniatkan agar Pemerintah Hindia Belanda mudah mendapatkan tenaga kerja (rodi) guna mempercepat pembangunan Jalan Raya Pos.

Meskipun dibangunnya jalan baru menjadi faktor pertimbangan, tapi bila kemudian Ibu Kota Kabupaten Bandung itu pindah ke Cikapundung, bukan berarti ketika itu Bupati R.A. Wiranatakusumah II menyetujui usul Daendels. Melainkan juga karena pertimbangan kondisi Dayeuh Kolot sebagai ibu kota lama yang seringkali terkena banjir karena meluapnya Sungai Citarum.

Karena itulah, sebelum Daendels mengusulkan pemindahan ibu kota, merujuk pada naskah Sajarah Bandung, pada sekira 1809, atau 1808, Bupati R.A. Wiranatakusumah II dengan sejumlah rakyatnya telah meninggalkan Dayeuh Kolot, mendiami kawasan di Cipaganti sebelum lalu pindah ke Balubur Hilir. Ketika itu kawasan yang kini menjadi kota Bandung masih berupa hutan, kecuali Kampung Cikapundung Kolot, Kampung Cikalintu dan Kampung Bogor yang terletak di sebelah Utara.

Jika 25 September 1825 dianggap sebagai Hari Kelahiran Kota Bandung, maka itu merujuk pada mulai difungsikannya kawasan yang semula hutan tersebut menjadi sebuah kota sebagai Ibu Kota Kabupaten Bandung. Kota itu terletak di sebelah Barat Sungai Cikapundung, seperti yang dipilih sendiri oleh Bupati R.A Wiranatakusumah II, dan letaknya jauh dari yang diusulkan Daendels. Menurut A. Sobana Hardjasaputra, dapat dipastikan pendopo kabupaten (sekarang rumah dinas walikota) merupakan bangunan pertama yang dibangun untuk pusat kegiatan pemerintahan.

Maka sampai di sini agaknya menjadi jelas, bahwa dalam proses awal sejarah kelahirannya sebagai sebuah kota, Bandung tak bisa dipisahkan dari dua hal yang saling berkaitan. Sejarah persaingan kolonialisme Prancis dan Inggris pada awal abad ke-19 yang ditandai dengan pembangunan Jalan Raya Pos, bisa diidentifikasi sebagai faktor eksternal yang melatarbelakanginya. Sedangkan faktor internal yang mempercepat proses kelahirannya sebagai sebuah kota adalah kondisi geografis di ibu kota kabupaten lama, di tepi Sungai Citarum (Dayeuh Kolot) yang selalu diserang banjir.

Sejak berdirinya di tahun 1810 hingga pertengahan abad ke-19, wilayah Kota Bandung masih sangat kecil dengan tata ruang perkotaan yang sangat sederhana. Merujuk pada Haryoto Kunto seperti yang dikutip oleh A. Sobana Hardjasaputra, di sebelah Utara batas Kota Bandung adalah “Gedong Papak” (sekarang Balai Kota di Jalan Aceh), Sungai Cibadak batas sebelah Barat,  Jalan Pungkur batas sebelah Selatan, dan daerah Simpang Lima sekarang sebagai batas sebelah Timur. Batas-batas ini dapat diketahui dari Plan pengembangan Kota Bandung yang dirancang oleh Bupati Wiranatakusumah II yang bisa dianggap sebagai founding father Kota Bandung.
                                                                 **
AKHIR abad ke-19 dan awal abad ke-20 merupakan rentang waktu yang penting dalam melihat sejarah perkembangan Kota Bandung sejak berdiri tahun 1810. Pada masa-masa inilah, sebab letaknya yang starategis di bagian tengah Priangan,  berbagai perkembangan membawa Kota Bandung ke dalam persiapannya sebagai kota dengan infrastruktur yang modern. Ia tak hanya menjadi pusat pemerintahan Kabupaten Bandung, tapi juga oleh pemerintah Hindia Belanda disiapkan menjadi kota pusat perekomian dan pendidikan.

Seluruhnya ini kemudian membawa pengaruh yang sangat penting dalam karakter sosio-kultural masyarakatnya, terlebih ketika Bandung juga menjadi kota tujuan para pengusaha, pedagang, tuan-tuan perkebunan (Preangerplanters), dan para seniman Eropa yang terpesona oleh eksotisme Priangan. Kedatangan  Preangerplanters dan kaum borjuis serta seniman-seniman Eropa itu, tak hanya membawa beragam perkembangan, tata kota dan desain arsitektur, melainkan juga gaya hidup—sehingga kota ini dikenal sebagai kota pelesir, Paris van Java, Kota Kembang, yang berkonotasi hedonis. 

Di lain sisi, tak hanya gedung-gedung seperti Gedung Sate, Gedung Merdeka, Gedung Pakuan, tapi juga berbagai rumah tinggal. Dalam hal inilah ketika itu Bandung secara budaya seakan-akan menjadi sebuah kota yang berada di ruang antara, yakni, modernisme yang di bawah oleh orang-orang Eropa dan tradisonalisme (Sunda) Priangan yang didominasi oleh Kaum Menak. Terlebih lagi kebijakan kolonial saat itu memang membagi Bandung dalam segregasi; Bandung Utara yang kolonial, Bandung Selatan untuk golongan pribumi inlander.         

Perkembangan pesat Kota Bandung pada masa-masa itu tak bisa dilepaskan dari dua peristiwa penting. Pertama, meletusnya Gunung Gede pada tahun 1864 yang menyebabkan Pemerintah Hindia Belanda memindahkan Ibu Kota Karesidenan Priangan dari Cianjur ke Bandung, yang terjadi semasa pemerintahan Bupati R.A Wiranatakusumah IV.  Dan 20 tahun kemudian (1884), dimulailah beroperasinya kereta api dari dan ke Bandung yang berpengaruh besar dalam perkembangan perekonomian, selain terjadinya peningkatan jumlah penduduk. Sedang pada yang pertama, Kota Bandung pun semakin memiliki makna dan kedudukannya yang besar secara adminitrasi politik, yakni kota dengan kedudukan sebagai dua ibu kota: Ibu Kota Kabupaten Bandung dan Ibu Kota Karesidenan Priangan.

Kedudukan Kota Bandung sebagai kota otonom,  Gemeente (kotapraja), baru terjadi pada tahun 1906, semasa pemerintahan Bupati R.A.A Martanagara. Hal ini kian memperkuat kedudukan Kota Bandung. Sebagai kota otonom, yang semula dipimpin oleh seorang Asisten Residen Priangan selaku Ketua Dewan Kota (Gementeeraad), sejak itu Bandung dipimpin oleh seorang Burgemeester (walikota). Berakhirnya kolonialisme Belanda dan fasisme Jepang tidaklah membuat Bandung berhenti menjadi kota yang bersejarah.

Jika pada masa kolonialisme, Bandung adalah kota yang pernah melahirkan para tokoh pergerakan seperti Ir.Soekarno, Sjahrir, Otto Iskandardinata, atau Gatot Mangkoepraja, maka pada masa revolusi fisik Bandung pun mencatatkan maknanya sebagai sebuah kota yang bersejarah, sebutlah peristiwa Bandung Lautan Api. Dan puncaknya, Bandung pun menjadi pusat perhatian seluruh dunia pada tahun 1955, ketika menjadi kota penyelenggara Konferensi Asia-Afrika (KAA). Sebuah konferensi yang menjadi forum pertemuan negara-negara bekas terjajah untuk bersama menyurakan gugatan serta penentangan terhadap kolonialisme, sehingga KAA menjadi penanda penting dalam sejarah politik pasca kolonial, sebab bukankah kolonialisme itu juga yang telah telah turut melahirkan Bandung  sebagai sebuah kota pada awal abad ke-19 silam?  (Ahda Imran)












                                      
         
                                                         
          
          

       
          





Tidak ada komentar:

Posting Komentar