Sabtu, 01 Maret 2014

Menanti Seniman Politik




---Ahda Imran,  Penyair dan Esais


NAMANYA Nyoman Anjani, Presiden Keluarga Mahasiswa ITB, sedang menyelesaikan tugas akhirnya di Jurusan Teknik Mesin. Memakai baju hangat, celana jins dan sepatu keats, rambut terurai, memakai kacamata, dan cantik. Malam itu (22/1), dalam acara “Peta(ka): Orasi Kebudayaan Akhir Tahun” di Lapangan Merah Fakultas Seni Rupa dan Desain (FSRD) ITB , ia tampil sebagai orator paling muda di antara orator lainnya; Dr. Yasraf Amir Piliang, Prof. Setiawan Sabana, Dr. Asep Salahudin, Gustaff Hariman Iskandar, dan Prof. Bambang Hidayat. Dengan gayanya yang santai ia bicara ihwal politik dan seni, tanpa perlu mengutip kalimat-kali gagah Marx, Soekarno, Tan Malaka, Lenin, atau Plato, yang lazimnya jadi kebiasaan aktivis kampus. 


Lalu sesantai itu pula ia ceritakan proses pengetahuannya perihal politik, budaya, dan seni dari situs Wikipedia. Dari seluruhnya itu ia menarik kesimpulan; politik adalah seni dan politikus adalah seorang seniman. Pilpres 2014, dia bilang, ialah saat di mana rakyat akan memilih seorang senimannya untuk melukis kanvas negara ini. Sayang, tak ada seorang pun politikus yang hadir ketika ia mengatakan, “Seandainya para politikus kita itu adalah seniman, maka ia tak akan memasang foto wajahnya di pohon atau pantat angkot.”

Orasi Nyoman Anjani menarik sebab ada yang sedang diingatkannya di situ. Yakni, ihwal perlunya politik dipulangkan pada kemuliaannya sebagai kerja memperjuangkan ide demi kemaslahatan bersama. Kerja dengan serangkain teknik dan kebijaksanaan. Di atas semua itu, kerja politik ialah seni memengaruhi khalayak sebagaimana halnya kerja seorang seniman melalui karyanya. Ringkasnya, kerja politik adalah “kerja seni”,  sebagaimana Laotse atau Machiavelli pernah menuliskannya sebagai serangkaian teknik keahlian para negarawan.

Ingatan ini pula jadi penting sebab betapa sudah begitu langkanya khalayak negeri ini menjumpai seorang “seniman politik”; politikus yang cerdik memahami adab dan seni berpolitik. Lihat saja, Setiap hari khalayak pun dikerubungi oleh retorika para politikus yang bila diukur dari seni memengaruhi, mutunya di bawah rata-rata kemampuan aktivis Multi Level Marketing (MLM).

Dalam esainya “Prosa dan Puisi dalam Politik Indonesia” Ignas Kleiden (2001) menyitir Otto van Bismarck yang menyebut politik sebagai seni kemungkinan (the Art of the posible) yang dengan itu politik dan puisi berada dalam ambivalensi yang sama. Tetapi, seperti ditegaskan Ignas Kleiden, problem politik Indonesia dengan berbagai perubahannya cenderung dipahami secara prosais. Problem ini kian akut manakala demokrasi, sebagaimana kodratnya, selalu menghadapkan dua ihwal dalam interaksi yang dialektis, yakni, konsensus dan konflik. Di ranah politik, kontradiksi sebagai risiko selalu urung menjadi isu yang produktif karena  bahasa politikus gampang sekali ditebak motivasi dan maunya.

Berlainan dengan itu, tak ada pengetahuan para politikus hari ini ihwal khalayak lebih dari apa yang mereka dapatkan dari lembaga survey. Ini ditambah lagi dengan konspirasi mereka dengan media sebagaimana disebut Geoff Mulgan dalam Politic in an Antipolotical Age (1994:21). Media dan para politikus mempropagandakan opini mereka, menguji melalui pengumpulan opini, dan mendaur-ulangnya dengan legitimasi baru. Di situ, posisi khalayak pemilih tak lebih hanya angka dan data-data statistik, bukan subjek.

Ruang Bathin 
Ruang bathin khalayak ialah ruang yang dimasuki oleh seorang seniman. Dari ruang inilah ia menangkap berbagai gagasan kesadaran demi merepresentasikan ruang batin khalayak. Dan sampai hari ini kita belum juga menjumpai seniman politik yang menaruh dan menatap khalayak dengan serupa Soekarno, Sjahrir,Tan Malaka, dan para tokoh pergerakan yang paham nian apa yang ada dalam benak khayalaknya dan bagaimana memengaruhi mereka.  

Kesadaran terhadap ruang bathin khalayak amat ditentukan oleh bagaimana sebenarnya seorang politikus memaknai dunia politik, juga motivasi atau tujuannya menjadi politikus. Politikus yang memaknai dunia politik serupa lapangan kerja tentu saja tak punya keperluan apa pun selain menjadikan khayalak sebagai kantong berisi suara yang dibutuhkan lima tahun sekali.

Oleh sebab itu, pinjam tamsil Nyoman Anjani, polikus sejenis ini adalah “seniman” yang tak melukis apa pun di atas kanvas selain lukisan yang diinginkannya. Lukisan yang kerap kasar dan norak.  Bila 2014 disebut sebagai tahun politik, sampai hari ini khalayak masih menyaksikan panggung politik dimainkan oleh para aktor dengan akting yang jelek. Seni peran yang datar, garing, dan norak. 

Dan menanti seniman politik rasanya sama dengan menunggu Godot.  Bila pun ada,  itu sekadar seniman dan selebriti yang ujug-ujug jadi politikus, memainkan perannya sebagai anggota DPR atau Kepala Daerah. Saking bagusnya mereka memainkan perannya, dalam segala hal mereka tak ada bedanya lagi dengan pejabat dan politikus kebanyakan. Pejabat dan politikus sekadar.**          

SUMBER: Pikiran Rakyat, 21 Februari 2014

1 komentar: