Senin, 10 Februari 2014

Sandiwara Tan Malaka



SEJAK  ia ditangkap di Bandung dan diusir oleh pemerintah kolonial tahun 1922, mengembara berpuluh-puluh tahun ke berbagai negeri di Eropa dan Asia, serta kembali ke Indonesia pada tahun 1942, Tan Malaka hidup sebagai seorang pelarian politik. Ia tak sekadar dikejar dan diburu oleh intelijen Inggris, Belanda, dan Amerika Serikat, tetapi juga dimusuhi oleh Komunis International (Komintern). Dan selama dalam pengembaraannya itu Tan Malaka hidup dengan banyak nama. Ketika berada di Filipina ia mengaku bernama Ellias Fuentes, Estahislau Rivera, Alisio Rivera. Ong Song Lee atau Tang Ming Sion, Chen Kuan Tat,  sewaktu ia berada di China dan Birma. Ketika berada di Singapura ia mengaku bernama Hasan Gozali, dan Ilyas Husein sewaktu ia datang ke Indonesia.

Layaknya seorang pemain sandiwara, Tan Malaka memerankan dirinya begitu baik sehingga ia selalu lolos dari intaian dan pengejaran—meski pernah pula tertangkap di Manila dan Hongkong. Ada sekali peristiwa ketika ia berada di Medan, duduk mencangkung di kaki lima di depan seorang pedagang buku. Di situ ia menemukan novel “Pacar Merah” yang sangat populer menceritakan petualangannya. Sedang ia membolak-balik novel itu, mendadak pedagang buku itu berbisik, “ Ssstt...tahukah,  Tuan? Tan Malaka sudah berada di Padang. Di sebuah lapangan dia berpidato depan ribuan orang.  Dan Tuan tahu, dalam tentara Nippon pangkat Tan Malaka itu tinggi sekali.”

“Apa pangkatnya Tan Malaka itu?” Tanya Tan Malaka. “Kolonel!” Kata Pedagang itu dengan yakin.

Banyak kalangan pergerakan di Indonesia mengira ia telah tewas atau tak lagi mengenalinya. Bahkan kalangan pemuda seperti Sukarni, Chaerul Saleh, Adam Malik, dan Sjahrir—yang bergerak di bawah tanah dalam pendudukan Jepang—tak menduga bahwa orang yang mereka panggil dengan “Pak Husein” yang selalu hadir dalam rapat gelap pemuda menjelang proklamasi itu adalah Tan Malaka. Orang yang risalahnya selalu mereka baca dan namanya kerap mereka sebut-sebut dalam rapat, tanpa tahu Tan Malaka berada di situ.  
  
 “Bergelap-gelap dalam terang, berterang-terang dalam gelap” inilah prinsip sandiwara Tan Malaka. Dengan sandiwaranya ini pula, sebagai “Ilyas Husein” ia bekerja di tambang batu-bara Bayah Banten. Saking apiknya Tan Malaka bersandiwara, ketika Soekarno mengunjungi Bayah ia sempat pula mendebat dengan Soekarno ihwal kemerdekaan yang dijanjikan Jepang.

Seperti juga Tanjung Morawa Deli dan Semarang, Bayah Banten menjadi tempat yang penting dalam menelaah perjuangan Tan Malaka. Di tempat ini ia berada langsung bersama para romusha, mengurusi, mendengar dan melihat langsung penderitaan mereka sebagaimana ditulisnya dalam buku“Dari Penjara ke Penjara” Jilid II.  Dan di Bayah ini pula TM memperlihatkan bakatnya yang lain dalam ihwal sandiwara-bersandiwara. Seraya tetap bersandiwara sebagai Ilyas Husein, Tan Malaka membuat kelompok sandiwara yang dimainkan oleh para romusha.

Bila Soekarno semasa pembuangan di Ende Flores menamakan kelompok sandiwaranya “Kelimutu”,  dalam “Penjara ke Penjara” tak ada keterangan apa nama kelompok sandiwara yang dibentuk Tan Malaka. Tetapi yang jelas, dialah yang menulis lakonnya sekaligus sutradaranya. “Supaya pendirian sandiwara ini tidak mencurigakan kempei, maka sandiwara dijadikan saja “bagian hiburan” yang dimasukkan ke dalam anggaran dasarnya Badan Prajurit Pekerja (BPP) yang sudah diakui oleh tentara Jepang. Saya sendiri yang menulis lakonnya, dan memilih pemain dan melatih pemainnya,” tulisnya.

Lakon Perlawanan   
Kelompok sandiwara itu bagi Tan Malaka bukan hanya sarana hiburan Prajurit Pekerja— efeumisme yang digunakan Jepang untuk romusha. Melainkan juga sebagai strateginya menggunakan kesenian demi menularkan kesadaran perlawanan atas imprealisme. Lakon pertamanya berkisah tentang nasib kaum romusha yang terbuang sebagai “sepah tebu yang dibuang sesudah manisnya habis”. Sukses dengan pertunjukan ini Tan Malaka mengambil hikayat Hang Tuah dalam pertunjukan sandiwaranya. Dengan cerdik kisah ini  difokuskan Tan Malaka pada para elite pemimpin yang menjunjung tinggi majikannya, namun rakyatlah yang menderita. Sebuah sindiran yang diarahkan Tan Malaka pada tokoh pergerakan yang bekerjasama dengan Jepang dan membiarkan rakyat sengsara ditindas.

Pertunjukan sandiwara ini mendapat sambutan, bahkan hingga ke cabang-cabang tambang batu-bara lainnya di Bayah. Pada pertunjukan berikutnya Tan Malaka kembali mengambil ide cerita dari kisah kepahlawanan di Nusantara, seperti, lakon Diponegoro atau Puputan Bali. “Di sini pun dimajukan kritik yang tajam terhadap imprealisme beserta anjuran yang tegas kepada prajurit, pemuda, dan rakyat agar bersatu menjunjung tinggi hasrat kemerdekaan,” tulisnya lagi.

Lama kelamaan kelompok sandiwara ini semakin dikenal. Demikian pula group orkestra, wayang dan kelompok gamelan yang diusahakan Tan Malaka pada tentara Jepang. Ia menuturkan lakon-lakon yang mereka mainkan tentulah tak luput dari sensor tentara Jepang. Dan bila terjadi demikian Tan Malaka maju ke muka melobi para tentara Jepang atas nama kebutuhan hiburan para romusha.

Tan Malaka mengerti benar kekuatan bahasa seni untuk menularkan gagasan. Ia paham kekuatan yang tersembunyi dalam suatu bahasa, juga watak dari biografi tubuh orang Indonesia yang tentu tak akan dipahami maknanya oleh tentara Jepang. Ia menulis, “Siapa pula di antara penonton Jepang yang mengerti apa yang terselip dalam bahasa Indonesia yang penuh dengan sindiran itu? Teristimewa pula apa yang terselip dalam gerakan badan dan wajah pemain, walaupun pemain itu tiada mengeluarkan perkataan apa-apa.”

Fungsi Seni
Perhatian Tan Malaka pada seni bisa dilacak ke belakang. Bukan hanya karena ia pernah tampil sebagai sebagai pemain cello dan biola dalam orkestra di sekolahnya semasa di Kweekschool Bukittinggi atau ketika di Rijskweekschool di Belanda. Dalam buku yang menjadi Magnum Opus-nya “Madilog”, secara khusus Tan Malaka ada membicarakan ihwal hubungan seni dan masyarakat dalam sebuah pasal. Bahkan dalam Lampiran “Madilog”, ia mengurai pula bagaimana semestinya kesenian bisa memperkuat jasmani, pikiran, perasaan, cita-cita, dan iman manusia. Seni, kata dia, mesti berdasarkan atas kehidupan.


“Bukan sebaliknya seperti candu yang merusakkan dada, pelesir jauh malam merusakkan kesehatan, obrolan tak karuan merusakkan perasaan dan kehormatan. Dengan begitu seni tidaklah bisa dipisahkan dari hidup. Seni mesti berdasar atas hidup! Sebaliknya hidup manusia harus pula berdasarkan seni,” tulis Tan Malaka.

Sebagai aktivis pergerakan yang mengembara dengan berbagai nama, Tan Malaka telah fasih benar memahami semua itu. Seni bersandiwara memainkan perannya dalam berbagai nama menghindari mereka yang memburunya. Dan di Bayah Banten, ia menggunakan seni sandiwara itu untuk menularkan kesadaran perlawanan pada para romusha.  (Ahda Imran)      

Catatan: Dalam versi yang lebih ringkas tulisan ini dimuat di Harian Pikiran Rakyat, 10 Februari 2014



Tidak ada komentar:

Posting Komentar