Senin, 03 Februari 2014

33 Tokoh Sastra dan Akal Sehat




Oleh Ahda Imran

JANUARI 2013  penerbit PT JurnalSajak Indonesia menerbitkan buku bertajuk “Puisi Esai Kemungkinan Baru Puisi Indonesia” (PEKBPI).  Dieditori oleh penyair Acep Zamzam Noor, buku ini sepenuhnya menyoal ihwal puisi esai. Ragam puisi baru yang digagas oleh D. Jauhar Ali, konsultan politik termashur di Lingkar Survey Indonesia (LSI), yang pada 2012 menerbitkan kumpulan puisi esai “Atas Nama Cinta” (ANC).  Seraya memuat ulasan perihal kumpulan ANC, PEKBPI  memuat pula segala ihwal yang bersangkut soal dengan puisi esai..

Dalam sejarah sastra Indonesia, belum pernah ada sebuah buku diterbitkan demi menyambut kumpulan puisi seorang penyair seperti ANC. Tidak tanggung-tanggung, para penulis yang mengulas kumpulan itu pun adalah sejumlah tokoh berpengaruh, Sutardji Calzoem Bachri, Sapardi Djoko Damono, Ignas Kleiden, Leon Agusta, Agus R.Sardjono, Jamal D.Rahman. Pada intinya, PEKBPI menyambut kehadiran kumpulan D. Jauhar Ali tersebut sebagai pemberi kesegaran bagi perpuisian Indonesia.

Januari 2014 terbitlah buku “33 Tokoh Sastra Indonesia Paling Berpengaruh” (33 TSIPB).
Diterbitkan oleh Kepustakaan Populer Gramedia (KPG). Buku ini disusun oleh mereka yang menamakan Tim 8; Jamal D.Rahman, Acep Zamzam Noor, Ahmad Gaus, Berthold Damshauser, Joni Ariadinata, Maman S,Mahayana, Nenden Lilis Aisyah, Joni Ariadinata. Selain menulis biografi dan kiprah ke 33 tokoh sastra yang terpilih, mereka sebelumnya juga bertindak sebagai tim juri yang menyeleksi. Dalam buku yang ingin menjadi penampang bagi keperluan mengetahui sosok-sosok mereka yang telah berkiprah dan dianggap memberi pengaruh pada dinamika kesusastraan Indonesia selama satu abad ini, di antara ke-33 nama itu, tersebutlah D. Jauhar Ali.

Inilah yang menjadi salah satu pokok soal yang membuat banyak orang bereaksi keras, terutama di media-sosial, hanya beberapa jam setelah buku 33 TSIPB diluncurkan di PDS. HB Jassin, 3 Januari 2014. Reaksi yang tak sekadar mengkritik, namun juga berisi sinisme, tuduhan, dan makian yang dialamatkan pada Tim 8. Tak cukup hanya itu, sejumlah sastrawan pun menyebarkan petisi agar buku itu dipertimbangkan peredarannya karena dianggap menyesatkan. Baik dari metodelogi penulisan, parameter pemilihan yang didesakkan pada nama D. Jauhar Ali      


Yang Mungkin, Yang Pasti
Buku 33 TSIPB  menjadi menarik bila dihubungkan dengan  buku yang terbit setahun sebelumnya, PEKBPI . Sebuah hubungan yang menggiring amatan bagaimana sesuatu yang sebelumnya dikategorikan sebagai “yang mungkin” tiba-tiba telah menjadi “yang pasti”. Peralihan ini menarik sebab bersangkut ihwal dengan proses, peran, dan kontribusi kekaryaan seseorang dalam dunia sastra yang, sekali lagi, dari semula berada dalam atau dikategorikan  sebagai “Kemungkinan Baru” telah menjadi suatu keniscayaan. Keniscayaan  bahwa Jauhar Ali dan puisi esai yang  digagasanya telah memberi pengaruh pada gairah perpuisian Indonesia kontemporer, yang secara menakjubkan itu terjadi hanya dalam rentang waktu satu tahun!  

Tentu amatan atas hubungan kedua buku ini bisa saja keliru. Tetapi, setidaknya terdapat pula fakta bahwa enam penulis dalam PEKBPI (Acep Zamzam Noor, Ahmad Gaus, Agus R.Sarjono, Jamal D. Rahman, Maman S. Mahayana, Nenden Lilis Aisyah) adalah pula anggota Tim 8. Fakta ini lagi-lagi menggiring ke arah amatan atas kemungkinan adanya hubungan kedua buku tersebut.  Komposisi penulis dan penyusun 33 TSIPB  (Tim 8) pun tak kalah menariknya bila mencermati fakta bahwa lima dari mereka (Acep Zamzam Noor, Agus R.Sarjono, Ahmad Gaus, Berthold Dammhausser, Jamal D.Rahman) adalah pula Redaktur Jurnal Sajak, media yang memiliki halaman Puisi Esai, yang salah seorang Pemimpin Umumnya adalah D. Jauhar Ali

Tanpa lantas mendakwa bahwa komposisi Tim 8 dan fakta semacam itu telah turut memengaruhi peralihan “yang mungkin” (PEKBPI) menjadi “yang pasti” (33 TSIPB) dalam konteks D. Jauhar Ali.  Namun, ada kesan yang sulit dielakkan bahwa puisi esai sebagai suatu gerakan yang sporadis diusung ke tengah publik, digerakkan atau disyiarkan oleh jaringan yang itu-itu juga, dan media yang itu-itu juga. Kehadirannya di medan sosial sastra (rubrik puisi esai di Jurnal Sajak, penerbitan puisi esai, sayembara penulisan puisi esai, ulasan dan kritik, workshop di kampus) selalu digerakkan oleh jaringan yang mudah ditebak. Dari sembilan buku yang terbit ihwal puisi esai, hanya dua buku yang bukan diterbitkan oleh Penerbit Jurnal Sajak.

Inilah yang melainkan medan sosial puisi esai dan puisi mbeling yang menjadi fenomena menarik tahun 1970-an yang berawal dari Majalah Aktuil.  Namun demikian, tak ada yang salah dengan strategi memasuki medan sosial sastra seperti yang dilakukan oleh jaringan gerakan puisi esai. Medan sosial sastra bisa saja diciptakan, bahkan direkayasa, demi merayakan apa yang diyakini sebagai keberagaman konsepsi estetika puisi. Termasuk dengan menyediakan jumlah nominal hadiah uang yang mencengangkan dalam berbagai sayembara penulisan puisi esai,  atau nilai honorarium bagi sejumlah penyair yang untuk itu mereka bersedia dan tertarik menulis puisi esai, lalu karya mereka diterbitkan.

Akal Sehat                                   
Tetapi, seluruhnya menjadi genting ketika jaringan gerakan itu memakai rekayasa atau penciptaan kondisi medan sosial yang mereka kerjakan tersebut, dalam posisi sebagai Tim 8. Meski tentu tidak seluruhnya komposisi Tim 8 diasumsikan sebagai bagian dari gerakan puisi esai, namun relasi struktural antara Tim 8 dan gerakan puisi esai mustahil ditiadakan.  Pada konteks semacam inilah menjadi lumrah bila banyak orang mempertanyakan dimasukkannya D. Jauhar Ali oleh Tim 8 ke dalam 33 TSIPB .

Sebaliknya, bagi sebagian besar anggota Tim 8 tentu sangatlah tidak masuk akal bila nama D. Jauhar Ali, "penggagas" puisi esai yang didaku telah menjadi fenomena dan trend itu, tidak dimasukkan ke dalam daftar 33 tokoh sastra yang paling berpengaruh. Karena itu akan sama halnya dengan memberi angka merah pada semua yang telah mereka kerjakan demi gerakan puisi esai. Hanya tim marketing  yang bodoh yang tidak menyebut produknya sebagai produk terbaik. Hanya tim sukses yang lugu yang tidak mengatakan calon yang diusungnya adalah calon yang paling amanah.  Dengan memasukkan nama D. Jauhar Ali maka sebagian besar anggota Tim 8 seolah ingin merayakan suksesnya gerakan mereka selama ini, sehingga menemukan alasan untuk mengubah “yang mungkin” menjadi “yang pasti” hanya dalam waktu satu tahun. 

Akhirnya, sekali lagi, sangatlah sulit mencerna dengan akal sehat dimasukkannya D. Jauhar Ali dari amatan atas komposisi sebagian besar anggota Tim 8 dan hubungannya dengan jaringan gerakan puisi esai. Seperti sangat sulitnya untuk tidak menyebut bahwa perbuatan itu merupakan penghinaan terhadap akal sehat. Dalih bahwa mereka berada dalam Tim 8 dalam kapasitas pribadi, tentu saja mudah sekali dipatahkan.

Namun, tidaklah lantas pikiran ini sedang mengatakan bahwa buku 33 TSIPB  tidak menyimpan masalah seandainya D. Jauhar Ali tidak berada di dalamnya. 33 tulisan di dalamnya tak lebih sekadar esai-esai lepas yang abortif  menjelaskan tanggung-jawabnya pada frase judul yang provokatif itu, “Paling Berpengaruh”. Jangan lagi menjelaskan makna pengaruh itu dalam mata rantai dan dialektika kreatif ke-33 sastrawan tersebut. Selintas buku ini mirip buku “Dermaga Sastra Indonesia: Dari Raja Ali Haji sampai Suryatati A. Manan” (Penerbit Komodo: 2010), yang memuat sejumlah tulisan profil para sastrawan Tanjungpinang. Dan mungkin hanya kebetulan bila ketua penyusun buku ini adalah juga Jamal.D. Rahman.   

Pula, tidaklah lantas pikiran ini sedang mengatakan bahwa nama D. Jauhar Ali akan menjadi logis dimasukkan ke dalam buku 33 TSIPB  seandainya komposisi Tim 8 itu berbeda. Setidaknya, dengan komposisi yang berbeda tim itu lebih dulu akan berpikir keras menaruh pengertian “Paling Berpengaruh”, mengeluarkannya dari pemahamannya yang abstrak dan bisa diterima akal sehat. Mungkin tim itu akan berdebat berbulan-bulan sampai bosan, frustasi, dan akhirnya sepakat, bahwa buku semacam itu tak ada faedahnya diterbitkan.         

Ahda Imran, penyair    

2 komentar: