Rabu, 16 Oktober 2013

Menonton Tubuh Perempuan yang Bersalah




---AHDA IMRAN

KARENA bentuk payudaranya yang elok, Florita diperkosa oleh ayah tirinya. Hamil lalu mati bunuh diri.  Ervina, adiknya, luput dari kemalangan semacam itu karena ia payudaranya rata. Namun, karena takut Ervina melarikan diri  dan menikah. Dan di malam pengantin barulah ia tahu bahwa jenis kelaminnya bukanlah perempuan. Bagian tubuhnya yang ia sangka sebagai vagina ternyata penis. Nalar cerita tentu segera saja mengangsurkan gugatan, sangat mustahil seseorang tidak mengenal dan mengetahui jenis kelamin yang melekat di tubuhnya sampai ia menjadi dewasa. 

Maaf, bukan itu yang sedang diperkarakan. Metafora kisahan itu sedang memperkarakan situasi tubuh perempuan di tengah hasrat kuasa masyarakat lelaki. Situasi yang menaruh tubuh perempuan senantiasa menjadi tubuh yang bersalah, sebagaimana terjadi pada payudara Florita. Karena itulah perempuan kerap dipaksa harus keluar dari tubuhnya agar ia bukan lagi tubuh yang bersalah, tubuh yang dikoloni. Pula demikian bila ingin melakukan perlawanan, tak ada jalan lain bagi perempuan kecuali memiliki dan menjadi tubuh lelaki.

Inilah satu sisi yang diusung oleh Langit Amaravati (Skylasthar Maryam) dalam kumpulan cerpennya “Payudara” (2012). Kumpulan pertama yang mengantarkan pengarang muda Bandung ini mengikuti even sastra internasional Ubud Writer & Reader  11-15 Oktober 2013 di Ubud Bali.  Ada 27 cerpen dalam kumpulan ini yang mengisahkan nasib perempuan dan reaksi perlawanannya atas kuasa telengas para lelaki. Kuasa yang juga diperlihatkan oleh suatu kontruksi sosial dan tradisi yang patriakis di tengah kemiskinan. Perempuan di situ akhirnya diringkus oleh dua situasi yang menyakitkan;  menjadi perempuan dan menjadi orang miskin.

Peristiwa, Narasi Gagasan 
27 cerpen dalam kumpulan ini umumnya mengisahkan kemalangan tubuh perempuan di tengah dominasi dan tabiat masyarakat lelaki dan bagaimana reaksi perlawanan terhadapnya. Bagaimana reaksi perlawanan itu dinyatakan dengan konstruksi peristiwa, di ruang inilah pengarang bekerja. Sebagai konstruksi peristiwa, tidaklah selalu narasi perlawanan perempuan itu ternyatakan sebagai perlawanan. Tetapi ada juga yang lebih terbaca sebagai reaksi yang sporadis dan spontan. Reaksi yang pada akhirnya kian menaruh perempuan sebagai tubuh yang bersalah. Pada ruang yang lain, narasi peristiwa juga menyuguhkan konstruksi perlawanan yang dilakukan sebagai suatu kesadaran.

Dan seluruhnya inilah yang dihadirkan sebagai narasi peristiwa perlawanan yang sekaligus menjadikannya sebagai narasi gagasan, sebagaimana mengemuka dalam “Payudara”.  Peristiwa jenis kelamin Ervina yang ternyata bukanlah perempuan, hadir sebagai metafora gagasan ihwal tubuh dalam relasi kuasa jender. Menjadi tubuh lelaki adalah keluar melucuti tubuh perempuan yang selalu dianggap bersalah.

Akan tetapi, benarkah perlawanan hanya bisa dilakukan dengan menjadi tubuh lelaki? 

Dalam “Ini Bukan Tentang Kematian Yusran” perempuan memaknai tubuhnya sebagai gagasan untuk melakukan perlawanan dan pembalasan. Maisyani menikah dengan lelaki kaya yang menabrak mati suaminya. Suami yang tak hanya membawanya hidup melarat tapi juga menghamili perempuan lain. Dalam konteks ini perempuan menjadikan pesona tubuhnya untuk menjerat lelaki yang menabrak mati suaminya, yang dengan itu ia sekaligus melakukan pembalasan. Pada bagian inilah tubuh Maiyasni hadir sebagai metafora tubuh perempuan yang menjadi subjek otonom.  

Berlawanan dengan itu ialah peristiwa sporadis yang dilakukan perempuan sebagai reaksi atas kesengsaraan di luar batas penerimaanya.  Dan reaksi sporadis semacam ini ternyata tak bisa meloloskan perempuan dari tubuh yang bersalah. Isum yang bersembunyi setelah membakar rumah dan suaminya tidur bersama seorang pelacur dalam kamar (“Bagi Dunia Isum Sudah Mati”); atau kerinduan mayat seorang TKW pada emaknya setelah menjalani hukuman mati sebab membunuh anak majikannya yang hendak memperkosanya (“Rindu Emak”).   

Umumnya lelaki dalam kumpulan ini diposisikan sebagai antagonis yang nasibnya berakhir tragis, sebagai pecundang.  Menarik, ada dua lelaki yang dilukiskan sebagai tubuh pecundang sekaligus tubuh yang bersalah. Lelaki tampan pesolek tapi bodoh (“Cantik”),  dan suami yang soleh tapi impoten (“Doa”).  Konflik kedua cerpen ini lagi-lagi bergerak di antara gagasan ihwal tubuh dan kekuasaan dalam relasi jender.  Dalam “Doa” superioritas lelaki ditautkan pada kuasa tubuh dalam relasi seksualitas.  Manakala kuasa itu tak bisa berfungsi atau impoten, lelaki menemukan dirinya sebagai tubuh inferior.

Ritual doa dan bahasa agama menjadi satu-satunya tempat untuk merawat superioritasnya atas tubuh perempuan. Dan atas nama dosa, tubuh seorang istri menjadi tubuh yang dicemaskan, tubuh yang dicurigai akan melakukan masturbasi dan zinah. Meski lelaki hadir sebagai tubuh pecundang, lewat bahasa patriaki agama, di situ lagi-lagi perempuan diposisikan sebagai tubuh yang bersalah, tubuh yang dicurigai. 

Menonton Cerita 
Mengecualikan “Payudara” dan “Ini Bukan Tentang Kematian Yusran”, Langit Amaravati menulis cerita dengan anatomi peristiwa yang membuat tulisan tak ubahnya menjadi gambar. Pembaca seakan diajak masuk ke dalam beragam adegan cerita sebagaimana menonton cerita. Dengan inilah arus cerita menghadirkan konflik yang umumnya ditaruh dalam kerimbunan peristiwa dialog. Meski begitu, cerita tidaklah lantas menaruh pembesaran pada apa yang lazim dijumpai pada cerpen suasana.  

Sebaliknya, visualisasi peristiwa dikonstruksi demi mengartikulasikan gagasan pengarang. Gagasan yang tak hanya mengemuka dari konflik, namun juga karakter penokohan, sudut pandang, dan  peristiwa mengejutkan di ujung cerita ketika perlawanan dan reaksi itu dinyatakan. Pada ruang yang lain, gagasan juga ditaruh dalam dialog tokoh. Sebutlah, dalam “Doa” dan “Cantik” yang sepenuhnya memposisikan tokoh lelaki melulu sebagai umpan bagi terlontarnya berbagai pandangan atau argumen pengarang melalui tokoh perempuan.

Dalam “Cantik”, pembaca tidak diajak masuk ke dalam peristiwa suasana dialog. Melainkan diajak menonton bagaimana kata-kata seorang pengacara (perempuan) menghabisi lelaki pesolek dengan argumentasi yang jitu, membuat tubuh lelaki tampak bodoh dan bersalah. Bahkan suara tokoh atau deskripsi dalam dialog itu menyaran sebagai imajinasi gambar.  “Anda bisa berpenampilan seperti apa saja, sesuai keinginan. Sesuai pesanan. Tapi yang ini tidak,”telunjukku kembali menunjuk kening. Lelaki di depanku diam, keningnya berkerut-merut, pertanda dia sedang berpikir keras. Semoga saja” (Hal.25).

Tentu saja tak ada yang salah dengan dialog. “Kunang-kunang di Manhatan” Umar Khayam, misalnya, adalah contoh menarik bagaimana dialog menjadi artikulasi yang kuat dalam bangun kisahan. Namun, manakala dialog difungsikan untuk mengembangkan konflik, latar, plot  cerita, visualisasi peristiwa, bahkan tempat pengarang menaruh gagasannya, dialog jadi terasa benar menanggung beban berat. Akibatnya, dialog sekadar menginformasikan kelebat permukaan problem di belakang peristiwa, tanpa intesitas yang lebih jauh ke dalam eksplorasi tematiknya.

Selain itu, pembesaran narasi dalam peristiwa visual yang membuat tulisan menjadi gambar juga menyimpan risiko pada keterbatasan intesitas pendalaman cerita dan gagasan pemikiran di sebaliknya.  Namun inilah risiko yang banyak dijumpai dalam banyak teks karya sastra yang dicurigai sebagai bentuk dari pengaruh kuasa budaya visual. Alih-alih melakukan perlawanan atas kuasa visual semacam ini,  tak sedikit sastrawan yang justru terserap ke dalamnya. Sehingga teks karya sastra tak ubahnya dengan klip-klip gambar dalam televisi.   

Akan tetapi, mesti pula buru-buru dikatakan bahwa seluruhnya itu tidaklah lantas menutup berbagai gelagat menggembirakan dalam kumpulan “Payudara” Langit Amaravati. Dengan eksplorasi bahasa yang lolos dari sekadar menjadi kendaraan cerita, pengolahan plot, atau pilihan tematiknya, gelagat yang menggembirakan itu terasa benar. Gelagat yang kian mengarah pada kehadirannya di tengah  kelangkaan generasi cerpenis Bandung,  di tengah kegairahan anak-anak muda yang ingin menjadi penyair. **        















Tidak ada komentar:

Posting Komentar