Jumat, 01 Juni 2012

Para Istri, Demokrasi, Daulat Partai




--Ahda Imran, penyair dan esais

KETIKA nama Ani Yudhoyono santer disebut sebagai capres yang bakal diusung oleh Partai Demokrat (PD) dalam pilpres 2014 mendatang,  serta merta oranng diingatkan pada satu alasan ihwal realitas demokrasi. Realitas yang mesti dipahami sebagai konsensus hak politik setiap warga negara. Apalagi, alasan itu menguatkan dirinya dengan realitas konstitusi yang tak ada satu pun bagiannya, yang paling kecil dan tersirat pun,  mengatur dikurangi atau ditambahnya hak politik seorang warga negara hanya karena ia ditakdirkan menjadi seorang istri presiden, seperti Ani Yudhoyono.  

Mengurangi haknya karena alasan seperti itu, merupakan penyangkalan atas takdir demokrasi yang secara tegas memisahkan domain publik dan domain domestik.  Dari ingatan semacam ini pula orang diajak memahami kemunculan para istri pejabat daerah ke tengah arena pertarungan politik (pilkada bupati/walikota). Fenomena politik yang tak ubahnya dengan transfer kekuasaan, istri menggantikan jabatan suami yang habis masa jabatannya.


Terpilihnya Hj. Anna Sophanah sebagai Bupati Kab. Indramayu tahun 2010, tampaknya menjadi “proyek percontohan” yang sukese dalam peristiwa estafet jabatan atau transfer kekuasaan ini.   Semuanya berlangsung mulus. Tak ada gonjang ganjing apapun, karena memang tak ada alasan untuk merecokinya. Bukankah rakyatlah yang memilihnya? Bahwa  H. Anna Sophanah adalah istri bupati sebelumnya, Irianto MS Syaifuddin (Yance), apakah lantas takdir jodohnya itu menjadi suatu hal yang layak diperkarakan?  

Pertanyaan-pertanyaan di atas tentu harus juga dilekatkan pada para istri pejabat daerah lainnya yang tengah bersiap maju ke arena pilkada di Jawa Barat. Hj. Atty Suharti,SE, misalnya, yang siap maju ke arena pilkada Kota Cimahi tahun 2012 demi meneruskan jabatan suaminya sebagai Walikota Cimahi, Itoch Tohija.  Sementara di Kab. Bandung Barat (KBB), istri wakilbupati Ernawan Natasaputra,  Dr. Hj. Erni R Ernawan bersiap maju ke pilkada 2013 sebagai calon dari Partai Golkar, yang ketuanya tak lain adalah suaminya Ernawan Natasaputra . 

Tentu saja ini tak hanya terjadi di Jawa Barat. Di Kota Prabumulih Sumsel, Hj. Herawati bersiap maju dalam pilkada tahun ini selepas masa jabatan suaminya Drs. Rachman Djalil sebagai walikota habis. Atau yang tak kalah menakjubkannya ketika dua istri Bupati Kab. Kediri Sutrisno maju ke pilkada 2010. Istri tua dan istri muda bertarung di arena pilkada demi melanjutkan jabatan suami mereka!

Lalu di depan berbagai alasan ihwal realitas demokrasi semacam itu, adakah yang salah dan mesti diperkarakan dengan fenomena munculnya para istri pejabat yang berhasrat meneruskan kekuasaan suaminya? Jawaban atas pertanyaan itu tentu saja bergantung  pada apa dan bagaimana demokrasi itu dimaknai.
                                                                       **
TAPI, rasanya tak  perlulah meminjam berbagai teori politik untuk menganalisa alasan yang menyelubungi dirinya dengan realitas demokrasi dan hak politik semacam itu. Juga tak perlulah mencoba mencari alasan yang gagah dengan menganalogikannya pada figur para istri yang mengikuti jejak suaminya di arena politik, Evita Peron, Hillary Clinton, atau Cory Aquino. Seperti juga tak relevan rasanya fenomena ini ditautkan dengan hak politik perempuan, seraya menyebut nama Tri Rismaharini (Walikota Surabaya) atau Suryatati A. Manan (Walikota Tanjungpinang). Dua orang perempuan yang menjadi kepala daerah tanpa embel-embel meneruskan jabatan suami mereka.   

Fenomena munculnya para nyonya penggede ke arena politik sebaliknya juga minta dibaca dengan sederhana saja. Seraya juga melihat hubungan antara realitas demokrasi dan hak politik yang dijadikan alasan, partai politik yang kini jadi panglima, dan budaya politik sebagai realitas berikutnya yang menjadi penentu tabiat praktik demokrasi dan politik.

Paduan ketiganya inilah yang acapkali mengapungkan sejumlah pertanyaan di benak publik. Jika benar pencalonan para istri pejabat itu berangkat dari alasan hak politik yang termaktub dalam demokrasi, mengapa hak itu seolah baru disadari sekarang setelah jabatan suaminya akan berakhir? Jika benar karena pertimbangan kemampuan, sampai sejauh mana objektivitas pertimbangan itu berada di luar kedudukannya sebagai istri pejabat?   

Pertanyaan di atas baik dihampiri lewat kenyataan bahwa demokrasi itu menyimpan berbagai kegentingan. Konsensus dan konflik. Partai politik dan budaya politik berbaur di dalamnya. Mungkin kegentingan itu tak perlu benar dicemaskan sepanjang konsensus dan konflik itu berlangsung demi meneguhkan apa yang menjadi tujuan demokrasi, daulat rakyat. Sebaliknya, kecemasan itu akan menemukan alasannya ketika budaya politik kian menunjukkan gelagat bahwa hubungan partai dan demokrasi menjadi sunsang. Sayangnya, gelagat inilah yang terus kita temukan.

Partai  yang semestinya menjadi penanda penting demi dinamika demokrasi dan daulat rakyat, kian menggejala ke arah demokrasi yang menjadi keperluan partai. Keperluan yang acapkali tak ada urusannya dengan daulat rakyat melainkan hanya sekadar bungkus. Partai bukan lagi untuk demokrasi, tapi demokrasi untuk partai. Daulat rakyat yang menjadi pesan demokrasi telah diubah menjadi daulat partai. Daulat yang, meminjam ungkapan Yasraf Amir Piliang, telah membuat demokrasi menjadi sebuah ruang gelap. Ruang gelap demokrasi. Ruang yang dihuni oleh partai yang di dalamnya berlangsung berbagai kesepakatan.

Tentu saja banyak orang tahu bahwa politik adalah soal kesepakatan. Tawar-menawar kepentingan. Dan mengikuti berbagai peristiwa ganjil dalam realitas politik yang terjadi di negeri ini, kita pun agaknya sudah diberi tahu di ruang sejenis apa kesepakatan itu diadakan. Dan sejauh mana jarak hubungan kesepakatan itu dengan daulat partai dibanding jaraknya dengan daulat rakyat. Dari kesepakatan dalam ruang gelap demokrasi semacam inilah orang disuguhi berbagai panggung teater kekuasaan yang sekonyong-konyong menjadi lazim. Termasuk berlangsungnya proses dinasti kekuasaan di sejumlah daerah yang dihegemoni oleh sebuah keluarga.

Lalu  bisakah kemunculan para istri pejabat ke arena politik demi meneruskan jabatan suaminya dengan alasan realitas demokrasi dan hak politik warga negara itu makin meneguhkan keinsyafan kita pada demokrasi?

Tentu saja bisa. Fenomena ini memberi keinsyafan pada kita bahwa demokrasi, juga partai, adalah alat, bukan tujuan. Sebagai alat ia bergantung pada siapa yang mengendalikannya, siapa yang memperalatnya. Sebagaimana rejim silam pernah memperalatnya, menghiasinya dengan kata bertuah, “Demokrasi Terpimpin” dan “Demokrasi Pancasila”.

Menerima demokrasi adalah menerima berbagai kegentingan. Termasuk kegentingan yang muncul dari tabiat partai-partai politik. Dan risiko itu kian membesar ketika gelagat kian menunjukkan bahwa partai bukan lagi untuk demokrasi, tapi demokrasi untuk partai, dan menjadikannya hanya sekadar basa-basi. Atas nama demokrasi inilah berbagai keganjilan dalam realitas politik di sekeliling kita terus berlangsung. Seperti Itoch Tohija Walikota Cimahi yang hampir habis masa jabatannya,  yang akhir-akhir ini sibuk mendampingi dan mempromosikan istrinya dalam berbagai baliho berukuran besar yang tersebar di sejumlah sudut kota, termasuk di kantor-kantor kelurahan.**     

Sumber: Pikiran Rakyat, 1 Mei 2011

      
          































Tidak ada komentar:

Posting Komentar