Selasa, 19 Agustus 2014

Tubuh Pemimpin




Ahda Imran---penyair dan esais

SEBUAH foto beredar di sosial media dan ditayangkan di salah satu stasiun TV. Foto itu memperlihatkan Jokowi sedang berjalan di antara ribuan pendukungnya memasuki Gelora Bung Karno (GBK) Jakarta, menghadiri Konser Salam Dua Jari. Meski beberapa orang mengawalnya, namun tampak dalam foto itu ada tangan seorang perempuan yang menjawil gemas pipi Jokowi. Lebih dari sekadar hendak memperlihatkan bentuk fanatisme seorang pendukung pada capres pilihannya, foto itu tampaknya sedang menjelaskan pula relasi makna kehadiran tubuh seorang capres dengan tubuh para pendukungnya. Relasi yang membuat para pendukung memaknai kehadiran tubuh Jokowi bukan sebagai tubuh elite, melainkan seolah kehadiran dari bagian tubuh mereka juga.


Foto itu membawa pula ingatan ihwal relasi antara biografi tubuh elite dan biografi politiknya. Sebuah relasi yang sekaligus mengkonstruk makna kehadiran tubuh elite bagi khalayak,  dan bagaimana tubuh elite itu memaknai interaksi khalayak. Ringkasnya, foto itu menarik telaah ihwal interaksi kehadiran tubuh elite dan tubuh khalayak, yang dilihat dan yang melihat, serta membayangkan proses pemaknaan itu terjadi dalam hubungangannya dalam biografi tubuh elite.    

Lepas dari pemisahan tubuh (res extansae) dan kesadaran (res cogitans) yang disebut Descartes, biografi tubuh seorang elite penguasa tidaklah bisa dilainkan dari biografi politiknya. Tubuh, oleh sebab itu, bagi filsuf fenomenologis seperti Merleau-Ponty menjadi pokok penentu seseorang melihat dan memaknai dunia. Maka relasi biografi politik seorang elite penguasa dan biografi tubuhnya menjadi keniscayaan. Termasuk ketika tubuh itu mengkontruksikan watak dan kharisma politiknya ke tengah khalayak, sebagaimana tampak pada tokoh seperti Sukarno.   

Dalam banyak sumber sejarah tradisional, tubuh seorang raja selalu dicitrakan dengan berbagai selubung mitos dan sakral. Kitab Pararaton melukiskan Ken Arok yang semasa bayi tubuhnya memancarkan cahaya berkilauan yang diyakini sebagai wahyu keprabon. Begitu pula Babad Tanah Jawi yang mengisahkan Pangeran Puger (Pakubuwana I) mendapatkan wahyu keprabon melalui sperma yang bercahaya, yang keluar dari jenasah kakaknya (Amangkurat II). Atau, cerita tutur yang hidup dalam masyarakat Sunda ihwal tubuh Prabu Siliwangi di akhir kekuasaannya dipercaya ngahiang (sirna menuju langit).

Keindahan dan Kebajikan
Dalam seluruhnya itu tubuh elite bukan sekadar fisik, melainkan pula tubuh yang terhubung dengan jagat kosmologis. Sebagai tubuh yang memegang kedaulatan para Dewa, umumnya kisah tradisional memberi bayangan ihwal kesempurnaan fisik tubuh penguasa. Tubuh yang berbeda dari tubuh kawula atau rakyat. Tak hanya gagah namun juga memancarkan keagungan sebagaimana divisualkan dalam bentuk relief dan arca yang penuh ornamen serta simbol, merepresentasikan hubungann otoritas kekuasaannya dengan jagat para Dewa.

Pola yang sama juga terdapat pada patung atau lukisan figur para raja di Eropa, sejak masa renaissans hingga romantik. Dan segenap citraan itu terhubung kuat dengan keyakinan bahwa keindahan adalah kebajikan dan kemuliaan, sebagaimana Anthonny Skynnott (1993:41) mengutip pandangan Castaglione filsuf di masa renaissans, keindahan itu diyakini identik dengan kebajikan bathiniah, khususnya yang terdapat pada tubuh manusia.

Karena kesempurnaan fisik dianggap melambangkan kesempurnaan moral, seperti yang berlaku di Eropa pada abad ke 17, Faucoult dalam Power/Knowledge (1977:70) memandang tubuh raja bukan lagi suatu metafora melainkan realitas politik. Negara identik dengan tubuh raja, sebelum pada abad ke-19 tubuh itu diturunkan dan diganti oleh tubuh rakyat.

Pembebasan
Meski politik telah ditaruh sebagai ruang publik, namun tradisi politik modern di Indonesia cenderung mengambil jarak dari tubuh rakyat. Tradisi politik yang menjadi hegemoni bersama para elite partai, pemilik modal, dan birokrasi pemerintah. Dalam hegemoni itulah biografi tubuh dan biografi politik elite berada dan tumbuh menjadi tubuh yang elitis.


Di seberangnya, tubuh rakyat tumbuh bersama jejak-jejak biografi para kawula yang mengidentifikasi kharisma tubuh elite sebagai tubuh yang berbeda dari mereka; karakter wajah, bahasa dan postur tubuh, hingga caranya berbicara. Sebab kehadiran tubuh elite semacam itu bukankah bagian dari tubuh mereka, maka tubuh rakyat pun melakukan interaksi yang pasif.  Di hadapan tubuh rakyat,  tubuh elite itu adalah tubuh yang berbicara, bukan tubuh yang mendengar.

Sebaliknya, ketika rakyat menemukan juga tubuhnya atas kehadiran tubuh seorang elite, maka tubuh itu dimaknai bukan lagi sebagai tubuh elite. Melainkan tubuh seorang pemimpin. Tubuh yang mendengar dan melayani ketimbang berbicara. Tubuh yang mirip dengan tubuh rakyatnya, atau rakyat menemukan tubuh mereka pada tubuh pemimpinnya sehingga realitas politik menjadi realitas bersama. Biografi tubuh seorang pemimpin yang luluh menjadi biografi tubuh rakyatnya akhirnya menjadi suatu tradisi politik yang dimaknai sebagai pembebasan.   

Di seberang lain, tubuh bangsawan dan elite yang dikalahkan pun meradang. Mereka tak terbiasa dan tidak bisa percaya; bahwa mereka dikalahkan oleh tubuh rakyat.    


SUMBER: H.U. Pikiran Rakyat, 13 Agustus 2014





    




Tidak ada komentar:

Posting Komentar