Kamis, 11 Agustus 2016

Yang Terhormat Wagub Jabar


---Ahda Imran, penyair dan esais

TENTU tak patut mensyukuri robohnya atap Timur gedung bersejarah YPK Bandung. Tetapi, justru peristiwa itulah yang membuat saya dan para seniman bisa bertemu dan berdialog dengan Bapak Wagub Jabar. H. Deddy Mizwar di Gedung YPK Bandung, 1 Agustus lalu. Sebuah pertemuan yang menarik demi membincang sejumlah ihwal dalam politik kesenian Pemrov Jabar.  Terutama yang bersangkut ihwal dengan nasib Gedung YPK dan DKJB.  Saya tidak tahu, apakah bila atap gedung YPK tidak roboh dialog semacam itu akan bisa berlangsung? Apakah para seniman akan bisa mendengar apa yang telah dilakukan oleh lembaga kebudayaan seperti DKJB sebagaimana diuraikan oleh Prof. Ganjar Kurnia? Pertemuan hari itu memang sebuah ironi.    


Tetapi, Pak Wagub, yang paling membuat saya berbahagia dalam dialog hari itu karena bisa mendengar sejumlah pemaparan bapak. Bukan hanya yang langsung bersinggungan dengan perkara yang sedang diperbincangkan, yang muncul dari reaksi para seniman dan aspirasi yang mereka suarakan. Melainkan, bagaimana sejumlah jawaban bapak tersebut juga banyak menjelaskan suatu pandangan ihwal pembangunan seni-budaya di Jabar. Lebih jauh lagi apa dan bagaimana perspektif bapak melihat pembangunan politik kebudayaan dan peran pengelola negara di dalamnya.
Sebagai seniman, saya yakin bapak akan menyorongkan suatu sudut pandang yang berbeda dengan pejabat yang mati-matian bersolek kata dan laku agar disebut seniman budayawan. Namun, ternyata harapan saya  berlebihan. Bahkan, setelah mendengar semua pemaparan dan penjelasan bapak dalam forum dialog itu, saya merasa menemukan ironi berikutnya.

Rejim Sok Tahu
Menanggapi pandangan-pandangan kritis para seniman ihwal DKJB, terutama proses pembentukan dan fungsinya, bapak ada mengatakan aspirasi serta gagasan para seniman dan aktivis budaya di Jabar bisa disampaikan pada DKJB. Pernyataan ini artinya menaruh DKJB , yang keanggotaannya dipilih gubernur berdasarkan Pasal 7 ayat 3 Pergub No. 70 Th. 2014,  sebagai lembaga yang merepresentasikan khalayak seniman budayawan di Jabar.  
Pertanyaannya, Bapak Wagub, apakah mungkin suatu lembaga yang diposisikan sebagai representasi dari khalayak seniman budayawan keanggotaannya dipilih oleh kuasa gubernur? Bukankah kesan kuat yang muncul, alih-alih merepresentasikan khalayak seniman budayawan, DKJB justu lebih merepresentasikan kuasa gubernur? Apakah kuasa gubernur juga di situ berarti kuasa pengetahuan siapa mereprentasikan apa dan siapa?    

Reaksi para seniman budayawan yang mengkritisi DKJB sebenarnya bisa dimaknai tidak melulu sebagai penolakan atas kuasa gubernur semacam itu. Tetapi, reaksi itu juga membuktikan bahwa kuasa pengetahuan gubernur tersebut tak menemukan pembuktian atau pembenarannya sebagai sebuah representasi. Khayalak seniman budayawan pada nyatanya tidak pernah merasa bahwa DKJB merepresentasikan gagasan mereka, termasuk yang ditautkan dengan keperluan membangun strategi kebudayaan di Jabar.
Dan tampaknya DKJB pun, sepanjang mengemuka dalam dialog, atau yang termaktub dalam pergub, tidak mendaku sebagai sebuah lembaga yang merepresentasikan khalayak aktivis budaya dan seniman. Oleh sebab itulah, mungkin jadi bisa dipahami jika sebagai lembaga kebudayaan DKJB tidak pernah sekalipun terdengar mengeluarkan pernyataan sikap di tengah isu-isu kebudayaan yang ramai terjadi di Jabar. Dan karena itu pula, DKJB tidak merasa punya kewajiban merangkul atau menjalin komunikasi dengan para penggiat kesenian dan para ativis budaya di Jabar.
Akhirnya kuasa pengetahuan gubernur ihwal mekanisme pemilihan anggota DKJB  yang dianggap representatif  tersebut, lebih mencerminkan watak dari suatu rejim yang sok tahu. Ketimbang berangkat dari suatu pengetahuan  bahwa kebudayaan adalah ruang publik. Watak yang, meminjam istilah Heru Hikayat (“1 Agustus di Gedung YPK. Pikiran Rakyat, 6 Agustus ), menyangkal inklusivitas; syarat bagi keberlangsungan kebudayaan yang lebih demokratis.
Kita bisa menebak, Bapak Wagub, strategi kebudayaan seperti apa yang dimulai dengan watak semacam ini. Watak rejim yang sok tahu ini pada tahun 1999 pernah pula dipamerkan oleh kuasa Gedung Sate dalam menyusun kepengurusan Dewan Kesenian Jawa Barat (DKJB), dan hasilnya centang perenang. Bukankah suatu ironi jika itu diulangi, apalagi sekarang dengan label gagah “kebudayaan”?  
Bahwa kemudian penunjukan itu hanya berlaku dalam satu periode, sebagaimana mengemuka dalam pergub, dan seterusnya keanggotaan DKJB ditentukan oleh rapat anggota untuk menentukan siapa menggantikan siapa;  itu pun tidak lantas membuat DKJB berdiri di landasan yang demokratis. Bukankah itu justru memperlihatkan bagaimana tradisi kuasa penunjukkan justru sedang diturunkan atau diwariskan?  Dan karena itulah, Bapak Wagub, dengan alasan yang tentu berbeda, saya sepakat dengan apa yang bapak katakan, bahwa mekanisme semacam itu belum pernah dilakukan di Indonesia.

Internasional                   
Dalam dialog di YPK  hari itu, Bapak Wagub, yang tak kalah menariknya adalah menyimak pandangan politik kesenian bapak dan orientasi capaiannya, yakni, dunia internasional. Betul sekali bahwa pergaulan di ranah budaya global menjadi suatu keniscayaan, bahkan kian mendesak. Even-even kesenian menjadi pintu masuk yang ampuh bagi pergaulan internasional. Dan ini bukan sesuatu yang pelik. Jaringan kerja para seniman dan komunitas kesenian di seluruh dunia, memudahkan orang memproduksi even-even semacam itu.
Hanya saja ketika orientasi internasional itu berkesan menjadi satu-satunya hasrat dalam praktik kebijakan politik kesenian, maka hasrat tersebut sesungguhnya mengandung ironi juga. Dan inilah yang terjadi di Jabar. Politik kesenian dengan hasrat masuk ke dalam pergaulan internasional, seraya berpura-pura lupa bahwa yang global dan yang internasional itu bertulangpunggung pada yang lokal. Oleh sebab itulah, bisa dipahami bila even-even lokal posisinya dalam politik kesenian Pemrov Jabar, tidak seperti yang diberikan pada sejumlah even yang berlabel internasional.
Mengabaikan dinamika lokal, termasuk dalam infrastruktur, demi hasrat mencapai pergaulan internasional, akhirnya menjelaskan sampai sejauh mana sebenarnya globalitas atau yang internasional itu sedang dipahami. Tanpa bertopang pada lokalitas atau dinamika lokal, pergaulan internasional yang dibayangkan lebih merupakan pergaulan tanpa kesetaraan. Tanpa bertopang pada lokalitas dan dinamika lokal, apalagi seraya mengabaikannya, jangan-jangan orientasi internasional itu tak lebih sebagai hasrat politik ketimbang ditujukan bagi pembangunan kesenian. 
Bapak Wagub, akhirnya saya jadi ingat pada perumpamaan Denxiaoping manakala ia mereformasi Tiongkok. Ia mengatakan, “Membangun China seperti menyeberangi sungai dengan merasakan setiap bebatuan di dasar kali yang terinjak oleh kaki telanjang”.  Niscaya demikian pula semestinya pembangunan di lapangan kebudayaan dan politik kesenian di Jabar. Terlebih lagi kebudayaan merupakan ranah yang demikian abstrak, luas, dan pelik. Ranah yang mustahil dibangun melaui ucapan oleh seorang bintang iklan sosis, “Tinggal lep!”** 
    


Catatan: Dalam versi yang lebih ringkas tuan dan puan bisa menemukan esai ini di HU Pikiran Rakyat, 9 Agustus 2016

Tidak ada komentar:

Posting Komentar