Rabu, 27 Maret 2013

Trakl: Puisi, Keindahan, dan Beban Kebenaran





--Ahda Imran

Eloklah manusia, menjelma dalam gulita
                                                     (Helian)

BAGI  perindu kebenaran, pemeluk teguh karya seni yang mengimani keindahan sebagai yang harus menyeru manusia pada laku kebajikan, karya seni yang digubah dari getar sukma dan menuntun orang untuk menginsyafi sinar benderang kemuliaan seraya mewaspadai kejahatan, Georg Trakl (1887-1904) dan puisi-puisinya adalah contoh yang buruk—bahkan paling buruk. Baris puisinya di atas hanyalah satu dari sekian karyanya yang tak patut dijadikan ajaran apalagi teladan,  pemujaannya yang setengah mengajak orang untuk  menjelma dalam gulita. Bahkan, penyair yang juga pecandu narkotika ini pernah mengatakan, “Saya tidak berhak mengelak dari neraka”. Na’udzubillahi himinndzaliq...

Dan ternyata itu belum cukup. Georg Trakl adalah seseorang yang kepadanya seluruh kebencian mesti dialamatkan. Bukan hanya ia pendosa karena mencandu narkotika yang membuatnya mengalami berbagai halunisasi (skizofrina), tapi Trakl juga  menjalin cinta gelap dengan adik perempuannya sendiri, Grete. Hubungan inses ini telah berlangsung sejak keduanya masih remaja. Ada banyak alasan untuk memaafkan seorang narkoba atau memaklumi seorang yang memilih menjadi komunis, atheis, fasis, atau berbagai kejahatan dan kelainan seks. Tapi sulit sekali menemukan alasan untuk memaklumi, apalagi memaafkan, orang yang bercinta dengan adik kandungnya. Perbuatan yang bahkan tak terpikirkan oleh para pengedar dan bandar narkoba sekalipun.

Oleh sebab itu sangatlah mustahil menemukan sinar benderang keindahan dan kebenaran dalam sajak-sajak Trakl. Bahkan juga tak usahlah berharap akan menemukan puisi dengan ungkapan pertobatan yang becek oleh sedu-sedan. Sejenis pengakuan dosa atas kedurjanaannya seraya membayangkan dunia Tuhan yang pengasih dan penyayang, sehingga pembaca larut pada kesadaran betapa Maha Pengampunya Dia menerima kembali dombaNya yang tersesat.

Sebaliknya, sebagaimana hidupnya, sajak-sajak Trakl ialah dunia yang gulita. Sajak-sajak kelam yang ditulis oleh seorang pendosa, seorang Skizofrenik yang menemukan dirinya sebagai pemuda yang Di petang hari,/ ia gemar berjalan-jalan di kuburan yang terlantar, atau di remang/ kamar mayat memandangi jenazah, bintik-bintik hijau/ kebusukan di tangan mereka (Mimpi dan Kelam Jiwa).
                                                             
                                                                             **

LALU  sajak-sajak  semacam inilah yang dipilih oleh duet  Berthold Damshäuser dan Agus R. Sarjono untuk diterjemaahkan ke dalam bahasa Indonesia. Proyek penerjemaah ini merupakan seri penerjemaahan puisi-puisi berbahasa Jerman ke dalam bahasa Indonesia yang ke-7.   Ada 42 puisi yang termaktub dalam kumpulan bertajuk “Mimpi dan Kelam Jiwa”. Serupa kumpulan Seri Puisi Jerman sebelumnya— Rilke, Brecht, Goethe, Enzerberger, Nietzsche— kumpulan ini menyuguhkan Trakl dari dua ihwal, yakni, karya dan manusianya. Buku ini diluncurkan di sejumlah kota. Malang, Jakarta, Bandung, Tasikmalaya, dan Cirebon.


Seperti yang telah menjadi pakem dalam setiap format seri buku Seri Puisi Jerman, pun dalam kumpulan ini Berthold Damshäuser memberi pengantar yang begitu lengkap ihwal biografi Trakl. Menarik tentu, terlebih Trakl dan puisinya tetaplah nama yang asing bagi publik sastra Indonesia. Meski sejumlah karyanya telah diterjemahkan dan dimuat dalam dua antologi yang dikerjakan oleh Berthold Damshauser dan alm. Ramadhan K.H., “Malam Biru di Berlin” (1990) dan “Kau Datang Padaku” (1994). Pula demikian dengan Dian Apsari dan Berthold Damshäuser yang menerjemahkan sejumlah sajak Trakl yang dimuat di Majalah Sastra Horison edisi Juni tahun 2000.  

Pengantar Berthold Damshäuser mentautkan biografi Trakl dan puisi-puisinya. Hal yang menjadi niscaya, sebab, sekurang-kurangnya, biografi Trakl dimungkinkan menjadi pintu masuk yang leluasa untuk menghampiri nada suram dalam puisi-puisinya. Lepas dari keniscayaan bahwa biografi seorang sastrawan merupakan satu dari sejenis pendekatan terhadap karyanya. Terlebih lagi pada Trakl, biografinya yang gelap dan puisinya yang nestapa, tak urung membuat sajak-sajaknya seolah tak bisa lagi disendirikan.

Karena itulah dalam dua diskusi peluncuran “Mimpi dan Kelam Jiwa”—di Bandung (12 September) dan di Tasikmalaya (14 September)—muncul semacam “keluhan” bahwa biografi Trakl telah merebut perbincangan ihwal-ihwal puisi-puisinya. Paling tidak, puisi-pusi Takl tak pernah dibiarkan sendiri sebagai sebuah teks sebagaimana pengantar Berthold Damshäuser yang kelewat menjelas-jelaskan sajak Trakl dengan tautan pada biografinya.  Bahkan di Bandung, Arahmaiani menyebut perbincangan tentang biografi Trakl telah menjadi semacam penghakiman.

Namun di luar soal itu, mengapung pula pertanyaan ihwal pertimbangan memilih sajak-sajak Trakl dalam Seri ke VII Puisi Jerman tahun ini. Terlebih lagi bila dihadapkan pada relevansinya dengan konteks Indonesia hari ini. Bila terjemaahan seri sebelumnya—“Syahwat Keabadian” karya Nietzsche—ada ditemukan semacam relevansi atau aktualitasnya dengan konteks Indonesia dalam hubungan kekerasan atasnama agama sebagai lembaga; maka relevansi atau aktualias semacam itu sulit ditemukan pada penerbitan karya Trakl.

Malah sebaliknya, di tengah berbagai situasi yang membuat orang Indonesia sulit menemukan alasan untuk optimis, mereka diperkenalkan pada sajak-sajak pesimisme Trakl. Tanpa sajak-sajak Trakl dan riwayat hidupnya yang durjana itu,  Indonesia sendiri sudah begitu mengerikan. Karena itulah diskusi peluncuran “Mimpi dan Kelam Jiwa” di Bandung diawali dengan pertanyaan: Apa sebenarnya faedah membaca puisi-puisi Trakl yang muram dan penuh nestapa itu bagi publik sastra Indonesia yang hidup di sebuah negara yang tak kalah muram dan penuh nestapa ini?
                                                                    **         
 ATAS pertanyaan tersebut ada  banyak jawaban yang dipaparkan oleh kedua penyunting/editor, juga dari sejumlah tanggapan peserta diskusi. Tapi dari seluruhnya itu—termasuk juga dalam diskusi di Tasikmalaya—ada satu hal yang mengemuka dan menarik untuk ditating ke ranah yang lebih luas. Sesuatu yang bersinggungan dengan kesadaran banyak orang ihwal status karya seni sebagai keindahan yang selalu dilekatkan pada konsep kebenaran. Atau dengan kata lain, betapapun relatifnya kategorisasi atau parameter sebuah karya seni, tapi ia mesti menyimpan gagasan tentang keindahan atau mendatangkan rasa indah pada manusia yang dengan itu ia mencerahkan dan mengajak manusia untuk merenungi kebenaran.

Karya seni dan keindahannya haruslah menyeru dan mengajak masyarakatnya pada kebajikan. Ringkasnya, keindahan adalah kebenaran itu sendiri. Adapun karya-karya seni yang mengandung keindahan tapi cenderung mengajak orang untuk berbuat maksiat, maka seni semacam itu dikategorisasikan sebagai seni rendah. Dalam konteks sosiologis, status bentuk seni sejenis itu diidentifikasi sebagai seni bagi segolongan masyarakat yang tak berpendidikan dan berselera rendah, seni yang kasar dan jauh dari tujuannya untuk memperhalus batin manusia. Ronggeng, Bajidor, atau dangdut koplo, oleh parameter semacam itu, agaknya bisa dikategorikan ke dalam seni sejenis ini.     

Tampaknya, tradisi perpuisian Indonesia  juga memiliki kecenderungan semacam ini. Karya yang umumnya menjadi penanda penting dalam perkembangan sastra Indonesia selalu diidentifikasi dari adanya tautan antara keindahan bentuk dan gagasannya pada kebenaran. Puisi yang selalu memaktubkan berbagai seruan, kegelisahan, atau renungan ihwal kesadaran pada pencarian kebenaran—mulai dari ketuhanan, hakikat eksistensi manusia,atau kebenaran di ranah sosial-politik. 

Sejak masa Hamzah Fansuri, lasykar Pujangga Baru, generasi Chairil, Rendra, generasi 1970-an, hingga yang terkini, puisi Indonesia dipenuhi oleh suara yang menyeru dan merindukan dunia ideal—Sang Kebenaran. Dunia ideal yang digapai-gapai dalam sedu-sedan puisi relijius Amir Hamzah, yang dirindukan lewat pemberontakan eksitensial Chairil Anwar, yang diserukan dengan teriakkan atau linang air mata dalam sajak-sajak protes sosial seperti Rendra dan Taufiq Ismail. Bahkan tak jarang, kebenaran yang diimani itu membuat puisi Indonesia kerap penuh dengan fatwa sosial dan moral. 

Puisi Indonesia umumnya adalah lirisme estetika Aku yang berdiam sebagai representasi pencari dan penyeru kebenaran; yang mengasingkan diri dan mengutuki segala kebusukan di sekelilingnya, atau yang mengepalkan tinju demi memperjuangkan kebenaran.  Jika pun di situ Aku lebur dalam kebusukan, maka puisi itu menjelma sebagai estetika pertobatan yang mengharukan, yang sayup-sayup menyeru dunia ideal kebenaran yang dirindukan, sebagaimana gumam Chairil Anwar  “Si Binatang Jalan”; Tuhan aku mengembara ke negeri asing / di pintuMu aku mengetuk dan tak bisa berpaling

Sebaliknya, amat langka kita bersirobok dengan Aku estetik yang merepresentasikan keburukan atau kejahatan, lebih lagi yang mengimani keduanya.  Seakan puisi Indonesia adalah teks yang tak memiliki hubungan biografi dengan apa dan siapapun yang memproduksinya.  Setidaknya, perpusian Indonesia umumnya adalah Aku sebagai strategi kesadaran yang tak berjarak dari kebenaran dan moralitas yang diimani masyarakatnya. Oleh sebab itu, dalam tradisi perpuisian Indonesia tak ada Aku atau apapun yang menjadi personifikasi gagasan penyair,  yang merepresentasikan kejahatan atau menyimpang dari kebenaran, norma, dan moralitas masyarakatnya—Aku guy, Aku lesbi, Aku koruptor, Aku kejahatan, Aku Iblis. 

Meski terlalu jauh untuk mencurigai jangan-jangan perpuisian Indonesia dibangun dengan beban kebenaran serupa tradisi moralitas Viktorian, namun satu hal yang jelas, keindahan di situ diimani sebagai milik kebenaran. Puisi adalah keindahan dan keindahan puisi adalah pencerahan bagi pembacanya untuk menemukan atau merenungi cahaya kebenaran. Ringkasnya, puisi Indonesia terlalu terhormat untuk meniru apa yang dilakukan oleh sebuah lagu yang berisi pengakuan seorang penjahat bernama Bento. 
                                                                 **
DALAM  diskusi di Bandung, ada saya mencatat paparan Berthold Damshäuser dan Agus R Sarjono ihwal salah satu kekuatan yang melatari keindahan puisi Trakl, yakni, kejujuran. Saya kira ini menarik di tengah kelangkaan puisi Indonesia yang menolak dibebani oleh kebenaran. Mentautkan puisi Trakl yang kelam dan segala kedurjanaan dalam biografinya, kita seakan diberi tahu bahwa keindahan bisa berselisih jalan dengan kebenaran. Bahkan, keindahan bukan soal putih-hitamnya kebenaran dan kejahatan. Segala pemandangan yang mendebarkan dalam 42 sajak Trakl dalam kumpulan “Mimpi dan Kelam Jiwa”,  berada di luar hasrat untuk menjadi pemilih antara menyuarakan kebenaran atau menghembuskan kejahatan.

Hasrat satu-satunya yang dimiliki Trakl tampaknya hanyalah menghadirkan kembali  pengalaman hidupnya yang paling menggelisahkan. Dan itu dilakukannya dalam pencarian bentuk estetik seraya  melepaskan keindahan dari segala beban kebenaran dan moral. Dalam sajak Trakl, bentuk sebagai keindahan ialah bentuk itu sendiri demi merepresentasikan segenap pengalamannya yang mengerikan. Pengalaman yang berada di luar kelaziman norma dan moralitas umum. Sebaliknya, estetika bentuk yang penuh pertimbangan dalam puisi-puisinya tidaklah juga difungsikan untuk menyuarakan kejahatan. Ia, Trakl, hanya berhasrat menulis puisi meski dari bagian hidupnya yang paling durjana sekalipun. Satu hal yang langka ditemukan dalam perpuisian Indonesia.

Jika ditamsilkan dengan lukisan, sajak Trakl bukanlah lukisan Otto Dix. Pelukis Jerman dengan keindahannya yang lugas dalam menampilkan segala bentuk kehancuran manusia. Tapi, puisi Trakl adalah dunia kelam dari kejahatan manusia yang mengerikan dalam keindahan kanvas Rembrant yang penuh perhitungan warna, pencahayaan, komposisi.

Di tengah eforia fundamentalisme moral dan riuh-rendahnya industri nasihat yang mengajarkan kebenaran, di tengah haru biru keindahan puisi Indonesia dengan berbagai kebenaran “Platonis”-nya, tampaknya inilah faedah yang termaktub dalam puisi-puisi Trakl—bahwa keindahan itu adalah hak segala perbuatan. Membaca puisi-puisi Trakl, kita akhirnya tahu betapa kejahatan yang paling memalukan sekalipun bisa berfaedah untuk sebuah keindahan.  Puisi-puisi Trakl, akhirnya, juga berfaedah demi menjadi semacam upaya membebaskan keindahan dari beban kebenaran.** 

Sumber: Jurnal Sajak No.4 Tahun 2012


 

 








Tidak ada komentar:

Posting Komentar