Kamis, 07 Agustus 2014

Perubahan Politik dan Ratuadilisme






Tentara Satrio Piningit itu tidak kelihatan, Jokowi juga begitu, karena tentaranya adalah para relawan yang bergerak di sosmed

ITU tulis seorang kawan di akun facebooknya, sehari setelah Komisi Pemilihan Umum (KPU) memutuskan pasangan Joko Widodo (Jokowi)-Jusuf Kalla sebagai Presiden-Wakil Presiden terpilih Pilpres 2014. Benar tidaknya Jokowi adalah Satrio Piningit tentu saja perlu diperdebatkan (debatable). Sebagaimana pula sejumlah sosok yang sebelumnya diyakini, atau meyakinkan dirinya, sebagai Satrio Piningit.  Sosok yang dipercayai akan mengeluarkan rakyat dari kesengsaraan; memperbaiki segenap tatanan nilai yang telah porak-poranda, mengembalikan kembali hukum-hukum kebajikan. Sosok yang dalam banyak literature klasik Jawa kerap disebut sebagai representasi dari konsep Ratu Adil.     
Namun, di luar perdebatan itu yang jadi pokok soal adalah landasan historis, juga sosio-kultural,  yang menyebabkan seseorang diimani sebagai Satrio Piningit, Imam Mahdi, Juru Selamat (Mesiah). Landasan yang tak bisa dipisahkan dari telaah ihwal kepercayaan akan terwujudnya harapan pada masa depan yang makmur dan tenteram (millenarisme). Dalam bentuk yang lain, kepecayaan ihwal ratuadilisme atau millenarisme ini juga bisa ditemukan pada mesianisme dan nativisme. Kepercayaan yang tak hanya hidup di tengah masyarakat tradisional, namun pula dipercaya oleh kalangan agama.

Jejak dari landasan kepercayaan tersebut hingga hari ini terus hidup dalam konteks yang berbeda, yang selalu bertaut soal dengan hasrat akan perubahan kekuasaan. Oleh sebab itulah, dalam Pemberontakan Petani Banten (1984), sejarawan Sartono Kartodirjo percaya bahwa  ratuadilisme atau mesianistik akan tetap bertahan sepanjang masa dan menyesuaikan dengan situasi baru. Situasi yang dimaksud Sartono Kartodirjo menjadi niscaya, sebab ratuadilisme atau mesianistik bertaut soal dengan strategi merawat harapan, sesuatu yang universal. Strategi yang mengemuka dalam bentuk ramalan.
Merawat Harapan
Dengan kata lain, landasan historis dan sosio-kultural ihwal konsep ratuadilisme atau mesianisme tak bisa disendirikan dari bagaimana kepercayaan tradisional dan agama merawat harapan. Sesuatu yang oleh Erich Formm dianalogikan sebagai tiang penyanggah dunia.  Terutama di tengah kekuasaan yang membuat setiap orang hidup di tengah anomali dan pesimisme; ratuadilisme dan mesianisme, atau apalokaliptisisme, kerap hadir demi menyelamatkan kepercayaan manusia pada masa depan. Baik yang bersifat keduniawian atau kekinian (diesseigkeit) dalam kepercayaan tradisonal; atau masa depan keduniabakaan (jenseitigkeit) dalam agama Islam, Kristen,Yahudi.  
Dalam seluruhnya itu, ratuadilisme, mesianisme, atau mahdisme, kerap mewujud sebagai ideologi gerakan perlawanan rakyat demi perubahan kekuasaan yang lebih adil. Tak jarang gerakan ini berpusat pada kharisma figur sebagaimana hal itu dilekatkan pada sosok Pangeran Diponegoro, pemimpin Sarekan Islam (SI) H.O. S Tjokroaminato, atau pemberontakan Muhammah Ahmad di Sudan yang mendaku sebagai Imam al-Mahdi. Maka menjadi tak aneh bila perlawanan tersebut diimani sebagai perang suci.
Umumnya gerakan ratuadilisme menggugat kekuasaan demi harapan pada keadilan bagi rakyat kecil, bahkan cenderung menjadi antagonistik di hadapan budaya yang mapan. Dalam kepercayaan tradisional, fenomena ini bisa dipahami sebagai puritanisme atau utopia kolektif yang bertumpu pada sosok atau figur yang tersebut sebagai Satrio Piningit. Sosok yang diyakini memiliki pulung kedaton, legitimasi otoritas kuasa yang turun dari jagat kosmologis (Jawa). Di situ, mitos Satrio Piningit ialah personifikasi atas kepercayaan rakyat kecil ihwal masa depan yang tenteram dan sejahtera (sosiology of hope).
Lebih dari sekadar seperti yang disebut J.J. Rousseau dengan kontrak sosial, dalam kepercayaan tradisional, kekuasaan dipandang sebagai berkah kosmologis atau  “kewahyuan”. Pemimpin yang tak memiliki berkah kewahyuan (pulung) tak akan membawa berkah bagi rakyat. Pada konteks inilah, ratuadilisme cenderung memaknai keadilan sebagaimana tatanan terdahulu. Ada penolakan pada kemajuan dalam kekinian yang dianggap berdampak pada ketidakadilan bagi rakyat kecil.
Terkesan ada semacam paradoks, antara menyongsong masa depan dan hasrat akan ketentraman dan kemajuan sebagaimana tatanan masa lalu. Namun, soalnya bukan melulu penolakan atas kekinian dan seluruh kemajuannya dengan berbagai perubahan. Melainkan, menganggap bahwa kemajuan dan segenap perubahan dianggap telah menyebabkan terguncangnya keseimbangan antara gusti dan kawula, demikian pula dengan nilai-nilai kebajikan.  
Harapan yang Menyesatkan
Lebih dari sekadar mitos yang dihubungkan dengan ramalan Prabu Jayabaya atau Ronggowarsito, sebagai konsep, ratuadilisme dengan figur Satrio Piningit menyimpan banyak pemaknaan. Dan seluruh pemaknaan tersebut berpusat pada satu hal, yakni, demi mengeluarkan atau menyelamatkan harapan. Harapan ini barangkali dalam beberapa hal lumrah dilekatkan pada figur Jokowi yang muncul sebagai presiden terpilih.
Namun, menaruh harapan keyakinan bahwa Jokowi adalah Satrio Piningit, Ratu Adil, atau juru selamat yang akan menyelesaikan berbagai problem negeri ini, akan menjadi perangkap yang menyesatkan harapan tersebut. Bagaimana pun Jokowi adalah politisi yang mesti berkerja dalam realitas struktur dan polarisasi politik yang tak mudah.
Dengan kata lain, ratuadilisme atau mesianisme tampaknya lebih merupakan strategi menyelamatkan harapan ketimbang dimaknai secara harfiah, yang akan membuat harapan tersesat menjadi sesuatu yang pasif. Ringkasnya, sebagaimana umumnya mitos, narasi dalam ramalan tentang masa depan lebih menekan pada fungsinya ketimbang pada pembuktian kebenarannya. Yakni, fungsinya untuk menyelamatkan harapan dan kepercayaan kita pada masa depan, sekaligus mengurangi penderitaan akibat pesimisme dan anomali. (Ahda Imran)   
  

Atas Nama “Ratu Adil”

