Jumat, 02 Desember 2011

Teror



MARILAH kita mulai dengan apa yang dikatakan Sidharta Gautama, bahwa setiap peristiwa mempunyai alasannya; ia adalah pengalaman untuk mengetahui diri sendiri. Dan sebuah peristiwa, karena itu, adalah juga sebuah semesta relasi. Sebuah ruang yang terbuka bagi seluruh kesadaran terhadap seluruhnya. Pendek kata, sesungguhnya tak ada satu peristiwa pun yang terjadi dan berada di luar kompleksitas sistem pengalaman yang saling memberi identifikasi.
Waktu bukanlah entitas dengan identifikasinya yang mekanis,
melainkan realitas dengan ruang-ruang makna yang terus “mengada” dan “menjadi”.
            Beberapa hari belakang ini rasanya kita bisa sepakat dengan berbagai pernyataan para tokoh-tokoh dan pemimpin dunia yang mengutuk keras tindakan para teroris yang secara brutal menabrakkan 4 pesawat sipil di New York, Washington DC dan Pennsylvania, Selasa (13/9) yang lalu. Tiga pesawat dengan sengaja dipaksa melakukan “kamikaze” dengan mengahantamkannya ke arah gedung kembar World Trade Centre (WTC) dan gedung Departemen Pertahanan Amerika Serikat (AS) Pentagon.
            Soalnya bukanlah bagaimana luluhlantaknya WTC dan Pentagon, dua tempat yang tak hanya menjadi simbol hegemoni kapitalisme AS dan masyarakat Barat; hegemoni yang telah ada sejak periode awal kolonialisme hingga hari ini. Tapi adalah pertanyaan, kebencian sejenis apa sesungguhnya yang dipendam oleh para teroris itu sehingga ia sampai hati membunuh ribuan masyarakat sipil serupa itu? Karena korban itu bukan hanya sekadar angka, maka menjadi semestinya perasaan kita merasa terwakili oleh berbagai reaksi dan pernyataan dari para tokoh dan pemimpin, termasuk tokoh dan para pemimpin di negeri kita; bahwa peristiwa itu benar-benar merupakan tragedi dan penghinaan besar terhadap nilai-nilai kemanusiaan.
            Akan tetapi, seperti disebutkan, setiap peristiwa mempunyai alasannya sendiri. Dengan alasan itulah bisa dibaca realitas-realitas berikutnya. Termasuk realitas kita memandang dan memahami sebuah peristiwa.
            Lucu. Kenapa baru sekarang kita ramai-ramai ingat pada kemanusiaan. Selama ini ke mana saja dia, sehingga kita tidak ingat padanya padahal ribuan bayi di Irak mati karena kekurangan obat-obatan,” ujar Fulan, seorang kawan dari suatu masa, yang sekonyong-konyong telah duduk di atas meja, di atas tumpukan koran, ketika malam saya mengetik.
               “Mengapa setiap peristiwa yang mengganggu sebuah kekuatan yang mendominasi kita selama ini selalu dilihat sebagai bencana yang besar dalam persoalan kemanusiaan, seolah-olah itulah representasi dari tragedi kemanusiaan satu-satunya. Dengan begitu juga seakan-akan ada logika yang lain dalam kepala kita, bahwa tak ada penghinaan kemanusiaan apa pun ketika di Aceh sampai hari ini penduduk sipil tak henti-hentinya dibantai. Barangkali karena dianggap bukan sebagai tragedi kemanusiaan, maka nasib para aktivis yang diculik itu belum juga jelas, juga jangan lupa entah teroris mana yang menembak para mahasiswa beberapa tahun yang lalu itu,” ujarnya.
            “Tapi kita tidak sedang membicarakan hal-hal lain kecuali peristiwa di Amerika Serikat itu. Kamu jangan sinis begitu, dong!” Saya menyela, meluruskan punggung, memandang matanya merah.
            “Terkutuklah orang yang memandang sinis ribuan kematian akibat peristiwa itu! Tapi, sorry, kita tidak sedang membicarakan peristiwa itu, kita sedang membicarakan persoalan kemanusiaan. Persoalan yang tidak hanya terjadi karena penghinaan yang dilakukan oleh para teroris yang telengas dan gelap mata itu. Tapi juga dilakukan oleh mereka yang melegitimasinya dengan hegemoni dan dominasi atas seluruh ruang-ruang realitas, termasuk negara dan kebudayaan,” sahutnya dengan nada tinggi seraya menyambar sebatang rokok, menghisapnya dengan gelisah.
            “Maksudmu negara teror seperti dilakukan Tiberius, Caligula, Robespierre, Amangkurat.... .”
            “Itu yang pertama. Teror yang dilakukan secara sistimatis oleh politik negara untuk membekap kekuatan-kekuatan oposisi. Karena dilakukan oleh seseorang, dan ketika ia terguling, maka dengan cepat terjadilah perubahan. Tapi tidak untuk kedua, penghinaan kemanusiaan yang dilegitimasi oleh hegemoni dan dominasinya terhadap kebudayaan. Penghinaan sejenis ini bukan dilakukan oleh “seseorang”, tapi oleh “sesuatu”.”
            Fulan memandang saya dengan sorot mata yang meminta agar ia boleh meneruskan kata-katanya. “Teror seperti ini sangatlah naif dengan berharap bahwa ia akan berhenti dengan adanya perubahan dalam konteks kekuasaan. Teror seperti ini tidaklah membunuh dengan membuat orang hidup menjadi mati, tapi melakukannya sehingga membuat orang mati dalam hidup. Dan salah satu hasil dari teror itu adalah ketika banyak orang tidak merasa bahwa mereka hidup dalam sebuah kematian.”
            “Kamu ngomong kelewat abstrak!”
            “Memang begitulah keadaannya, man! Teror kebudayaan sengaja membuat segala sesuatunya dalam keadaan abstrak. Ia telah menjadi “sesuatu” yang tak bisa ditunjuk pada siapa dan apa pun. Sebab ia ada dalam batok kepala setiap orang, dan itu telah menjadi perangai kita dalam melihat realitas manusia. Lihatlah, bagaimana kita memahami kebebasan itu dari kebebasan meniadakan hak-hak orang lain yang berbeda dengan pandangan kita. Atau teror kebudayaan dalam mengidentifikasi apa yang kita sebut sebagai tradisi yang sekonyong-konyong dibatasi oleh masa lalu, masa kini, dan identifikasi-identifikasi etnisitas yang eksklusif, menjadi “kita” dan “mereka”. Di sisi yang lain, dalam konteks perangai dan perilaku sosial, teror ini membuat kita tidak dididik oleh suatu kesadaran tentang mengapa sesuatu itu menjadi benar dan sebaliknya. Tapi lebih disebabkan oleh kesadaran adanya kekuasaan. Kekuasaan, apapun jenisnya, telah membuat semuanya menjadi pragmatis. Dan jangan menyebut bahwa keadaan ini hanya terjadi di lapangan politik, sebab juga terjadi secara mencolok mata di lapangan kesenian!”
            “Saya pikir kamu terlalu jauh melihat persoalan, seperti sedang membacakan sebuah daftar dosa,“ saya kembali menyela, dan itu berhasil membuatnya semakin gelisah.
            “Inilah teror itu! Teror yang membuat kita selalu melihat persoalan secara sederhana. Seolah-olah tak ada kenyataan lain yang menjadi sebab mengapa kenyataan hari ini bisa mendadak ada di hadapan kita. Melak cabe mah moal jadi tomat, barangkali ungkapan itu bisa berlaku. Atau jangan-jangan, dengan pandangan yang serba parsial seperti itu, kita sebenarnya sedang melakukan sebuah alibi seraya melegitimasi apa yang selama ini menjadi kenyataan untuk diam-diam menyerah, dan berkata bahwa semuanya berlangsung secara wajar. Kamu tahu, inilah yang membuat teror itu berhasil!”
            Pada puncak kegelisahannya itu, sebelum saya siap, tiba-tiba Fulan merampas mesin tik saya. “Biar aku teruskan!”
            Dia pergi ke luar, lalu pergi ke arah hilang, di antara malam dan pohon-pohon. Tak lama hujan turun. Garis-garis air itu pecah di lantai teras, kaca jendela, dan pintu, seperti ribuan jemari tangan yang terus bergerak di tust-tust mesin ketik. Begitu riuh, begitu gelisah.
Pagi saya menemukan seluruh daun di pepohonan penuh tulisan, “Tak ada yang bisa kita lakukan dan tak ada tempat untuk kita pergi.”
           
  20 September 2001

Tidak ada komentar:

Posting Komentar