Rabu, 27 Maret 2013

Alazhi: Tubuh Identitas di Simpang Jalan




---Ahda Imran

Selamat tinggal, Alazhi. Selamat datang Lian Ting

ITU kalimat yang dibisikkan Alazhi pada dirinya. Sesaat setelah gadis Uyghur itu melepas kerudung dan busana muslimahnya, menukarnya dengan busana modern yang memamerkan tubuhnya yang ramping. Bila, seperti dibilang Henk Schulte Nordholt (2005), busana dimaknai sebagai perpanjangan tubuh, maka dalam peristiwa itu Alazhi sedang menyeberangkan tubuhnya dari satu identitas ke identitas yang lain. Ia mengalihkan definisi dan deskripsi identitas tubuhnya ke identitas yang lain. Identitas baru yang berbeda, yang merepresentasikan hasratnya pada kemajuan. Sekaligus yang mendeskrsipsikan sebuah tatanan psiko-sosial politik dan budaya yang menegangkan, yang menghadapkan identitas minoritas dan mayoritas.      

Lebih jauh dalam peristiwa itu Alazhi sedang memamerkan kuasanya sebagai perempuan atas identitas tubuhnya.  Setelah selama ini kuasa itu berada di tangan sejarah, tradisi, dan kepercayaan sukunya. Perempuan yang pergi sendiri meninggalkan kampung halamannya dan membuka kerudungnya adalah sebuah aib. Kuasa ayah atau suami adalah representasi dari kuasa suci agama. Kerudung bukan hanya selembar kain, tapi juga norma agama, harga diri keluarga, dan identitas dari marwah kaum atau suku. Pergi diam-diam meninggalkan kedua orang tua dan sukunya, barulah Alazhi berada di luar kuasa itu. Ia kini memiliki kuasa atas identitas tubuhnya meski harus menanggung aib.

Dalam toilet di Urumqi Diwopu Airport—sesaat sebelum ia terbang ke Ghuang Zhou—gadis Uyghur itu melepaskan identas tubuhnya dari sejarah dan tradisi sukunya. Menaruhnya di ruang masa lalu sebagaimana ia mengucapkan selamat tinggal pada namanya, Alazhi; dan menggantinya dengan Lian Ting, nama Han. Nama yang sesungguhnya merupakan bentuk dari pemaksaan politik asimilasi pemerintah pada suku-suku minoritas agar berbaur dengan suku Han yang menjadi mayoritas di Cina.

Gadis Uyghur itu harus menyerah pada politik asimilasi semacam itu. Bahkan, penyerahan itu dilakukan sebagai suatu pilihan yang sadar.  Setidaknya nama Lian Ting akan memberi ruang yang leluasa bagi hasratnya meraih kemajuan yang direpresentasikan pada tubuh dan identitas suku mayoritas. Seperti surat adiknya yang telah lebih dulu meninggalkan kampung halamannya—Kalau di sini kita masih tampil dengan ke-Uyghur-an kita, sama saja kita berjalan di tempat, Alazhi.
                                                                   **
TAPI  apakah sebenarnya kemajuan dan menjadi modern itu? Inilah pertanyaan besar yang tak pernah bisa dijawab oleh Lian Ting selama ia tinggal dan hidup di Ghuang Zhou—di tengah dengus budaya urban yang membuatnya menjadi tubuh identitas yang gamang. Tubuh yang mengalami alienasi. Tubuh yang gagal mendefinisikan dan mendeskripsikan identitas dirinya. Kesadaran pada identitas memang selalu terbit manakala seseorang berada di tengah identitas yang liyan. Betapapun yang liyan itu mau diletakkan sebagai identitas masa depan. Terlebih ketika tabiat yang liyan itu bertumbukkan dengan identitas dirinya, menjadi hegemoni yang antagonis.

Sejauh apapun identitas Uyghur ditaruhnya dalam ruang masa lalu, ternyata Lian Ting tak bisa menyangkal tubuh Alazhi yang masih hidup dalam dirinya. Tubuh masa lalu yang dihidupkan oleh sejumlah pelecehan dan penghinaan atas marwahnya sebagai perempuan Uyghur. Tubuh masa lalu ini kian membesar dan terus hidup manakala penghinaan itu tak hanya terjadi pada identitas tubuhnya sebagai perempuan. Namun juga terjadi pada tubuh kaumnya ketika pemerintah kian melakukan penindasan atas kaum dan tanah kelahirannya.

Namun Liang Ting enggan untuk pulang kembali ke tengah keluarga dan kaumnya. Bukan hanya soal itu berarti ia kembali pulang ke masa lalu dan menyerahkan kembali kuasa tubuhnya pada tradisi sukunya. Melainkan ia tak sudi pulang sebagai pendosa, seorang anak Damullah (pemuka agama) yang telah membuat aib keluarga dan kaumnya. Oleh sebab itulah, walau ia tetap tak bisa menjawab pertanyaan “Apa sebenarnya kemajuan dan menjadi modern itu?”— Lian Ting memilih untuk tidak pulang.  Meski ibunya sangat memohon karena situasi kampung halamannya yang terus tegang dan ayahnya jatuh sakit.

Klimaks dari tubuh identitas yang gamang ini terjadi ketika ibunya menelepon, mengabarkan ayah yang sangat dihormati dan dicintainya itu meninggal—Dan aku tidak lagi menunggumu. Aku tidak lagi mengharap kedatanganmu. Kematian ayahnya dan kalimat ibunya yang dingin itu, seakan ingin dimaknai sebagai kematian kesadaran primordial di tengah kegamangan tubuh minoritas merumuskan identitas dirinya, di tengah godaan kemajuan dan tekanan politik pemerintah yang kian memberi ruang bagi hegemoni mayoritas. 
                                                                   **  
NOVEL ini—Alazhi Perawan Xin Jiang karya Nutyala Anwar—menating persoalan faktual perihal nasib malang Suku Uyghur di Propinsi Xian Jiang Cina. Kemalangan yang tak hanya bersebab pada identitas mereka yang berlainan dengan suku Han yang mayoritas. Tetapi pula disebabkan oleh takdir yang umumnya dijumpai pada suku minoritas, yakni, menghuni kawasan yang luas, subur dan kaya. Propinsi Xin Jiang bukan hanya sebuah kawasan geopolitik yang berada di Cina, tapi pula sebuah geokultural yang berbatasan dengan sejumlah negara Asia Tengah yang memiliki persamaan budaya dan agama.

Karena itulah bagi pemerintah Cina, Xin Jian ialah hartu karun yang mesti dijaga diwaspadai demi mengutuhkan integrasi seluruh rakyat ke dalam identitas persatuan yang berporos pada identias suku Han sebagai mayoritas.  Tapi sebenarnya yang lebih penting, Xin Jiang ialah kawasan yang akan sangat menentukan bagi nasib hasrat Cina untuk menjadi negara industri maju.

Demi itu semua berbagai strategi kebijakan yang dijalankan pada intinya ialah “merebut” Xin Jian dari suku Uyghur. Mengubah identitas mereka lewat politik asimilasi, menambah populasi suku mayoritas Han di berbagai kota di Xin Jiang serta  menempatkan mereka pada posisi-posisi yang penting, dan berbagai kebijakan lainnya yang merugikan identitas budaya suku minoritas, yang dijejalkan dan dipaksakan atas nama kemajuan. Jangan sebut lagi strategi yang ditempuh dengan cara kekerasan. Di atas itu semua, pemerintah menghembuskan kemajuan yang diidentifikasi pada Suku Han, dan menempatkan Suku Uyghur sebagai pecundang di kampung halamannya sendiri.

Lewat kisah Alazhi realitas ini tak hanya ditating sebagai latar, namun juga sebagai bagian utuh dari konflik yang berlangsung di tengah keluarga Damullah Hajim Musha. Konflik yang menjalar ke dalam perbedaan cara pandang dua generasi di hadapan perubahan,  dan perkara bagaimana memaknai atau menafsir identitas di tengah perubahan atas nama kemajuan. Di situ, oleh ketiga anak perempuan Damullah Hajim Musha, simbol identitas dipertanyakan, bahkan diam-diam dilawan dengan cara pergi keluar dari ranah hukum dan tradisi suku.

Kemajuan hanya bisa dicapai dengan merebut kuasa atas identitas tubuh. Identitas yang dibawa lari keluar dari ranah suku. Sementara bagi Damullah Hajim Musha, merawat tradisi dan bertahan di kampung halaman, bukan hanya soal bertaut dengan identitas. Melainkan juga politis. Kian banyak sarjana Suku Uyghur meninggalkan kampung halamannya demi mengejar kemajuan di kota besar, akan membuat pemerintah dan Suku Han kian merajalela.

Dengan mengisahkan seorang perempuan, novel ini sebenarnya meletakkan semacam lapisan konflik yang lumayan pelik, yang bukan melulu memperkarakan nasib identitas suku minoritas di tengah represi mayoritas. Namun juga menekan pada konflik ihwal posisi dan kedudukan perempuan, seperti yang tampak dalam diri Alazhi dan kedua adiknya. Setidaknya,  dalam novel ini, Alazhi berhadapan dengan dua lapisan konflik; posisi identitas tubuhnya sebagai perempuan dalam keluarga yang saleh dan tradisi kaumnya, dan posisinya sebagai perempuan suku minoritas di hadapan kejumawaan mayoritas.

Dalam kedua lapisan konflik itulah pengarang menekan pada kesadaran, betapa dalam identitas kerap menjadi sesuatu yang genting, gamang, bahkan rapuh. Dalam konteks Alazhi, kegamangan itu tak akan terjadi seandainya ia total memasuki pesona kemajuan modernisasi serupa kedua adiknya, serupa apa yang diajarkan oleh Nenek Melon—Kalau kau menginginkan sesuatu, kau harus siap mengorbankan hal lainnya, seperti adik-adikmu itu. Bagiku, diriku adalah milikku. Jangan pernah menyerahkan keinginanmu untuk memenuhi keinginan orang lain. Apa pun akibatnya! (hal.153).

Pengarang tampaknya sengaja mengelilingi Alazhi dengan tokoh-tokoh yang saling berbeda pandangan dalam memaknai identitas di tengah pesona kemajuan modernisasi. Mulai dari ayahnya Damullah Hajim Musha, Hanipah ibunya, Nenek Melon, Gulina dan Aisha, Gulimaina, Betsi, Tuan Wang, sampai Miryam seorang pemilik warung.  Strategi semacam ini dilakukan pengarang untuk menyaran pada upaya mempertebal lapisan konflik dalam kegamangan Alazhi.

Kegamangan di antara pilihan yang tak mudah;  antara sulitnya melepaskan tubuh identitas  dari kesadaran kolektif sebagai orang Uyghur dan pesona kemajuan modernisasi yang justru membawanya ke dalam tekanan alienasi. Sedang untuk kembali pulang ke dalam rahim kaumnya,  ia tak akan lagi utuh menemukan tubuh identitasnya yang silam. Ia telah membuat aib dan mendurhakai keluarga dan kaumnya; membuka kerudung dan bernama Lian Ting adalah menyerahkan tubuh identitas kaumnya pada rezim suku mayoritas yang menjarah kaumnya. Ia mencoba memilih jalan tengah, namun nyata ia terapung-apung, bahkan di saat yang paling menentukan. 
                                                              **
NOVEL ini ditulis oleh seorang pengarang perempuan Indonesia dengan niatan mengajak orang mengenal lebih dekat nasib kaum Muslim Uyghur di Cina.  Ditulis dengan struktur kisahan yang lurus dan strategi naratif yang tak tergoda untuk melakukan berbagai kemungkinan naratologi, bangun konflik dalam novel ini dihadirkan dengan perhitungan yang terasa cermat. Ketegangan-ketegangan ditata dan dimunculkan tanpa tergoda untuk menciptakan kejutan yang serba kebetulan, atau yang dihadirkan dengan keliaran imajinasi.

Para tokoh dihadirkan dengan masing karakter yang pelan-pelan memperluas konflik. Struktur konflik novel ini membagi dirinya menjadi dua; semasa Alazhi di Kasghar dan setelah ia berada di Ghuang Zhou. Yang menarik perluasan konflik itu umumnya bukan muncul dari tindakan atau karakter para tokoh, melainkan dari pandangan dan gagasan mereka yang saling berlawanan. Dan seluruhnya bermuara serta bertumpuk dalam diri Alazhi, seakan pengarang tengah menyediakan berbagai pilihan yang sesungguhnya saling melengkapi. Tubuh identitas dalam diri Alazhi menjadi rapuh karena ia gagal mempertautkan satuan-satuan dalam pilihan itu.
Dalam konteks ini terasa benar bagaimana pengarang menulis dengan semangat mendedahkan gagasan ihwal nasib suku Uyghur.  Gagasan yang diselinapkan di balik sejumlah detail dan adegan yang terasa menjadi semacam metafora. Sebutlah, bagaimana perjalanan “pelarian” Alazhi dari Kasghar menuju Ghuang Zhaou lewat deskripsi visual perkebunan kapas yang membawa ingatan pada Yassen dan ayahnya, pada bumi tanah kelahiran yang telah membesarkannya.

Lalu deskripsi beranjak ke perkebunan melon yang membawa ingatan pada Nenek Melon, perempuan tua Suku Han yang turut memberi kekuatannya padanya untuk melarikan diri demi merebut kuasa atas tubuh identitas dan hasratnya pada kemajuan. Demikian pula momen ketika Alazhi merasa asing dengan identitas tubuhnya saat kali pertama memakai baju berlengan pendek dan rok mini—Kaki-kaki panjang Lian Ting kikuk berjalan. Tak terbiasa dengan udara yang mengelus-elus betisnya (hal.207)

Atau pada bagaimana pengarang menampilkan dua ketegangan yang berlainan di dua tempat yang saling bertaut. Ketegangan psikologis Lian Ting di Ghuang Zhao dalam alienasi budaya urban, dan ketegangan Suku Uyghur di Kasghar ketika pemerintah mengambil alih perkebunan kapas dan membongkar gedung madrasah. Seluruh adegan selalu menyelinapkan berbagai ide yang sengaja saling dibenturkan demi menghadapkan Alazhi pada pilihan serta konflik dalam tubuh identitasnya.

Ini sebenarnya akan jadi tambah menarik seandainya ide-ide itu tidak lantas terkesan jadi semacam beban. Beban yang membuat pengarang tak bisa lepas dari perangkap verbalisme yang nyinyir. Ide di situ bahkan terkesan jadi semacam jargon yang seragam, seakan pengarang tak membiarkan tokohnya berbicara dengan pandangan dan bahasanya sendiri. Ini, misalnya, bisa terlihat jelas pada bahasa seorang perempuan pemilik warung mengatakan pandangnnya ihwal kemajuan yang terasa benar itu sebagai bahasa pengarang—Bagaimana di kotamu? Apakah Uyghur masih menjadi tuan rumah?; Lalu datang peradaban. Kita berpakaian sopan. Sekarang apakah kita akan kembali ke zaman batu? Aku tidak percaya dengan kata pembaruan, hak pribadi, dan kata-kata lainnya yang susah-susah itu. Hah, hak pribadi! Tubuh ini milikku adalah hak untuk memamerkannya. Begitu kata mereka. (hal.199).
                                                                        **
SELAIN Namaku Hiroko (N.H. Dini), kiranya tak banyak pengarang perempuan Indonesia yang menulis novel ihwal nasib perempuan di negeri asing dengan latar budaya mereka. Terlebih yang mentautkannya dengan nasib minoritas umat Islam serupa. Inilah agaknya yang membuat novel ini menarik. Ia berasal dari sebuah kelangkaan. Terlebih lagi, novel ini  lebih banyak dikisahkan dari sudut pandang orang ketiga serupa novel ini; Alazhi atau Liang Ting, seorang gadis Suku Uyghur. Teknik sudut pandang semacam ini bisa dikatakan sebagai sebuah keberanian dengan sejumlah risiko.

Pengarang atau narator di situ dituntut penguasaannya yang fasih pada segala sesuatu menyangkut khazanah lokal yang menjadi subjek matternya. Tak hanya menyoal sejumlah deskripsi fisikal, tapi juga cara karakter budaya dan cara berpikir khas masyarakatnya. Artinya, riset tak sekadar menyangkut inventarisasi data tapi juga menyoal pengalaman empirisnya, sehingga paling tidak jarak kultural bisa diminimalisir.

Jarak inilah yang biasanya menjadi risiko yang pelik dalam setiap novel yang mengambil latar budaya (lokal) tertentu, termasuk dalam novel ini. Ada banyak bagian yang membuat sosok orang Uyghur dalam novel ini lebih tampil sebagai orang Indonesia, ketimbang pembaca Indonesia diajak mengenal watak dan budaya mereka. Misalnya, ungkapan bijak Damullah Hajim Musha yang “Indonesia banget”—Kau sering mendengar istilah bekas. Bekas suami, istri, bekas murid, atau bekas pegawai. Tapi pernahkah kau mendengar istilah bekas anak? (hal. 166).  Atau adegan di pasar tradisional ketika Alazhi dan ibunya bertemu kerabat mereka—Hai, Saija! Wah...memborong? (hal.88).

Tapi apa pun, di hadapan mitos-mitos kemajuan yang dilambaikan oleh pesona modernitas dan hubungannya dengan posisi perempuan dan tubuh identitasnya, gagasan kesadaran yang dimaktubkan dalam novel ini tetaplah menarik. Pengarang tak terjebak pada dunia hitam putih, yang melulu menghadapkan kebersahajaan serta kesederhanaan dunia tradisi dan kerakusan dunia modern atas nama kemajuan. Tapi membaca keduanya dengan kritis, membaurkannya keduanya dengan hati-hati di antara berbagai pilihan.

Dan di tengah semua itu, Damullah Hajim Musha dan Hanipa tampaknya adalah pusat dari dunia ideal pengarang. Musha adalah ulama moderat yang menerima perbedaan, menolak kekerasan, berpikiran modern, mengajarkan kaumnya untuk menjaga identitas mereka sebagai Muslim dan Uyghur, ayah yang sangat mencintai anak-anaknya. Begitu pula kebersahajaan Hanipa istrinya. Mereka berdua adalah jawaban atas pertanyaan yang tak juga kunjung mampu dijawab oleh Alazhi—Apa sebenarnya kemajuan dan menjadi modern itu?

Sebuah pertanyaan yang pelik, dan Alazhi tidaklah sendirian... 
                            
Bandung, 21 Februari 2013

AHDA IMRAN, penyair

Makalah Diskusi Lauching Novel Alazhi Perawan Xin Jiang karya Nuthayla Anwar, Gedung Indonesia Menggugat (GIM) Bandung,  22 Februari 2013, Pengajian Sastra Majelis Sastra Bandung (MSB)
                             

Tidak ada komentar:

Posting Komentar