Kamis, 28 Maret 2013

Kegairahan dalam Kerumunan




Oleh AHDA IMRAN

PENGUMUMAN hasil seleksi karya para penyair yang berhak mengikuti Pertemuan Penyair Nusantara (PPN) VI di Jambi 28-31 Desember 2012, menempatkan 24 nama penyair Jabar. Selain diundang hadir ke Jambi, karya mereka juga dimuat dalam antologi “Sauk Seloko” bersama para penyair lainnya dari berbagai kota dan negara. Banyaknya jumlah penyair Jabar yang lolos seleksi PPN VI Jambi dibanding  propinsi-propinsi lainnya, mengulang apa yang pernah terjadi pada hasil seleksi karya para penyair yang mengikuti Temu Sastrawan Indonesia (TSI) IV di Ternate Maluku Utara 2011 lalu. Dalam buku antologi  “Tuah Tara No Ate” yang terbit menyertai even TSI IV, terdapat  sejumlah puisi karya 15 penyair Jabar.

Dari kedua even itu, di antara daftar para penyair Jabar, umumnya ialah generasi terbaru.   Anis Sayidah, Evi Sefiani, Sinta Ridwan, Nissa Rengganis, Herton Maridi, atau Pungkit Wijaya. Termasuk pula sejumlah nama generasi terbaru yang  mungkin masih terdengar asing bagi publik sastra di Jabar; Jun Nizami, Khoer Jurzani, Ahmad Syahid, Arinda Risa Kamal, Rudy Ramdani , Galah Denawa, Neneng Nurjanah, Syarif Hidayatullah, Willy Fahmy Agiska, Windu Mandela, Romyan Fauzan, Arinda Risa Kamal, atau Zulkifli Songyanan. Nama-nama ini menyertai sejumlah penyair lain dari lapisan generasi Ahmad Faisal Imron, Atasi Amin, Toni Lesmana, Bode Riswandi, Heri Maja Kelana, Dian Hartati, Fina Sato, atau Doni Muhammad Nur.

Banyaknya jumlah karya penyair Jabar yang terpilih dalam seleksi dua even sastra tersebut, tentu akan menjadi gegabah bila lantas disebut bahwa karya penyair Jabar lebih bagus ketimbang penyair dari propinsi lainnya.
Sebutlah, Lampung, Bali, atau Yogyakarta, atau Sumatera Barat,  yang selama ini selalu memunculkan para penyair generasi terbaru. Mekanisme seleksi karya demi suatu even tidaklah bisa jadi perangkat untuk mengukur tingkat pencapaian estetika rata-rata di sebuah propinsi. Terlebih lagi, di luar mereka yang karyanya terpilih mengikuti even sastra semacam itu, masih terdapat sejumlah penyair dengan kualitas karya yang tak kalah menariknya. Sebutlah, Meitha KH,  Semi Ikra Anggara, Pradewi Tri Chatami, Pungkit Wijaya, Peri Sandi Huizche, Jean Reandy Satria, Abdurahman Mohamad, Dyen Wijayatiningrum, atau Dery Hudaya, untuk menyebut beberapa nama.  


Kegairahan
Namun, banyaknya bilangan penyair Jabar yang lolos seleksi dalam kedua even itu, tetaplah jadi menarik. Terutama demi mengurangi kecemasan ihwal regenerasi kepenyairan. Tapi yang lebih penting lagi, pencapaian dengan jumlah bilangan itu baik dibayangkan sebagai representasi dari tingkat kegairahan perpuisian yang berlangsung di Jabar. Tingkat kegairahan yang tak lagi melulu berlangsung di Bandung, Tasikmalaya, atau Cirebon sebagai kota yang selama ini menjadi penanda dalam dinamika perpuisian di Jabar. Tapi juga Sumedang, Cianjur, dan Depok. Ini jika muasal atau domisili para penyair yang karyanya terpilih dalam dua even sastra tersebut  digunakan sebagai ukuran.   

Berbagai agenda komunitas sastra, dari mulai diskusi karya, lauching atau peluncuran buku, hingga pembacaan puisi, merupakan embrio dari kegairahan tersebut.  Kegairan yang melahirkan pula bentuk berikutnya dari intesitas pergaulan sastra. Apalagi lantas berkait pula dengan kehadiran beragam media sosial, yang tak sekadar difungsikan untuk menyosialisasikan karya dan pembacaan, tapi pula menjadi ruang yang tak tersendirikan dari bentuk lain dalam hasrat melakukan mobilitas sosial.  Lebih dari itu, jejaring sosial telah pula memengaruhi jumlah dan keberagaman publik sastra. 

Setidaknya, sebelum kehadiran media sosial, mudah sekali mengenali mereka yang rajin menghadiri berbagai acara pembacaan dan diskusi puisi. Demikian pula dengan keberagaman komunitas sastra yang sebelumnya hanya terkonsentrasi di kampus-kampus. Meski tentu hal ini juga terjadi di banyak tempat, namun inilah yang membangun tumbuhnya kegairahan berpuisi di Jabar.

Bila kemudian kegairahan berpuisi di Jabar lebih besar ketimbang di daerah-daerah lain, dengan meletakkan perbandingan keterpilihan dari dua even itu sebagai ukuran, maka ada banyak kemungkinan yang bisa diperiksa sebagai musababnya. Bisa iklim apresiasi dan karakter sosialnya yang berbeda, pola manajemen komunitasnya. Atau, mungkin pula besaran kegairahan berpuisi di daerah lain itu sebenarnya sama, atau bahkan lebih besar. Hanya saja hasrat para penyairnya untuk mengirim karya agar diundang ke sebuah even sastra barangkali tidaklah sebesar antusiasme penyair Jabar.

Kerumunan
Tapi apapun, seperti membilang jumlah penyair Jabar yang terpilih mengikuti TSI IV Ternate dan PPN VI Jambi itu,  kegairahan perpuisian di Jabar tentu tetaplah suatu kebahagiaan. Itu artinya, puisi masih memiliki pesona yang menggairahkan bagi ihtiar meneruskan tradisi penciptaan.  Terlebih lagi mereka umumnya ialah para penyair muda.  Namun, diam-diam, tetaplah ada sesuatu yang tak bisa disangkal, bahwa kegairahan itu dicemaskan hanya berhenti  sekadar menjadi kegairahan. Kegairahan yang bahkan berpotensi menjadi kerumunan.

Baik kerumunan dalam konteks perayaan memproduksi teks sonder tradisi penemuan, kerumunan dalam berbagai peristiwa dan agenda sastra sonder perbincangan atau pemikiran yang produktif.  Pula kerumunan dalam pergaulan sastra, termasuk di jejaring sosial, yang melulu dipenuhi semangat budaya lisan. Tanpa tradisi penemuan, atau ihtiar ke arah itu,  
dan melulu kerumunan, kegairahan berpuisi niscaya akan menemukan titik jenuhnya. Tak pernah ada tradisi penciptaan, apalagi tradisi penemuan, yang lahir dari kerumunan.

Barangkali memang diperlukan ruang tunggu lebih lapang untuk menanti munculnya penyair muda dengan ihtiar menemukan strategi estetis yang lebih keras kepala, yang bisa meluputkan dirinya dari kerumunan semacam itu.  Strategi yang membayangkan jejak keras pencariannya untuk luput dari  kerumunan “estetika” yang sudah menjadi umum. Strategi yang tak melulu sibuk memperlakukan bahasa sebagai pekerja yang sebenarnya tak lebih dari sekadar memfungsikannya untuk melakukan berbagai reproduksi. Mulai dari metafora hingga bangun suasana dan sikap pengalaman di hadapan tema. Strategi yang memperlihatkan kesuntukkannya memberi tenaga pada kata-kata.

Tapi di antara kegairahan berpuisi yang berkerumun itu, ada juga karya-karya menarik yang diperlihatkan oleh penyair generasi terbaru. Paling tidak, pada karya mereka terasa benar adanya intensitas dan ihtiar dalam memperlakukan bahasa serta strategi penghampirannya pada tema. Sebutlah, Anis Sayidah, Pradewi Trichatami, Ratna Ayu Budiarti, Edwar Maulana atau Pungkit Wijaya.

Bila benar bahwa kegairahan berpuisi tidaklah mesti berujung pada lahirnya generasi kepenyairan berikutnya, setidaknya karya mereka bisalah diharap berada di luar kebenaran itu. Sehingga kelak mereka bisa melapis generasi Toni Lesmana, Faisal Syahreza, Ahmad Faisal Imron, Semi Ikra Anggara, Bode Riswandi, Heri Maja Kelana, atau Yopi Setia Umbara.  Tapi itupun sepanjang mereka tetap setia merawat konsistensinya. Kegairahan yang tak terjebak dalam kerumunan.**   

       

 


  




          

























Tidak ada komentar:

Posting Komentar