Tuan-tuan Hakim, apakah sebabnya rakyat senantiasa percaya dan menunggu-nunggu datangnya "Ratu Adil". Apakah sebabnya sabda Prabu Jayabaya sampai hari ini masih terus menyalakan harapan rakyat? Tak lain ialah karena hati rakyat yang menangis itu tak habis-habisnya menunggu-nunggu, mengharap-harapkan, datangnya pertolongan. Sebagaimana orang yang dalam kegelapan tak berhenti-berhentinya menunggu-nunggu dan mengharap-harap. "Kapan, kapankah matahari terbit?"
SOEKARNO mengucapkan hal itu dalam pembelaannya di depan pengadilan kolonial di Bandung tahun 1930, seperti termaktub dalam bukunya “Indonesia Menggugat”. Meski tak mendaku sebagai Ratu Adil, dengan mengucapkan hal itu di depan pengadilan kolonial Soekarno sedang mencitrakan dirinya sebagai jawaban atas apa yang diramalkan oleh Raja Kediri Prabu Jayabaya (1135-1157 M). Seseorang yang telah dinanti rakyat untuk mengeluarkan mereka dari kegelapan. Dengan ucapan itu pula Soekarno sedang mengatakan bahwa aktivitas politiknya memiliki memiliki legitimasi yang berasal dari leluhur Nusantara. Tentu saja ucapan itu tak hanya ditujukan pada para hakim kolonial, namun terutama pada rakyat.
Apa yang dilakukan Soekarno bisa dibaca sebagai strategi mentautkan idealisme perjuangan pada mitos yang diyakini benar oleh rakyat. Terlebih lagi terdapat situasi yang bisa dianggap sebagai pembenaran, sebagaimana pula mengemuka dalam ramalan Pujangga Keraton Ronggowarsito (1830-1873), yakni, jaman edan dan munculnya seorang Satrio Piningit. Lepas dari itu, menyandarkan landasan perjuangan pada ramalan Prabu Jayabaya atau Ronggowarsito merupakan upaya mengambil hati rakyat demi menciptakan legitimasi, fanatisme, bahkan sugesti.
Ratuadilisme, seperti juga yang menjadi watak idelogi gerakan milenarisme, seperti disebut Sartono Kartodirjo (Messianisme dan Futurisme, Prisma, Januari 1984) merupakan kekuatan sosial yang laten dalam masyarakat tradisional, yang bisa aktual dan menjadi kekuatan yang dinamis di tengah masa krisis. Potensi kekuatan inilah yang membuat gerakan milenarisme menjadi terbuka untuk dihampiri dan dijadikan sandaran politik, demi meraih dukungan dan simpati kalangan rakyat.
Maka, Soekarno tak sendirian. Ada banyak figur yang dengan kharisma dan kepentingannya hadir atas nama “Ratu Adil”, menjadi sebuah gerakan perlawanan demi mengembalikan hukum-hukum keadilan dan kebajikan. Sebutlah, pemberontakan Pangeran Diponegoro (1825-1830) yang tak bisa dipisahkan dari mitos Ratu Adil, atau berbagai gerakan messianistik yang berlatar keagamaan (Islam) yang terjadi pada masa kolonial. Termasuk yang berbaur dengan ide-ide nasionalisme seperti yang dicitrakan Soekarno, atau apa yang dilekatkan pada pemimpin Sarekat Islam H.O. S Tjokroaminoto.
Status Quo
Pada bentuknya yang lain, konsep ratuadilisme sesungguhnya menyimpan paradoks. Mekanisme defensif yang menaruh harapan datangnya Satrio Piningit yang akan membawa ketentraman di masa depan. Namun,  uniknya masa depan yang diidealkan tersebut justru merujuk pada masa silam. Sebagaimana mengemuka dalam mitos Ratu Adil (Jangka Jayabaya, Sabdapalon Nayagenggong ), ihwal pemerintahan yang adil dan mampu mewujudkan kemakmuran dan kesejahteraan rakyat seperti cerita tutur melukiskan keemasan jaman Jayabaya (Kediri), Brawijaya (Majapahit), atau Prabu Siliwangi (Sunda dan Galuh).

Namun, telaah Sartono Kartodirdjo menjadi menarik ketika ia menghubungkan puritanisme itu dengan konsep waktu dalam masyarakat tradisional. Dalam amatan Sartono, perspektif waktu dalam masyarakat tradisional sangatlah sederhana, yakni, yang berpusat pada kontinyuitas sehingga masa depan bisa digambarkan secara konkret dan tidak menimbulkan kegelisahan.
Perubahan besar yang terjadi di awal abad 19 dengan berbagai kemajuan yang mengarah pada industri, telah mengguncang struktur sosial, kekuasaan, dan berbagai nilai yang menimbulkan kegelisahan sekaligus kebingungan. Tak hanya melanda rakyat kecil, guncangan struktur sosial ini juga mengancam kedudukan dan sugesti kuasa para elite tradisional. Dalam situasi semacam inilah, menurut Sartono Kartodirjo, bagi pihak yang menghendaki status quo, ratuadilisme atau milenarisne menjadi ideologi yang ampuh demi melegitimasi kedudukan dan kekuasaan lama mereka.  
Dengan kata lain, ada banyak kepentingan untuk hadir atas nama Ratu Adil. Baik demi gagasan perjuangan menentang hegemoni kekuasaan, atau demi menegakkan kembali kekuasaan lama yang tergerus oleh kemajuan. Masa silam yang penuh kejayaan menjadi referensi ideal dalam memaknai masa depan, termasuk figur-figurnya. Dari sinilah, kita bisa faham mengapa dalam pilpres 2014 ada capres yang mengidentifikasi dirinya dengan sosok Soekarno dan Jenderal Soedirman. (Ahda Imran)**   


Puisi yang Meramalkan Pemimpin

Dari 3 lautan akan terlahir seseorang
yang akan menyatakan hari kamis sebagai hari libur.
Ketenaran, kemuliaan, aturan dan kekuasaannya akan tumbuh
melintasi daratan dan lautan membawa bencana bagi timur.

BEGITU  Michell de Nostradamus (1503-1566) menulis di salah satu sajaknya dalam kumpulan “Century” yang mengambil berisi 100 kuatrin (sajak empat baris). Ketimbang ditelaah sebagai puisi, selama empat abad buku tersebut dicetak ulang dan ditelaah sebagai sekumpulan teks ramalan. Oleh sebab itu, lumrah bila orang di seluruh dunia lebih menyebut Nostradamus sebagai peramal ketimbang penyair dan dokter. Nyaris tak ada secuil pun tulisan (puisi) Nostrodamus yang tidak dianggap sebagai ramalan. Demikian pula sebaliknya, setiap terjadi peristiwa besar di dunia ramai orang mencari tanda-tandanya pada puisi Nostrodamus.    

Begitu juga dengan kuatrin di atas. Setelah sebelumnya ia melukiskan gejolak kekacauan yang mengerikan di berbagai belahan dunia, terutama Eropa, Nostrodamus menulis ihwal akan lahirnya seseorang yang penuh kemuliaan, ketenaran, dengan kekuasaan yang luas, menegakkan keadilan dan aturan; seseorang yang terlahir dari tiga lautan. Banyak kalangan lantas menafsir bahwa orang itu berasal dari Indonesia, negeri yang diapit oleh tiga samudera. Terlebih lagi dalam kuatrin selanjutnya ia menegaskan; Lama ditunggu dia tidak akan  pernah kembali ke Eropa/ Dia akan muncul di Asia./Salah satu anggota liga yang dikeluarkan dari Hermes yang agung/Dia akan mencapai puncak kekuasaan di atas semua kekuasaan lain di timur.
Selain menulis mereka menulis ramalan dalam bentuk puisi, ada struktur yang sama antara Nostrodamus dan Pujangga Keraton Surakarta Ronggowarsito, atau dengan ramalan Prabu Jayabaya. Kemunculan seorang pemimpin sebagai juru selamat (Mesiah, Imam Mahdi atau Ratu Adil) selalu didahului dengan terjadinya gejolak dan kekacauan atau Kala Bendu (Jaman Edan); pepeperangan, hancurnya ahlak para pemimpin, porak-porandanya nilai, hilangnya rasa malu, dan rakyat yang tak lagi punya panutan.

Struktur sedemikian dengan mudah mengingatkan kita pada kisah dalam kitab suci ihwal akan lahirnya seorang Nabi. Seseorang  yang tak hanya akan meluruskan kembali keimanan manusia, namun pula tampil sebagai juru selamat, pemimpin yang akan menghentikan kekacauan, menghukum para pendosa, menegakkan kembali hukum kebajikan. Kelahiran mereka telah lama diramalkan dalam berbagai kisah tutur atau dalam kitab suci sebelumnya, Lengkap dengan penjelasan ihwal tanda-tanda alam menjelang kelahirannya.  

Satrio Piningit
Serupa Nostrodamus, dalam Serat Kalatidha atau Serat Joko Lodhang yang berbentuk sinom, Ronggowarsito  juga menyebutkan Satrio Piningit muncul dengan tak terduga di tengah situasi yang kacau (Kolo Bendhu), sebagaimana juga mengemuka dalam Jangka Jayabaya.  Satrio Piningit di situ disebut akan membuka jaman baru (Kolo Subo);  saking marmaning Hyang Sukma, zaman kolobendhu sirna, sinalinan jamanira, mulyaning jenengan nata, ing kono raharjaniro, karaton ing Tanah Jawa mamalaning bumi sirna, sirep dur angkara murka (Atas kehendak Tuhan, jaman kolobendhu sirna beralih jaman kemakmuran, hilang kutukan bumi dan angkara murka mereda.


Seperti lumrahnya ramalan, tak ada penjelasan yang tegas siapa sesungguhnya Satrio Piningit atau Ratu Adil itu, kecuali sejumlah deskripsi watak yang penuh kebajikan yang diungkapkan dengan bahasa perlambang, termasuk penjelasan geografisnya. Ia tersenyumbunyi dan membiarkan orang menafsirnya. Dalam tiga larik Kuatrin 27, Nostrodamus hanya memberi keterangan; Suara ilahi akan turun dari langit/dan dia tidak akan pergi lebih jauh lagi/Rahasia tetap akan tersembunyi hingga turunnya wahyu.

Demikian pula Prabu Sri Jayabaya yang menyebut marga sirapih, rawuhnya, nata ginaib sanyata, wiji sijilane utama, ingapuran naranata, kang kapisan, karanya, adenge tanpa sarana, nagdom, makduming srinata, sonya rutikedannya (Kedatangan pemimpin baru tidak terduga. Seperti muncul secara gaib dan mempunyai sifat-sifat utama). Sedangkan Ronggowarsito melukiskan misteri identitas Satrio Piningit itu dengan analogi yang puitis;  Tunjung putih semune pudhak sinumpet (Tokoh yang masih suci bagaikan bunga teratai putih yang harum semerbak laksana bunga pandan yang tersembunyi di kelebatan daunnya).

Nyaris seluruh ramalan tersebut menyebutkan Ratu Adil atau pemimpin yang dinanti-nanti itu akan muncul secara tak terduga. Artinya, ia bukanlah seseorang yang menjadi bagian dari sejarah kekuasaan yang sedang berlaku. Seseorang yang tak punya beban masa lalu. Lepas dari kepercayaan banyak orang pada ramalan, sampai di sini ramalan itu menjadi logis. Apakah mungkin kerusakan bisa diperbaiki oleh seorang pemimpin yang menjadi bagian dari kerusakan itu? (Ahda Imran)**   

 

Satrio Piningit, Pulung, Satrio Pinilih


KITAB Pararaton ada mengisahkan Ken Arok yang semasa bayi tubuhnya memancarkan cahaya berkilauan. Sejenis cahaya yang dalam banyak sumber sejarah tradisional diyakini sebagi wahyu keprabon (kedaton) atau pulung. Hal yang sama juga ditemukan dalam Babad Tanah Jawi,  manakala Pangeran Puger dipercaya mendapat pulung melalui sperma yang mengeluarkan cahaya dari jenasah kakaknya Amangkurat II.  
Pulung di situ tak sekadar menjadi legitimasi suksesi politik atau kekuasaan tandingan, serupa Ken Arok yang menumbangkan Tunggul Ametung. Namun, seperti yang terjadi pada Pangeran Puger (Pakubuwana I), juga adalah legitimasi kosmologis (wahyu) yang turun pada seorang calon penguasa. Memberinya otoritas sebagai pemimpin dengan loyalitas yang fanatik. 

Ratuadilisme dan kepercayaan messianistik dengan sosok Satrio Piningit tak bisa dipisahkan dari mitos wahyu kedaton semacam itu. Mitos yang mempertebal keyakinan rakyat tentang masa depan yang makmur, sejahtera, dan tenteram. Dan demi itu semua, dengan cara-cara militan dan radikal rakyat akan berusaha menyongsong kebenaran ramalan tersebut.

Ada sejumlah pendapat ihwal akar dari mitos ratuadilisme dan wahtu kedaton tersebut. Ada sementara kalangan menilai bahwa keyakinan itu diadopsi dari kepercayaan kalangan agama tentang kelak turunnya kembali Isa Al-Masih sebagai Mesiah (Kristen) atau munculnya Imam Mahdi (Islam). Mereka akan turun di akhir jaman untuk meredakan kekacauan di dunia yang disebabkan oleh Dajjal (Islam) atau  Anticrist (Kristen), untuk menegakkan kembali hukum suci kebajikan.

Sedangkan dalam keimaman apokalitisisme Yahudi, sebagaimana dikembangkan oleh Jeremiah dan Zefaniah, diyakini Tuhan merepresentasikan diriNya dalam wahyu (Abdul Hadi W.M, Apokalitisisme dan Teokrasi Amerika, Boemi Poetra Maret 2009). Maka, turunnya wahyu diyakini sebagai turunnya Tuhan di tengah manusia untuk membersihkan segenap kotoran; menuju ke masa depan yang gemilang, sebelum terjadinya Hari Akhir. 

Akan tetapi, sebagian kalangan lebih memandang konsep mitos tersebut lebih berasal dari alam pikiran dan kepercayaan bangsa-bangsa di Nusantara. Milenarisme sudah dikenal sejak periode Jawa-Hindu. Terlebih dalm mitologi Jawa konsep wahyu tidaklah sama dengan apa yang termaktub dalam agama samawi. Pada alam pikiran masyarakat tradisional ada wahyu yang didambakan oleh calon raja, yakni, wahyu kedaton atau dalam pewayangan disebut wahyu cakraningrat. Pulung ini tak terbatas hanya didapat oleh elite atau turunan raja.

Satrio Pinilih
Masih banyak orang meyakini mitos wahyu kedaton dan Satrio Piningit. Sementara demokrasi juga diyakini sebagai mitos dalam bentuknya yang lain. Meski gerakan Aufklarung telah mengubah teosentrisme Yunani menjadi antroposentrisme, ritual pemujaan tetaplah berlangsung. Zeus dan sejumlah dewa telah dialihkan, dan tempatnya kini dihuni oleh para dewa baru bernama “Rakyat” dengan ritual persembahan bernama “Pemilu”,  yang  dari situ diharap munculnya pemimpin baru sebagai ‘Satrio Pinilih”. 

Dari ritual persembahan itulah demokrasi sebagai mitos menurunkan “wahyu kedaton” dan “pulung” pada seseorang yang dipercaya oleh rakyat (sebagai “dewa”) untuk menjadi pemimpin. Pemimpin yang terpilih atau Satrio Pinilih ini,  tentu saja tak bisa dianggap sebagai Ratu Adil atau Juru Selamat; Satrio Piningit atau Mesiah yang diharap bisa menyelesaikan semua kerusakan dengan cepat dan mudah, dan secepatnya merealisasikan masa depan yang tentram dan sejahtera.

Sebagaimana terjadi dalam banyak gerakan Ratu Adil dengan sosok Satrio Piningit,  Satrio Pinilih tetaplah memerlukan loyalitas dan militansi rakyatnya; “para dewa” yang telah memilihnya, dan yang telah menjelma di dalam dirinya sebagai pulung. (Ahda Imran)**    

Sumber: H.U. Pikiran Rakyat, 4 Agustus 2014






Tidak ada komentar:

Posting Komentar