Sabtu, 13 Desember 2014

Mengepung Ratu Adil


Oleh AHDA IMRAN

KEKUASAAN dan pemberontakan selalu menjadi tradisi dialektis yang niscaya. Terutama bila kekuasaan membuat rakyat sengsara dan putus asa, maka harapan ihwal masa depan harus segera diselamatkan dengan jalan pemberontakan. Di situ, meminjam perkataan Albert Camus, setiap ide tentang pemberontakan meminta suatu nilai. Dalam sejarah kekuasaan di Nusantara, tradisi pemberontakan rakyat berkelindan dengan banyak  ihwal. Sebagai suatu ide, berbagai pemberontakan rakyat di Nusantara tak bisa disendirikan dari bagaimana masyarakat tradisional (Jawa) mengimani konstruksi waktu serta siklus tabiat kekuasaan (Kertayuga, Tretayuga, Kaliyuga).

Konstruksi tersebut dikuatkan pula sejumlah ramalan yang diimani sebagai janji masa depan ihwal kedatangan Ratu Adil (Erucokro, Satrio Piningit), seorang Juru Selamat yang tersebut pula di sumber-sumber keagamaan; Mesiah atau Imam Mahdi. Mereka inilah yang akan mengembalikan kemakmuran masa silam, menegakkan kembali hukum-hukum suci yang dikotori oleh kekuasaan.

Pada konteks ini, gagasan pemberontakan muncul bukan semata sebagai reaksi atas kekuasaan, namun pula reaksi atas kuasa perubahan yang diusung oleh modernitas.  Kuasa yang membikin lapuk kekuasaan dan sistem nilai lama. Di tengah kuasa perubahan itu, karena masa depan tak bisa dirumuskan apalagi digenggam, maka narasi masa silam yang tenteram menjadi satu-satunya realitas ideal yang menjadi harapan.

Akan tetapi, dengan utopia serupa itulah pemberontakan dilakukan sebagai “perang suci”, menghadapi dua kekuasaan sekaligus; kuasa politik dan ekonomi negara serta kuasa perubahan yang diusung modernitas. Meski pemberontakan selalu berujung tragis, sepanjang rakyat belum merasakan keadilan pembangkangan akan terus muncul, bergitu pula kemunculan sosok yang mendaku sebagai Ratu Adil dan nabi pribumi. 

Inilah yang mengemuka dalam Borobudur Writers and Culture Festival (BWCF) 2014 dengan tema  “Ratu Adil: Kuasa & Pemberontakan di Nusantara”, di kawasan Candi Borobudur Magelang, 12-15 Nopember. Selama tiga hari festival ini mengepung Ratu Adil dalam ruang seminar dan di panggung kesenian dua desa lereng Gunung Merbabu dan Merapi.  Ini festival tahunan yang ketigakalinya diadakan oleh Yayasan Samana. Diikuti oleh para penulis, sejarawan, mahasiswa, komunitas kesenian, dan berbagai kalangan penggiat budaya.

Kuasa Perubahan
Di forum seminar Ratuadilime diurai seraya memperluasnya ke berbagai pemikiran ihwal hakikat pemberontakan di Nusantara. Uraian Dr.Peter Carey tentang Pangeran Diponegoro, gerakan mahdiisme Tengkeu Bantaqiyah di Aceh (Dr. Otto Syamsuddin Ishak), pergerarakan Ratu Adil di Biak Papua (Dr. Enos H Rumansara), hingga telaah menarik Jean Couteau tentang gerakan Ratu Adil di Bali. Pula begitu dengan pembacaan Dr. Setyo Wibowo yang membandingkan tradisi pemberontakan di Jawa dan di Yunani.  

Seluruh gerakan pembangkangan itu tidak sekadar minta diingat sebagai sekelompok orang yang mengangkat senjata melawan dominasi penguasa. Melainka tak bisa disendirikan dengan konsep waktu dalam masyarakat tradisional di tengah kuasa perubahan. Soalnya mungkin bukan hanya masa silam yang ditaruh sebagai realitas ideal, tetapi kegagalan mentransformasikan harapan ke dalam kuasa perubahan. Terlebih manakala kuasa itu adalah kuasa modernitas yang meminta pembacaan kritis terhadap mitos dan narasi masa silam. Pada konteks inilah Ratuadilisme meninggalkan jejaknya hingga hari ini dalam kontruksi identitas kebangsaan dan agama.    

Kuasa perubahan adalah hukum besi kebudayaan. Hukum yang pada tabiatnya yang lain melahirkan cara pembacaan yang berbeda atas kepercayaan masa silam yang diimani sebagai kebenaran absolut. Dari cara pembacaan inilah dalam masyarakat tradisional muncul bentuk pembangkangan berikutnya atas kuasa ortodoksi agama, yakni, mereka yang mendaku sebagai nabi seperti diurai oleh Dr. Al Makin.

Panggung Ratu Adil
Ratu Adil lalu dibawa ke Dusun Gajayan di lereng Gunung Merbabu dan Desa Tutup Ngisor di lereng
jurnal-asia.com
Gunung Merapi. Selama dua malam, bersama warga desa Ratu Adil ditaruh dipanggung pertunjukan. Ratu Adil itu dikepung dalam pembacaan puisi, monolog, tarian, dan nyanyian. Kurasi festival berupaya menemukan tautan antara perbincangan di ruang seminar dengan kesadaran yang direpresentasikan dalam karya dan penampilan para seniman.

Tentu saja itu menjadi niscaya, sebab praktik-praktik seni senantiasa memaktubkan pemberontakan demi berhadapan dengan kuasa perubahan. Setidaknya itu terlihat pada tema karya para seniman yang diundang. Mulai dari pembangkangan Kartosuwiryo dalam pembacaan puisi Trianto Triwikromo hingga pengakuan topeng seorang anggota DPR dalam monolog Ine Febrianti. Tema-tema yang luluh ke dalam realitas tanpa menjadikan harapan sebagai khotbah. 

Tautan itu juga terasa benar dalam sejumlah nomor tarian yang disuguhkan oleh Komunitas Lima Gunung. Tarian yang memadukan bentuk idiom-diom ritual tradisi lokal dan Islam yang merepresentasikan pembangkangan. Pandangan mistis magis dalam kepercayaan masyarakat tradisional serta agama merupakan watak dari pembangkangan Ratu Adil. Hentakan kaki dan tubuh para penari yang liat dan tegas, barisan para prajurit perempuan, atau kuasa jahat yang dilambangkan dengan topeng dan perlawan terhadap mereka.

Pada bentuknya yang lain beberapa nomor tarian hadir tak terduga demi menjawab kuasa perubahan. Termasuk kuasa yang tidak dihindari melainkan dirangkum demi membangkang pada kategorisasi identitas masa silam yang beku. Sebutlah, tarian para perempuan desa dengan iringan karawitan Jawa yang memainkan melodi lagu Batak “Si Nanggar Tulo Ha Tulo” di panggung Padepokan Tjipto Budojo Desa Tutup Ngisor.

Mengepung Ratu Adil dalam ruang seminar dan peristiwa seni selama tiga hari itu akhirnya menjadi cara berikutnya untuk merayakan pemberontakan dan merawat harapan. Soalnya bukan lagi pertanyaan, apakah pemikiran tentang Ratu Adil itu positif atau negatif dalam realitas hari ini? Tetapi, bagaimana mentransformasikan konsep Ratu Adil menjadi harapan baru demi menyiasati berbagai kuasa perubahan yang terus didesakkan oleh modernitas. Bukan harapan yang menyangkal kuasa perubahan seraya memandang masa lalu sebagai masa depan, seperti gambar mantan Presiden Soeharto yang  banyak muncul menjelang pemilu lalu; piye kabare, enak jamanku toh?**     

AHDA IMRAN, penyair


Sumber : Kompas, 7 Desember 2014 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar