APAKAH kota Bandung akan tetap
ada seperti yang kita temui sekarang seandainya Kaisar Prancis Napoleon
Bonaparte dulu tidak mencaplok Negeri Belanda? Pertanyaan ini tentu saja terdengar
aneh. Tapi bagaimanapun pertanyaan itu harus diajukan, karena peristiwa yang
terjadi pada awal abad ke-19 itu secara tak langsung berhubungan dengan sejarah
lahirnya sebuah kota yang bernama Bandung---yang konon berasal dari kata bandeng atau ngabandeng yang berarti genangan air yang luas.
Atau paling tidak,
pertanyaan itu bisa menjadi cara untuk melihat kembali latar-belakang sejarah
kelahirannya sebagai sebuah kota. Dari latar-belakang inilah kita bisa tahu
bagaimana dalam sejarahnya Kota Bandung lahir dan berawal dari kondisi persaingan
serta perseteruan antar negara-negara kolonial Eropa ketika itu dalam
perseteruan dan persaingan memperebutkan koloni-koloni di kawasan Asia, dalam
hal ini Prancis dan Inggris.
Meskipun sebagian
besar kawasan di Nusantara pada awal abad ke-19 itu telah berada di bawah kekuasaan
kolonialisme Belanda, namun invasi Prancis ke Negeri Belanda membuat setiap
kebijakan yang dijalankan di Nusantara berurusan langsung dengan kepentingan Prancis.
Termasuk melindungi kawasan Nusantara, terlebih ketika gerakan pasukan Kerajaan
Inggris telah berhasil menguasai India. Untuk kepentingan itulah, selepas VOC
bangkrut di tahun 1799 dan kekuasaan diambil-alih oleh Pemerintahan Hindia
Belanda, diangkatlah seorang Gubernur Jendral pertama, Herman Willem Daendels.
Seorang jenderal kesayangan Napoleon Bonaparte.
Untuk melindungi
Pulau Jawa dari kemungkinan serangan pasukan Inggris, dan untuk menyiapkan
sebuah strategi militer pertahanan, Daendels merancang sebuah proyek raksasa
dengan membangun Jalan Raya Pos (Grote
Postweg) yang menghubungkan Anyer dan Panarukan. Jalan ini diperlukan untuk
memperlancar gerakan pasukan, komunikasi, dan strategi militer.
Sekali lagi, inilah
awal kelahiran Bandung sebagai sebuah kota. Suatu masa di belakang sebelum terbitnya
besluit (surat keputusan) pemindahan
Ibu Kota Kabupaten Bandung dari Dayeuh Kolot (Krapyak) ke kota Bandung pada
tanggal 25 September 1810 yang lalu diperingati sebagai Hari Jadi Kota Bandung.
Atau paling tidak, dari sudut inilah kita bisa melihat bagaimana sejak awal kelahirannya
sebagai kota, Bandung tak pernah lepas menjadi bagian dari situasi sejarah
global, masa demi masa. Terutama
dengan penyelenggaraan Konferensi Asia Afrika pada 1955.
“Zorg, dat als ik terug komhier een stad is gebouwd! (Usahakan, bila
aku datang kembali ke sini, sebuah kota telah dibangun!)”. Inilah ucapan Daendels yang terkenal, diucapkannya di suatu tempat yang sekarang
ditandai sebagai “Kilometer Nol” (di depan Kantor Dinas PU Jalan Asia-Afrika).
Ucapan yang dilontarkan Daendels itu selalu dianggap sebagai momentum yang tak
bisa dipisahkan dari sejarah kelahiran Kota Bandung. Tetapi, sesungguhnya ucapan itu layak dicurigai sebagai yang tak bisa dipisahkan dari kepentingannya memuluskan penyelesaian pembangunan Jalan Raya Pos.
Seperti dikutip
A.Sobana Hardjasaputra (Dr. Hj. Nina H.Lubis, M.S., dkk:2003), dalam suratnya pada
Bupati Bandung, 25 Mei 1810, Daendels mengeluhkan keterlambatan pembangunan Jalan Raya
Pos karena Ibu Kota Bandung (Dayeuh
Kolot) terletak jauh dari jalan baru. Untuk itulah ia
mengusulkan agar Ibu Kota Bandung dipindahkan ke Cikapundung. Meskipun ia
mengatakan bahwa tempat yang baru itu sangat cocok dan lahannya subur, tapi usulan
pemindahan Ibu Kota Bandung itu kemungkinan juga diniatkan agar Pemerintah
Hindia Belanda mudah mendapatkan tenaga kerja (rodi) guna mempercepat
pembangunan Jalan Raya Pos.
Meskipun dibangunnya
jalan baru menjadi faktor pertimbangan, tapi bila kemudian Ibu Kota Kabupaten Bandung itu pindah
ke Cikapundung, bukan berarti ketika itu Bupati R.A. Wiranatakusumah II
menyetujui usul Daendels. Melainkan juga karena pertimbangan kondisi Dayeuh
Kolot sebagai ibu kota lama yang seringkali terkena banjir karena meluapnya
Sungai Citarum.
Karena itulah,
sebelum Daendels mengusulkan pemindahan ibu kota, merujuk pada naskah Sajarah Bandung, pada sekira 1809, atau 1808, Bupati R.A.
Wiranatakusumah II dengan sejumlah rakyatnya telah meninggalkan Dayeuh Kolot, mendiami
kawasan di Cipaganti sebelum lalu pindah ke Balubur Hilir. Ketika itu kawasan yang
kini menjadi kota Bandung masih berupa hutan, kecuali Kampung Cikapundung
Kolot, Kampung Cikalintu dan Kampung Bogor yang terletak di sebelah Utara.
Jika 25 September
1825 dianggap sebagai Hari Kelahiran Kota Bandung, maka itu merujuk pada mulai
difungsikannya kawasan yang semula hutan tersebut menjadi sebuah kota sebagai
Ibu Kota Kabupaten Bandung. Kota itu terletak di sebelah Barat Sungai
Cikapundung, seperti yang dipilih sendiri oleh Bupati R.A Wiranatakusumah II,
dan letaknya jauh dari yang diusulkan Daendels. Menurut A. Sobana
Hardjasaputra, dapat dipastikan pendopo kabupaten (sekarang rumah dinas
walikota) merupakan bangunan pertama yang dibangun untuk pusat kegiatan
pemerintahan.
Maka sampai di sini
agaknya menjadi jelas, bahwa dalam proses awal sejarah kelahirannya sebagai
sebuah kota, Bandung tak bisa dipisahkan dari dua hal yang saling berkaitan.
Sejarah persaingan kolonialisme Prancis dan Inggris pada awal abad ke-19 yang ditandai dengan
pembangunan Jalan Raya Pos, bisa diidentifikasi sebagai faktor eksternal yang
melatarbelakanginya. Sedangkan faktor internal yang mempercepat proses
kelahirannya sebagai sebuah kota adalah kondisi geografis di ibu kota kabupaten lama, di tepi Sungai Citarum
(Dayeuh Kolot) yang selalu diserang banjir.
Sejak berdirinya di
tahun 1810 hingga pertengahan abad ke-19, wilayah Kota Bandung masih sangat
kecil dengan tata ruang perkotaan yang sangat sederhana. Merujuk pada Haryoto
Kunto seperti yang dikutip oleh A. Sobana Hardjasaputra, di sebelah Utara batas
Kota Bandung adalah “Gedong Papak” (sekarang Balai Kota di Jalan Aceh), Sungai
Cibadak batas sebelah Barat, Jalan
Pungkur batas sebelah Selatan, dan daerah Simpang Lima sekarang sebagai batas
sebelah Timur. Batas-batas ini dapat diketahui dari Plan pengembangan Kota Bandung yang dirancang oleh Bupati
Wiranatakusumah II yang bisa dianggap sebagai founding father Kota Bandung.
**
AKHIR abad ke-19 dan awal abad
ke-20 merupakan rentang waktu yang penting dalam melihat sejarah perkembangan
Kota Bandung sejak berdiri tahun 1810. Pada masa-masa inilah, sebab letaknya yang starategis di bagian
tengah Priangan, berbagai perkembangan
membawa Kota Bandung ke dalam persiapannya sebagai kota dengan infrastruktur
yang modern. Ia tak hanya menjadi pusat pemerintahan Kabupaten Bandung, tapi
juga oleh pemerintah Hindia Belanda disiapkan menjadi kota pusat perekomian dan
pendidikan.
Seluruhnya ini
kemudian membawa pengaruh yang sangat penting dalam karakter sosio-kultural masyarakatnya,
terlebih ketika Bandung juga menjadi kota tujuan para pengusaha, pedagang, tuan-tuan perkebunan (Preangerplanters), dan para seniman Eropa yang terpesona oleh eksotisme Priangan. Kedatangan Preangerplanters dan kaum
borjuis serta seniman-seniman Eropa itu, tak hanya membawa beragam perkembangan, tata kota dan desain arsitektur, melainkan
juga gaya hidup—sehingga
kota ini dikenal sebagai kota pelesir, Paris van Java, Kota Kembang, yang
berkonotasi hedonis.
Di lain sisi, tak hanya gedung-gedung seperti
Gedung Sate, Gedung Merdeka, Gedung Pakuan, tapi juga berbagai rumah tinggal. Dalam
hal inilah ketika itu Bandung secara budaya seakan-akan menjadi sebuah kota yang
berada di ruang antara, yakni, modernisme yang di bawah
oleh orang-orang Eropa dan tradisonalisme (Sunda) Priangan yang didominasi oleh
Kaum Menak. Terlebih lagi
kebijakan kolonial saat itu memang membagi Bandung dalam segregasi; Bandung
Utara yang kolonial, Bandung Selatan untuk golongan pribumi inlander.
Perkembangan pesat
Kota Bandung pada masa-masa itu tak bisa dilepaskan dari dua peristiwa penting.
Pertama, meletusnya Gunung Gede pada tahun 1864 yang menyebabkan Pemerintah
Hindia Belanda memindahkan Ibu Kota Karesidenan Priangan dari Cianjur ke Bandung,
yang terjadi semasa pemerintahan Bupati R.A Wiranatakusumah IV. Dan 20 tahun kemudian (1884), dimulailah
beroperasinya kereta api dari dan ke Bandung yang berpengaruh besar dalam
perkembangan perekonomian, selain terjadinya peningkatan jumlah penduduk. Sedang
pada yang pertama, Kota Bandung pun semakin memiliki makna dan kedudukannya
yang besar secara adminitrasi politik, yakni kota dengan kedudukan sebagai dua
ibu kota: Ibu Kota Kabupaten Bandung dan Ibu Kota Karesidenan Priangan.
Kedudukan Kota
Bandung sebagai kota otonom, Gemeente (kotapraja), baru terjadi pada tahun
1906, semasa pemerintahan Bupati R.A.A Martanagara. Hal ini kian memperkuat
kedudukan Kota Bandung. Sebagai kota otonom, yang semula dipimpin oleh seorang
Asisten Residen Priangan selaku Ketua Dewan Kota (Gementeeraad), sejak itu Bandung dipimpin oleh seorang Burgemeester (walikota). Berakhirnya
kolonialisme Belanda dan fasisme Jepang tidaklah membuat Bandung berhenti
menjadi kota yang bersejarah.
Jika pada masa
kolonialisme, Bandung adalah kota yang pernah melahirkan para tokoh pergerakan
seperti Ir.Soekarno, Sjahrir, Otto Iskandardinata, atau Gatot Mangkoepraja, maka pada masa revolusi
fisik Bandung pun mencatatkan maknanya sebagai sebuah kota yang bersejarah,
sebutlah peristiwa Bandung Lautan Api. Dan puncaknya, Bandung pun menjadi pusat
perhatian seluruh dunia pada tahun 1955, ketika menjadi kota penyelenggara
Konferensi Asia-Afrika (KAA). Sebuah konferensi yang menjadi forum pertemuan negara-negara bekas
terjajah untuk bersama menyurakan gugatan serta penentangan terhadap
kolonialisme, sehingga KAA menjadi penanda penting dalam sejarah politik pasca
kolonial, sebab bukankah kolonialisme itu juga yang telah telah turut
melahirkan Bandung sebagai
sebuah kota pada awal abad ke-19 silam?
(Ahda Imran)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar