Jumat, 24 Februari 2012

Harry Poeze dan Ironi Tan Malaka



MENYEBUT sejarah munculnya pergerakan komunisme di Hindia Belanda tahun 1920-an, sangatlah tidak mungkin melewatkan nama Tan Malaka (1897-1949). Akan terlalu panjang mengurai kiprah dan sepak terjang tokoh pergerakan yang diselubungi berbagai misteri ini. Mulai dari petualangan politiknya di berbagai negara Eropa dan Asia, kematiannya yang tragis, hingga namanya yang dilupakan dan “diharamkan” selama 30 tahun oleh rezim yang mencapnya sebagai seorang komunis. Padahal di mata PKI dan komunis internasional (Komintern), sejak tahun 1927, TM dianggap sebagai murtad, seorang Troskys (pengikut Trotsky yang jadi lawan Lenin dan Stalin) yang terus diburu. 

Meski tahun 1963 Presiden RI Soekarno telah menetapkannya sebagai Pahlawan Nasional melalui Kepres  No. 53/ 1963. Revolusi kemerdekaan bukan hanya telah memakan, tapi juga telah melupakan anaknya sendiri. Itulah yang terjadi pada Tan Malaka (TM). TM seolah sebuah takdir ihwal kesetian seorang pemikir pejuang yang terus dikalahkan, dilupakan, dan dipenuhi ironi. 

TM adalah sebuah ironi ketika ia dijebloskan ke dalam penjara oleh negara republik yang diimpikannya. Begitu pula dengan kematiannya. Ia di tembak oleh sebuah batalyon TNI di desa kecil Selopanggung Kab. Kediri Jatim tahun 1949 dalam situasi krisis politik dan perbedaan garis perjuangan. Sejak itu orang hanya tahu TM ditembak mati tapi tak pernah tahu, bahkan tak perduli, di mana kuburnya.

Sejak pertengahan tahun 1980-an, banyak orang di Indonesia dikagetkan oleh seorang sejarawan dan peneliti Belanda yang begitu intens mengkaji jejak perjuangan TM, Harry Poeze. Sejak tahun 1971 ia telah “jatuh hati” pada sosok TM. Tak hanya skripsi bahkan juga desertasinya seluruhnya berpusat pada TM. Sampai hari ini telah enam buku tebal yang ditulisnya ihwal TM, yang keseluruhannya berjumlah 2.200 halaman!

Rasanya, tak ada sejarawan asing yang begitu intens menelaah dan meneliti seorang tokoh Indonesia seperti Harry Poeze. Tidak juga Rudolf Mrazek yang menulis Sutan Syahrir. Dari riset Harry Poeze yang berpuluh tahun inilah ditemukan sebuah makam yang diduga keras sebagai makam TM, di Desa Selopanjang Kab. Kediri Jatim. Seorang sejarawan Belanda yang puluhan tahun meneliti dan menemukan makam TM, bukankah ini adalah sebuah ironi berikutnya?       

Maka, menyebut TM hari ini adalah menyebut Harry Poeze. Di matanya, TM adalah contoh paling penting tentang bagaimana seseorang memperjuangkan nasib bangsa dan negaranya, dengan melalui berbagai penderitaan yang tak menyurutkan semangatnya. Dalam pandangannya, tokoh heroik Amerika Latin sekelas Che Ghuevara sekalipun tidaklah bisa disejajarkan dengan TM.

“Tan Malaka bukan “Che Ghuevara”-nya Asia. Tapi,  justru Che Guevara adalah “Tan Malaka”-nya Amerika”, ujar Harry Poeze dalam kunjungan ke Redaksi “PR”, Kamis (5/1). Kedatangannya ke Bandung merupakan bagian diskusi buku terbarunya, Madiun 1948, PKI Bergerak yang berlangsung di kampus Unisba.

“Buku ini hasil riset saya sepuluh tahun, jilid keenam yang keseluruhannya memaparkan kiprah TM dan pergolakan yang ditimbulkan oleh partai komunis di Indonesia,” ujar sejarawan kelahiran Groningen Negeri Belanda 20 Oktober 1947 ini dengan bahasa Indonesia yang lancar.

Dalam suasana silaturahmi bersama Pemred “PR” H. Budhyana, Redaktur Erwin Kustiman dan Rachim Asyik Fajar, wawancara ini berlangsung. Mulai dari soal sosialisme TM, peristiwa kematiannya, perhatian pemerintah, hingga liku-liku riset penelitiannya. Berikut petikannya. 

Tentu saja sosialisme TM berbeda dengan Syahrir, tapi bagaimana Anda menjelaskan perbedaan praktik sosialisme Tan Malaka dengan Alimin, Darsono, Semaun, dan tokoh-tokoh komunis lainnya?

TM bisa dianggap sebagai orang yang taat pada Marxisme ortodoks sampai tahun 1927 ketika timbulnya pemberontakan komunis terhadap Belanda. Sejak itu ia memutus hubungan dengan Moskow karena ia tak setuju dengan sikap Moskow terhadap pemberontakan itu. Sebelumya tahun 1925 ia juga mendirikan partai sendiri, Partai Republik Indonesia (Pari) di Bangkok Thailand. Partai kecil sekali dan tidak berkembang karena ia selalu diburu oleh polisi rahasia, karena itulah TM selalu memakai banyak nama samaran. Waktu ia kembali ke Indonesia yang diduduki Jepang, ia masih memakai nama samaran dan ketika itulah ia menulis buku Madilog. Dalam buku itu sudah jelas bagaimana ia punya pemikiran sendiri tentang sosialisme. Sosialisme yang bukan dogma tapi cara berpikir. Dengan menerapkan cara berpikir Barat ia ingin membawa pemikiran sosialisme ke Indonesia tapi dalam bentuk yang khusus, a la Indonesia di mana ada tempat untuk agama Islam yang sangat penting. Ia menekankan pentingnya kekuatan Islam untuk memperbarui masyarakat ke arah sosialisme. Saya kira inilah pemikiran orisinal TM bagi sejarah pemikiran politik di Indonesia.

Lalu bagaimana Anda melihat perbedaan sosialisme Tan Malaka itu dalam Madilog dengan Marhaesnisme Soekarno yang disebut-sebut juga sebagai sosialisme khas Indonesia?

Menurut Tan Malaka pemikiran Soekarno hanya merupakan campuran tanpa titik berat yang tetap. Dia sangat kritis pada Soekarno, juga pada ideloginya yang ia sebut sebagai borjuis kecil. Demikian juga pada politik praktis Soekarno. Tapi jika kita amati ada juga persamaan di antara keduanya, misalnya, dalam apa yang menjadi program politik Soekarno dengan Nasakom. Tan Malaka juga selalu menekankan kemestian kerjasama antara kaum agamawan (Islam) dan kaum sosialis. Soekarno juga mengambil inspirasi dari pikiran Marxis, tapi bentuknya khusus a la Indonesia dalam nuansa yang juga orisinal. Tapi saya kira, kalau melihat dari sudut teori, Tan Malaka lebih unggul dan lebih baik. Paling tidak, Soekarno tak pernah menulis buku dengan kualitas sebaik Madilog karya Tan Malaka. Itu buku yang sangat dalam.

Tahun 1925 di Bangkok TM mendirikan Partai Republik Indonesia (Pari), padahak ketika indonesia belum ada apalagi Republik sebagai bentuk negara. Menurut Anda dari mana TM memiliki gagasan ihwal Indonesia sbg negara republik semacam itu?

Kita bisa merujuk pada tulisan TM  “Menuju Repulik Indonesia”. Tapi saya kira ini logis sekali karena bentuk negara kerajaan pasti ditolak TM. Dan ia pengikut teori Marxis yang mengajarkan perlunya republik rakyat. Dan susunan republik TM adalah republik rakyat.

Apakah dalam negara ideal TM itu hanya ada satu partai seperti diajarkan Marxisme?

Kita bisa amati hal ini ketika sesudah proklamasi, ketika TM menolak penetapan No X yang dikeluarkan Moh. Hatta,  yang memungkinkan tumbuhnya berbagai partai politik. Karena bagi TM, Indonesia ketika dalam situasi perjuangan, yang  jika ada partai maka perjuangan akan dilemahkan oleh kepentingan antar partai politik. Dan tentang susunan repulik rakyat saya kira TM adalah pengikut teori bahwa satu partai lebih baik. Dan karena itulah tahun 1946  ia mendirikan Persatoean Perjoeangan dan ini ingin mengumpulkan semua partai.
                                                           **
REFORMASI 1998 memang telah mengubah cara pandang negara terhadap sejarah. Termasuk pandangan pada TM. Sejak tahun 1998 mulai bermunculanlah buku-buku karya TM, termasuk Madilog (Materialisme, Dialektika, Logika). Sebuah buku penting ihwal pandangan dan filosofi politik TM. Perubahan sikap inilah yang juga memudahkan Harry Poeze melakukan berbagai investigasi dan risetnya ihwal TM. Temuannya yang memastikan makam TM tahun 1986 mulai diangkat ke publik. Sejumlah pihak, termasuk Departemen Sosial, mulai menaruh perhatian. Termasuk dengan melakukan penggalian pada makam yang diduga makam TM tersebut dan memeriksa DNA-nya demi memastikan. DNA itu telah diperiksa di Labotarium di Korea Selatan.

Meski hasil pemeriksaan DNA itu terus mengalami penundaan karena kondisi kerangka, seperti disebut Tim Identifikasi Tan Malaka sebagai “kerangka tanpa DNA” atau kasus “body bog” , tapi Harry Poeze tetap meyakini bahwa kerangka itu adalah TM. Terlebih lagi dalam laporan tim ideintifikasi disebutkan dalam penggalian kerangka ditemukan dalam posisi kedua tangan yang bersilang ke belakang, seolah ia terikat ke belakang.

 “Waku saya temukan makam itu tidak dirawat, hanya ada batu. Kepastian menemukan makam itu dimungkinkan karena Tan Malaka adalah orang kedua yang dikuburkan di desa itu. Desa Selopanggung didirikan tahun 1930-an dan waktu itu semua penghuninya masih muda. Dan pendiri desan itu meninggal sebelum Tan malaka. Waktu Tan Malaka dikuburkan di desa itu baru ada satu kuburan. Pada tahun 1949 banyak beberapa penduduk masih ingat ada kuburan kedua, tanpa batu. Karena itulah, bisa diketahui bahwa itu adalam makam TM,” paparnya, seraya menambahkan jika benar itu adalah makam Tan Malaka maka sudah semestinya pemerintah memberi penghormatan padanya.

“Bisa memindahkan makamnya atau membuat monumen penghormatan di makamnya yang sekarang,” imbuh sejararawan dan peneliti sekaligus Direktur Penerbitan KITLV Belanda yang telah menjelajahi berbagai negara di 4 benua demi meneliti seorang Tan Malaka ini.    

Kalau semua fakta TM diangkat apakah ada keberatan-keberatan, misalnya, dari pihak militer sekarang sehubungan dengan kedekatan Panglima Besar Soedirman dan TM dalam Persatoean Perjoeangan tahun 1946?

Saya pikir tidak. Mungkin di masa Orba semua itu ditutupi. Tapi sekarang orang melihatnya sebagai perkara sejarah yang menyedihkan. Bisa disayangkan, tapi inilah yang terjadi semasa gerilya. Karena itulah saya berharap dengan penemuan makam TM ini juga agar ia bisa dimakamkan dengan layak dan diberi penghormatan terhadapnya/

Ini mungkin pertanyaan klise, menurut Anda apa sebenarnya makna TM bagi Indonesia hari ini?

Ya, saya sering menghadapi pertanyaan, apa gunanya Tan Malaka dalam kenyataan Indonesia sekarang. Saya kira, dia adalah contong paling penting tentang bagaimana seseorang bagaimana seseorang memperjuangkan nasib bangsa dan negaranya, dengan melalui berbagai penderitaan yang menyurutkan semangatnya.

Saya yakin Anda bukan seorang komunis, lalu bagaimana Anda dengan kritis memandang TM sebagai tokoh pergerakkan? 

Saya kira dalam memperjuangkan politik praktisnya dia dia seorang yang gagal. Dan ini mungkin karena sifat-sifat pribadinya. Tapi, juga karena bagi saya dia bukan seorang politisi. Ia sebenarnya adalah seorang guru dan ia mau memberi pentunjuk pada bangsa dan negara Indonesia untuk menjadi salah satu negara yang sejahtera dan sosialistis. Seandainya pun ia tak meninggal tahun 1949, saya kira tetaplah sulit baginya untuk mewujudkan cita-citanya. Meski ia seorang ahli pidato yang baik sekali.

Menurut Anda dia lebih cocok sebagai pemikir ketimbamg politisi, begitu?

Ya, seperti orang yang memberi nasehat di belakang layar. Sebagai politisi dia selalu gagal karena juga dia dilupakan. Dan kita tahu sejarah selalu ditulis oleh orang yang menang. Ironisnya TM tak pernah menang. 

Tapi bukankah Anda sempat juga mengatakan bahwa TM adalah seorang Che Guevara Asia?

Ya, malah Che Ghuevara itu Tan Malaka-nya Amerika! (tertawa). Saya melihat banyak mahasiswa di Indonesia mulai tertarik pada TM, dan membuat kaosnya. Tapi seperti pada Che Ghuevara, saya lihat  mereka lebih tertarik pada petualangannya ketimbang pada pemikiran TM.

Ngomong-ngomong, apakah Anda yang menemukan Harry Poeze atau Harry Poeze yang menemukan Anda?

(Tersenyum) TM dididik di Belanda sekolah guru, dan ini ia mendapat dukungan dari seorang guru Belanda, Horensma namanya. Dan waktu ia ditahan di Jawa karena menjadi ketua PKI dan organisator sekolah-sekolah sosialis,  ia menulis surat pada Horensma dan mengatakan “Walaupun warna kulit kita berbeda,  saya yakin bahwa rasa persamaan pada nilai-nilai demokrasi dan persabahatan kita bisa melampaui perbedaan warna kulit itu”. Nah, saya bayangkan, dan saya begitu juga TM berpikir tentang saya (tertawa). (Ahda Imran)**

Sumber : Pikiran Rakyat, 8 Januari 2012 

2 komentar:

  1. boleh saya kopi paste bang di blog saya.. dengan mencantumkan link meditasisamudra tentunya :D
    http://harisastra.blogspot.com/ nanti saya pasang di sini

    BalasHapus