---Ahda Imran
Selamat tinggal, Alazhi. Selamat
datang Lian Ting
ITU kalimat
yang dibisikkan Alazhi pada dirinya. Sesaat setelah gadis Uyghur itu melepas
kerudung dan busana muslimahnya, menukarnya dengan busana modern yang
memamerkan tubuhnya yang ramping. Bila, seperti dibilang Henk Schulte Nordholt
(2005), busana dimaknai sebagai perpanjangan tubuh, maka dalam peristiwa itu
Alazhi sedang menyeberangkan tubuhnya dari satu identitas ke identitas yang
lain. Ia mengalihkan definisi dan deskripsi identitas tubuhnya ke identitas
yang lain. Identitas baru yang berbeda, yang merepresentasikan hasratnya pada
kemajuan. Sekaligus yang mendeskrsipsikan sebuah tatanan psiko-sosial politik
dan budaya yang menegangkan, yang menghadapkan identitas minoritas dan
mayoritas.
Lebih
jauh dalam peristiwa itu Alazhi sedang memamerkan kuasanya sebagai perempuan
atas identitas tubuhnya. Setelah selama
ini kuasa itu berada di tangan sejarah, tradisi, dan kepercayaan sukunya. Perempuan
yang pergi sendiri meninggalkan kampung halamannya dan membuka kerudungnya
adalah sebuah aib. Kuasa ayah atau suami adalah representasi dari kuasa suci
agama. Kerudung bukan hanya selembar kain, tapi juga norma agama, harga diri
keluarga, dan identitas dari marwah kaum atau suku. Pergi diam-diam
meninggalkan kedua orang tua dan sukunya, barulah Alazhi berada di luar kuasa
itu. Ia kini memiliki kuasa atas identitas tubuhnya meski harus menanggung aib.
Dalam
toilet di Urumqi Diwopu Airport—sesaat sebelum ia terbang ke Ghuang Zhou—gadis
Uyghur itu melepaskan identas tubuhnya dari sejarah dan tradisi sukunya.
Menaruhnya di ruang masa lalu sebagaimana ia mengucapkan selamat tinggal pada
namanya, Alazhi; dan menggantinya dengan Lian Ting, nama Han. Nama yang sesungguhnya
merupakan bentuk dari pemaksaan politik asimilasi pemerintah pada suku-suku
minoritas agar berbaur dengan suku Han yang menjadi mayoritas di Cina.
Gadis
Uyghur itu harus menyerah pada politik asimilasi semacam itu. Bahkan,
penyerahan itu dilakukan sebagai suatu pilihan yang sadar. Setidaknya nama Lian Ting akan memberi ruang
yang leluasa bagi hasratnya meraih kemajuan yang direpresentasikan pada tubuh
dan identitas suku mayoritas. Seperti surat adiknya yang telah lebih dulu
meninggalkan kampung halamannya—Kalau di
sini kita masih tampil dengan ke-Uyghur-an kita, sama saja kita berjalan di
tempat, Alazhi.
**
TAPI apakah sebenarnya kemajuan dan menjadi modern
itu? Inilah pertanyaan besar yang tak pernah bisa dijawab oleh Lian Ting selama
ia tinggal dan hidup di Ghuang Zhou—di tengah dengus budaya urban yang
membuatnya menjadi tubuh identitas yang gamang. Tubuh yang mengalami alienasi.
Tubuh yang gagal mendefinisikan dan mendeskripsikan identitas dirinya.
Kesadaran pada identitas memang selalu terbit manakala seseorang berada di
tengah identitas yang liyan. Betapapun yang liyan itu mau diletakkan sebagai
identitas masa depan. Terlebih ketika tabiat yang liyan itu bertumbukkan dengan
identitas dirinya, menjadi hegemoni yang antagonis.
Sejauh
apapun identitas Uyghur ditaruhnya dalam ruang masa lalu, ternyata Lian Ting
tak bisa menyangkal tubuh Alazhi yang masih hidup dalam dirinya. Tubuh masa
lalu yang dihidupkan oleh sejumlah pelecehan dan penghinaan atas marwahnya
sebagai perempuan Uyghur. Tubuh masa lalu ini kian membesar dan terus hidup
manakala penghinaan itu tak hanya terjadi pada identitas tubuhnya sebagai
perempuan. Namun juga terjadi pada tubuh kaumnya ketika pemerintah kian
melakukan penindasan atas kaum dan tanah kelahirannya.
Namun
Liang Ting enggan untuk pulang kembali ke tengah keluarga dan kaumnya. Bukan
hanya soal itu berarti ia kembali pulang ke masa lalu dan menyerahkan kembali
kuasa tubuhnya pada tradisi sukunya. Melainkan ia tak sudi pulang sebagai
pendosa, seorang anak Damullah (pemuka agama) yang telah membuat aib keluarga
dan kaumnya. Oleh sebab itulah, walau ia tetap tak bisa menjawab pertanyaan “Apa
sebenarnya kemajuan dan menjadi modern itu?”— Lian Ting memilih untuk tidak
pulang. Meski ibunya sangat memohon
karena situasi kampung halamannya yang terus tegang dan ayahnya jatuh sakit.
Klimaks
dari tubuh identitas yang gamang ini terjadi ketika ibunya menelepon,
mengabarkan ayah yang sangat dihormati dan dicintainya itu meninggal—Dan aku tidak lagi menunggumu. Aku tidak
lagi mengharap kedatanganmu. Kematian ayahnya dan kalimat ibunya yang
dingin itu, seakan ingin dimaknai sebagai kematian kesadaran primordial di
tengah kegamangan tubuh minoritas merumuskan identitas dirinya, di tengah
godaan kemajuan dan tekanan politik pemerintah yang kian memberi ruang bagi
hegemoni mayoritas.
**
NOVEL
ini—Alazhi Perawan Xin Jiang karya
Nutyala Anwar—menating persoalan faktual perihal nasib malang Suku Uyghur di
Propinsi Xian Jiang Cina. Kemalangan yang tak hanya bersebab pada identitas
mereka yang berlainan dengan suku Han yang mayoritas. Tetapi pula disebabkan
oleh takdir yang umumnya dijumpai pada suku minoritas, yakni, menghuni kawasan
yang luas, subur dan kaya. Propinsi Xin Jiang bukan hanya sebuah kawasan
geopolitik yang berada di Cina, tapi pula sebuah geokultural yang berbatasan
dengan sejumlah negara Asia Tengah yang memiliki persamaan budaya dan agama.
Karena
itulah bagi pemerintah Cina, Xin Jian ialah hartu karun yang mesti dijaga
diwaspadai demi mengutuhkan integrasi seluruh rakyat ke dalam identitas
persatuan yang berporos pada identias suku Han sebagai mayoritas. Tapi sebenarnya yang lebih penting, Xin Jiang
ialah kawasan yang akan sangat menentukan bagi nasib hasrat Cina untuk menjadi
negara industri maju.
Demi
itu semua berbagai strategi kebijakan yang dijalankan pada intinya ialah
“merebut” Xin Jian dari suku Uyghur. Mengubah identitas mereka lewat politik
asimilasi, menambah populasi suku mayoritas Han di berbagai kota di Xin Jiang
serta menempatkan mereka pada
posisi-posisi yang penting, dan berbagai kebijakan lainnya yang merugikan
identitas budaya suku minoritas, yang dijejalkan dan dipaksakan atas nama
kemajuan. Jangan sebut lagi strategi yang ditempuh dengan cara kekerasan. Di
atas itu semua, pemerintah menghembuskan kemajuan yang diidentifikasi pada Suku
Han, dan menempatkan Suku Uyghur sebagai pecundang di kampung halamannya sendiri.
Lewat
kisah Alazhi realitas ini tak hanya ditating sebagai latar, namun juga sebagai
bagian utuh dari konflik yang berlangsung di tengah keluarga Damullah Hajim
Musha. Konflik yang menjalar ke dalam perbedaan cara pandang dua generasi di
hadapan perubahan, dan perkara bagaimana
memaknai atau menafsir identitas di tengah perubahan atas nama kemajuan. Di
situ, oleh ketiga anak perempuan Damullah Hajim Musha, simbol identitas
dipertanyakan, bahkan diam-diam dilawan dengan cara pergi keluar dari ranah hukum
dan tradisi suku.
Kemajuan
hanya bisa dicapai dengan merebut kuasa atas identitas tubuh. Identitas yang
dibawa lari keluar dari ranah suku. Sementara bagi Damullah Hajim Musha,
merawat tradisi dan bertahan di kampung halaman, bukan hanya soal bertaut dengan
identitas. Melainkan juga politis. Kian banyak sarjana Suku Uyghur meninggalkan
kampung halamannya demi mengejar kemajuan di kota besar, akan membuat
pemerintah dan Suku Han kian merajalela.
Dengan
mengisahkan seorang perempuan, novel ini sebenarnya meletakkan semacam lapisan
konflik yang lumayan pelik, yang bukan melulu memperkarakan nasib identitas
suku minoritas di tengah represi mayoritas. Namun juga menekan pada konflik
ihwal posisi dan kedudukan perempuan, seperti yang tampak dalam diri Alazhi dan
kedua adiknya. Setidaknya, dalam novel
ini, Alazhi berhadapan dengan dua lapisan konflik; posisi identitas tubuhnya
sebagai perempuan dalam keluarga yang saleh dan tradisi kaumnya, dan posisinya
sebagai perempuan suku minoritas di hadapan kejumawaan mayoritas.
Dalam
kedua lapisan konflik itulah pengarang menekan pada kesadaran, betapa dalam identitas
kerap menjadi sesuatu yang genting, gamang, bahkan rapuh. Dalam konteks Alazhi,
kegamangan itu tak akan terjadi seandainya ia total memasuki pesona kemajuan
modernisasi serupa kedua adiknya, serupa apa yang diajarkan oleh Nenek Melon—Kalau kau menginginkan sesuatu, kau harus
siap mengorbankan hal lainnya, seperti adik-adikmu itu. Bagiku, diriku adalah
milikku. Jangan pernah menyerahkan keinginanmu untuk memenuhi keinginan orang
lain. Apa pun akibatnya! (hal.153).
Pengarang
tampaknya sengaja mengelilingi Alazhi dengan tokoh-tokoh yang saling berbeda
pandangan dalam memaknai identitas di tengah pesona kemajuan modernisasi. Mulai
dari ayahnya Damullah Hajim Musha, Hanipah ibunya, Nenek Melon, Gulina dan
Aisha, Gulimaina, Betsi, Tuan Wang, sampai Miryam seorang pemilik warung. Strategi semacam ini dilakukan pengarang
untuk menyaran pada upaya mempertebal lapisan konflik dalam kegamangan Alazhi.
Kegamangan
di antara pilihan yang tak mudah; antara
sulitnya melepaskan tubuh identitas dari
kesadaran kolektif sebagai orang Uyghur dan pesona kemajuan modernisasi yang
justru membawanya ke dalam tekanan alienasi. Sedang untuk kembali pulang ke
dalam rahim kaumnya, ia tak akan lagi
utuh menemukan tubuh identitasnya yang silam. Ia telah membuat aib dan
mendurhakai keluarga dan kaumnya; membuka kerudung dan bernama Lian Ting adalah
menyerahkan tubuh identitas kaumnya pada rezim suku mayoritas yang menjarah
kaumnya. Ia mencoba memilih jalan tengah, namun nyata ia terapung-apung, bahkan
di saat yang paling menentukan.
**
NOVEL
ini ditulis oleh seorang pengarang perempuan Indonesia dengan niatan mengajak
orang mengenal lebih dekat nasib kaum Muslim Uyghur di Cina. Ditulis dengan struktur kisahan yang lurus
dan strategi naratif yang tak tergoda untuk melakukan berbagai kemungkinan
naratologi, bangun konflik dalam novel ini dihadirkan dengan perhitungan yang
terasa cermat. Ketegangan-ketegangan ditata dan dimunculkan tanpa tergoda untuk
menciptakan kejutan yang serba kebetulan, atau yang dihadirkan dengan keliaran
imajinasi.
Para
tokoh dihadirkan dengan masing karakter yang pelan-pelan memperluas konflik.
Struktur konflik novel ini membagi dirinya menjadi dua; semasa Alazhi di
Kasghar dan setelah ia berada di Ghuang Zhou. Yang menarik perluasan konflik
itu umumnya bukan muncul dari tindakan atau karakter para tokoh, melainkan dari
pandangan dan gagasan mereka yang saling berlawanan. Dan seluruhnya bermuara
serta bertumpuk dalam diri Alazhi, seakan pengarang tengah menyediakan berbagai
pilihan yang sesungguhnya saling melengkapi. Tubuh identitas dalam diri Alazhi
menjadi rapuh karena ia gagal mempertautkan satuan-satuan dalam pilihan itu.
Dalam
konteks ini terasa benar bagaimana pengarang menulis dengan semangat
mendedahkan gagasan ihwal nasib suku Uyghur.
Gagasan yang diselinapkan di balik sejumlah detail dan adegan yang
terasa menjadi semacam metafora. Sebutlah, bagaimana perjalanan “pelarian”
Alazhi dari Kasghar menuju Ghuang Zhaou lewat deskripsi visual perkebunan kapas
yang membawa ingatan pada Yassen dan ayahnya, pada bumi tanah kelahiran yang
telah membesarkannya.
Lalu
deskripsi beranjak ke perkebunan melon yang membawa ingatan pada Nenek Melon,
perempuan tua Suku Han yang turut memberi kekuatannya padanya untuk melarikan
diri demi merebut kuasa atas tubuh identitas dan hasratnya pada kemajuan.
Demikian pula momen ketika Alazhi merasa asing dengan identitas tubuhnya saat
kali pertama memakai baju berlengan pendek dan rok mini—Kaki-kaki panjang Lian Ting kikuk berjalan. Tak terbiasa dengan udara
yang mengelus-elus betisnya (hal.207)
Atau
pada bagaimana pengarang menampilkan dua ketegangan yang berlainan di dua
tempat yang saling bertaut. Ketegangan psikologis Lian Ting di Ghuang Zhao
dalam alienasi budaya urban, dan ketegangan Suku Uyghur di Kasghar ketika
pemerintah mengambil alih perkebunan kapas dan membongkar gedung madrasah.
Seluruh adegan selalu menyelinapkan berbagai ide yang sengaja saling
dibenturkan demi menghadapkan Alazhi pada pilihan serta konflik dalam tubuh
identitasnya.
Ini
sebenarnya akan jadi tambah menarik seandainya ide-ide itu tidak lantas
terkesan jadi semacam beban. Beban yang membuat pengarang tak bisa lepas dari
perangkap verbalisme yang nyinyir. Ide di situ bahkan terkesan jadi semacam
jargon yang seragam, seakan pengarang tak membiarkan tokohnya berbicara dengan
pandangan dan bahasanya sendiri. Ini, misalnya, bisa terlihat jelas pada bahasa
seorang perempuan pemilik warung mengatakan pandangnnya ihwal kemajuan yang
terasa benar itu sebagai bahasa pengarang—Bagaimana
di kotamu? Apakah Uyghur masih menjadi tuan rumah?; Lalu datang peradaban. Kita berpakaian sopan. Sekarang apakah kita akan
kembali ke zaman batu? Aku tidak percaya dengan kata pembaruan, hak pribadi,
dan kata-kata lainnya yang susah-susah itu. Hah, hak pribadi! Tubuh ini milikku
adalah hak untuk memamerkannya. Begitu kata mereka. (hal.199).
**
SELAIN
Namaku Hiroko (N.H. Dini), kiranya tak
banyak pengarang perempuan Indonesia yang menulis novel ihwal nasib perempuan
di negeri asing dengan latar budaya mereka. Terlebih yang mentautkannya dengan
nasib minoritas umat Islam serupa. Inilah agaknya yang membuat novel ini
menarik. Ia berasal dari sebuah kelangkaan. Terlebih lagi, novel ini lebih banyak dikisahkan dari sudut pandang
orang ketiga serupa novel ini; Alazhi atau Liang Ting, seorang gadis Suku
Uyghur. Teknik sudut pandang semacam ini bisa dikatakan sebagai sebuah
keberanian dengan sejumlah risiko.
Pengarang
atau narator di situ dituntut penguasaannya yang fasih pada segala sesuatu
menyangkut khazanah lokal yang menjadi subjek matternya. Tak hanya menyoal sejumlah
deskripsi fisikal, tapi juga cara karakter budaya dan cara berpikir khas
masyarakatnya. Artinya, riset tak sekadar menyangkut inventarisasi data tapi
juga menyoal pengalaman empirisnya, sehingga paling tidak jarak kultural bisa
diminimalisir.
Jarak
inilah yang biasanya menjadi risiko yang pelik dalam setiap novel yang
mengambil latar budaya (lokal) tertentu, termasuk dalam novel ini. Ada banyak
bagian yang membuat sosok orang Uyghur dalam novel ini lebih tampil sebagai
orang Indonesia, ketimbang pembaca Indonesia diajak mengenal watak dan budaya
mereka. Misalnya, ungkapan bijak Damullah Hajim Musha yang “Indonesia banget”—Kau sering mendengar istilah bekas. Bekas
suami, istri, bekas murid, atau bekas pegawai. Tapi pernahkah kau mendengar
istilah bekas anak? (hal. 166). Atau
adegan di pasar tradisional ketika Alazhi dan ibunya bertemu kerabat mereka—Hai, Saija! Wah...memborong? (hal.88).
Tapi
apa pun, di hadapan mitos-mitos kemajuan yang dilambaikan oleh pesona
modernitas dan hubungannya dengan posisi perempuan dan tubuh identitasnya,
gagasan kesadaran yang dimaktubkan dalam novel ini tetaplah menarik. Pengarang
tak terjebak pada dunia hitam putih, yang melulu menghadapkan kebersahajaan
serta kesederhanaan dunia tradisi dan kerakusan dunia modern atas nama
kemajuan. Tapi membaca keduanya dengan kritis, membaurkannya keduanya dengan
hati-hati di antara berbagai pilihan.
Dan
di tengah semua itu, Damullah Hajim Musha dan Hanipa tampaknya adalah pusat
dari dunia ideal pengarang. Musha adalah ulama moderat yang menerima perbedaan,
menolak kekerasan, berpikiran modern, mengajarkan kaumnya untuk menjaga
identitas mereka sebagai Muslim dan Uyghur, ayah yang sangat mencintai
anak-anaknya. Begitu pula kebersahajaan Hanipa istrinya. Mereka berdua adalah
jawaban atas pertanyaan yang tak juga kunjung mampu dijawab oleh Alazhi—Apa sebenarnya kemajuan dan menjadi modern
itu?
Sebuah
pertanyaan yang pelik, dan Alazhi tidaklah sendirian...
Bandung, 21 Februari 2013
AHDA IMRAN, penyair
Makalah
Diskusi Lauching Novel Alazhi Perawan Xin Jiang karya Nuthayla Anwar, Gedung
Indonesia Menggugat (GIM) Bandung, 22
Februari 2013, Pengajian Sastra Majelis Sastra Bandung (MSB)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar