Minggu, 06 Januari 2013

Melayari Puisi Nusantara: Dari Hulu hingga Hilir




Oleh  AHDA IMRAN

BILA perpuisian Melayu Nusantara ditamsilkan sebagai sebuah sungai, dari hulu hingga ke hilir, maka melayarinya bukanlah pekerjaan mudah. Sungai itu terlalu besar, berhulu di suatu masa sebelum abad ke-16, bahkan pula ada yang menyebut sejak awal abad ke-7. Terlebih pelayaran itu demi mengandaikan terbentangnya sebuah pemetaan ihwal kekayaan khazanah perpuisian Melayu.  Ada banyak alun dan riak yang ditemukan,  yang seluruhnya niscaya minta ditautkan dengan ihwal fenomena gerak identitas, sehingga pelayaran di sungai besar puisi Nusantara itu tak terjebak ke dalam impresi yang serba romantik. 

“Perpuisian Nusantara dari Hulu hingga Hilir: Perspektif Historis, Filosofis, dan Eksistensi”. Begitu tema yang diusung oleh perhelatan Pertemuan Penyair Nusantara (PPN) VI yang berlangsung di Jambi, 28-31 Desember 2012. 


Perhelatan tahunan ini tak hanya diikuti oleh ratusan penyair yang datang dari sejumlah kota di Indonesia, tapi juga oleh sejumlah penyair dari Malaysia, Singapura, Thailand, Brunai, dan dua negara peninjau (Korea dan Prancis). Selain itu tentu hadir pula para pengamat sastra, kritikus, hingga kalangan akademisi.

Selama tiga hari, seluruh peserta diajak berlayar di sungai besar perpuisian Nusantara dalam beberapa seminar perbincangan. Mulai dari yang mengurai kesilaman berbagai bentuk perpuisian Melayu yang berada di hulu, semisal, pantun, seloko, mantera, hingga bergerak ke hilir menatap sekalian jejak kesilaman itu pada bentuk puisi modern sebagai akar dan jejak. Lebih dari sekadar ingin menjadi pembeda dari lima PPN sebelumnya, PPN VI Jambi mengajak orang melayari perpuisian Nusantara dengan tautannya pada perkembangan sastra lokal, yakni, perpuisian berbahasa Jawa dengan pembicara Siti Chamamah Soeratno, perpuisian Sunda (Tedi Muhtadin) , dan perpuisian Bugis (M. Aan Mansyur), dan puisi lama Jambi (Puteri Soraya Mansur).  Tautan ke ranah tradisi di luar Melayu ini tampaknya menarik, paling tidak bisa luput dari kesan bahwa perpuisian Nusantara hanya beridentitas pada perpuisian Melayu.  

Pilihan melayari puisi Nusantara dari hulu ke hilir ini memang dirancang dengan keinginan menjadikan PPN VI Jambi sebagai evaluasi atas lima pelaksanaan PPN sebelumnya, yakni, Medan Sumut (2007), Kediri Jatim (2008), Kuala Lumpur Malaysia (2009), Brunei Darussalam (2010), Palembang Sumsel (2011).  Selain seminar, juga diterbitkan buku antologi puisi bertajuk “Sauk Seloko”. Buku ini memuat 300 sajak karya 213 penyair dari Indonesia, Malaysia, Singapura, dan Brunei Darusslam. Sedangkan makalah para pembicara seminar termaktub dalam buku “Mengangkat Batang Terendam: Telaah Perpuisian Melayu Nusantara Mutakhir”.

Melayu nan Romantik
Manakala Nusantara dipahami sebagai sebuah geo-kultural dengan bahasa Melayu sebagai identifikasinya, maka perbincangan ihwal perpuisian Nusantara tak bisa mengelak dari bahasa dan sastra Melayu sebagai hulunya. Ini memang semestinya sebelum perbincangan dilepas mengalir ke hilir. Sastrawan Abdul Hadi W.M memulaiya dengan serangkaian pemaparan ihwal tautan antara perpuisian Melayu dan tasawuf, juga perkembangan di awal abad ke-20 manakala bahasa Melayu ditating ke dalam tradisi intelektual dalam konteks kesadaran nasionalisme. Pula begitu dengan Suratman Markasan yang menghadapkan puisi Melayu dengan estetika Islam. Pendeknya, ada lima pembicara yang mengurai historitas hubungan perpusian Melayu Nusantara dan Islam, sembari menegaskan kearifan tradisi di dalamnya. 

Tentu saja menarik, seandainya saja di sana-sini tidak terasa bagaimana segenap uraian itu masih meletakkan Melayu dengan cara pandang yang serba romantik. Melayu yang melulu ditetapkan sebagai masa silam yang arif dan agung, yang dikenang dengan sekalian estetika perpusiannya. Cara pandang semacam ini akhirnya menjadi gagap ketika ia dihadapkan pada fenomena kekinian yang bertaut erat dengan soal politik identitas. Ini, misalnya, sempat muncul ketika seorang peserta seminar mempertanyakan sejauh mana ungkapan-ungkapan sastra lama Melayu Jambi (Seloko) berdaya membangun kesadaran dalam konteks kekinian di tengah friksi sosial yang kerap muncul di tengah konflik lahan yang menghadapkan pribumi dan para pendatang.

Sayangnya, pertanyaan ini luput dikembangkan menjadi perbincangan ke arah bagaimana sebenarnya jejak sastra lama yang kerap disebut sebagai kearifan lokal itu memberi kontribusi pada cara pandang terhadap yang liyan. Dengan kata lain, bagaimana semestinya menafsir kearifan yang menjadi pesan dalam khazanah tradisi lama itu dalam konteks kekinian manakala beragam identitas berbaur yang kerap memicu perselisihan.        

Maka perbincangan di wilayah hulu ini tak ayal lagi hanya berputar di situ-situ juga. Meski tak berada dalam forum atau sesi seminar yang sama, beruntunglah kesuntukan ini bisa dijawab oleh Prof. Jakob Sumarjo. Alih-alih mengulang-ulang struktur estetika pantun, mantera, seloko, dan fungsinya, Jakob Sumarjo memaparkan apa dan bagaimana desain kosmologis yang ada di balik bentuk perpuisian Melayu klasik itu. Berbeda dengan Abdul Hadi W.M yang melihat pantun sebagai bentuk sastra yang profan, atau yang melulu melihat tautannya dengan gerakan tasawuf yang dikembangkan oleh Hamzah Fansuri, dalam pandangan Jakob Sumarjo pantun sebagai akar perpusian Nusantara sesungguhnya memaktubkan relasi antara eksistensi manusia dan makrokosmos yang melingkupinya. Sampiran dan isi ialah representasi dari kesatua manusia dan alam, mikrokosmos dan makrokosmos.

Jejak Hulu di Hilir
Mengurai desain kosmologis di balik mantera dan pantun inilah, uraian Jakob Sumarjo membawa pelayaran peserta seminar memasuki hilir perpuisian Nusantara. Termasuk bagaimana jejak-jejak seluruhnya itu membekas dalam eksplorasi bentuk pada karya sejumlah penyair muda, sebagaimana uraian Pinto Anugerah. Bila Pinto melakukan penelahaan pada pencarian bentuk pengucapan sejumlah penyair muda Sumatera Barat terutama tradisi lisan Minangkabau Pasambahan, Maman S. Mahayana menyasar pada telaah bagaimana pada akhirnya perpuisian Indonesia modern tak bisa lepas dari jejak estetika yang berada di hulu tradisinya, yakni, pantun.

Sekalipun St.Takdir Alisyahbana dan Pujangga Baru di tahun 1920 dan 1930-an ngotot memproklamirkan apa yang mereka sebut sebagai puisi baru, namun secara bentuk pengucapan puisi baru itu tetap tak bisa melepaskan hubungan mereka dengan estetika puisi lama, terutama pantun. Jejak pantun terasa pula dalam perkembangan berikutnya dalam perpuisian Indonesia modern, sebagaimana uraian Prof. Suminto A. Sayuti. Dalam pandangannya,  pelacakan terhadap jejak puisi Melayu dalam perpuisian Indonesia modern hendaknya menempatkan perpuisian Melayu itu sebagai interteks, sebagai sebuah interpretasi.

Berbeda dengan perbincangan di hulu, membaca jejak perpuisian Melayu dalam puisi Indonesia modern perbincangan sepenuhnya berkonsentrasi pada unsur kebentukan dan relasinya dengan kesilaman. Meski Pinto Anugerah, Maman S. Mahayana atau Suminto A. Sayuti ada menyinggungnya, nyaris tak ada perbincangan yang menyentuh aspek bagaimana mengolah jejak lama itu ke dalam kekinian. Atau lebih lapang lagi,  bagaimana persinggungannya dengan beragam bentuk pengucapan yang dipungut dari tradisi perpuisian yang liyan, sebutlah, lirisme, yang kuat mewarnai perpuisian Indonesia modern.

Melayari perpuisian Nusantara dari hulu ke hilir, ditambah dengan pelacakan ke arah historitasnya, filosofi, dan eksistensinya, tentu adalah pelayaran yang panjang, yang tak cukup waktu dilayari dalam waktu tiga hari. Meski para pemakalah telah tampil mengurai dari berbagai segi, bahwa adanya aspek yang luput tampaknya tetaplah tak bisa terhindarkan. Misalnya, aspek perkembangan bahasa Melayu sebagai yang niscaya memengaruhi kontruksi perkembangan perpuisian Nusantara dari setiap masa dan generasi.

Di lain soal, di hadapan berbagai isu yang mewarnai hubungan negara-negara di kawasan Nusantara sejak beberapa tahun yang lalu, sebutlah, Indonesia-Malaysia, tampaknya PPN lebih merupakan dunia yang tersendiri. Karena itulah, seperti PPN VI Jambi, tak ada satu pun butir rekomendasi yang merujuk pada pandangan para penyair Nusantara ihwal perlunya merawat dan menjaga persaudaraan di kawasan Nusantara di tengah berbagai isu ketegangan yang kerap terjadi dalam format yang bernama negara. Puisi dan para penyair seakan dunia alienasi yang melayari bahasa dan sastra Nusantara, dari hulu hingga ke hilir.

Tapi apapun, sebgai sebuah even, PPN VI Jambi secara umum telah mampu mengajak ratusan peserta dari berbagai kota dan negara untuk berlayar menyusuri sungai perpuisian Nusantara. Dari hulu hingga ke hilir, mereka diajak kembali membaca akar pula jejak-jejak yang masih terus berdegup dalam perpuisian Indonesia mutakhir. Ada banyak riak dan alun sejarah, filosofi, dan eksistensi yang ditemui di kedalamannya. Seperti para peserta menemukan bagaimana PPN VI Jambi dikelola dengan manajemen even dan militasi kerja pihak panitia yang mengagumkan. ** 

Catatan : Tulisan yang lebih ringkas dimuat di H.U. Pikiran Rakyat Bandung, 6 Januari 2013

Tidak ada komentar:

Posting Komentar