Minggu, 29 Januari 2012

Kaleidoskop Sastra Indonesia 2011



Sastra Indonesia 2011: Panjang Sprei dari Kelambu

---AHDA IMRAN

MARILAH  kita mulai dari salah butir rekomendasi Temu Sastrawan Indonesia (TSI IV) di Ternate Maluku Utara, 24-28 Oktober 2011. Rekomendasi itu mengubah durasi penyelenggaraan TSI yang bermula diselenggarakan saban tahun, menjadi event dua tahunan. Butir rekomendasi muncul bukanlah bersebab tak adanya kota yang memastikan kesediaannya menjadi tuan rumah TSI V tahun 2012. Melainkan demi mengantisipasi agar event ini tidak terjebak sekadar menjadi rutinitas tahunan, sekaligus membayangkan keleluasaan teknis penyelenggaraan—terutama kesiapan pemda yang menjadi tuan rumah, yang niscaya bersangkut ihwal dengan birokrasi alokasi anggaran. Dengan begitu, rekomendasi itu mengagendakan bahwa TSI V akan berlangsung tahun 2013, dengan tempat yang belum ditentukan. 

Namun belum lagi sebulan, di jejaring sosial facebook tersiarlah kabar bahwa Propinsi Kaltim—melalui sastrawannya Korrie Layun Rampan—bersedia menjadi tuan rumah TSI V 2012. Bukan validitas warta itu yang jadi penting, melainkan bagaimana sejumlah sastrawan “alumni” TSI IV Ternate meresponnya. Riang gembira mereka menyambut
kabar itu, yang sekaligus menjelaskan seberapa panjang sebenarnya ingatan mereka di depan hasrat untuk bertemu dan berkumpul lagi di pertemuan sastra tahun berikutnya. 

Pengabaian status rekomendasi seakan mau melengkapi apa yang tersisa seusai penyelenggaraan TSI IV. Sesuatu yang tak ada kait perkaranya dengan sastra Indonesia Abad 21 yang diusung jauh-jauh ke Ternate sebagai tajuk perhelatan—yang (kabarnya) telah merogoh dana ABPD Kota Ternate sebanyak Rp.1,5 milyar.

TSI IV Ternate telah meninggalkan jejak yang terkesan tak ada urusannya lagi dengan bagaimana perhelatan sastra bisa menjadi semacam strategi demi produksi wacana atas fenomena yang berlangsung dalam sastra Indonesia di awal abad 21. Telaah menarik sastra Indonesia mutakhir yang disodorkan oleh Afrizal Malna , Manneke Budiman, Eka Kurniawan, Hilmar Farid, Bramantyo, Bandung Mawardi, dan Firman Venayaksa—yang terangkum dalam buku Risalah dari Ternate (Ummu Pres Ternate, 2011) dan perbincangannya—juga telah ditimbun oleh urusan teknis penyelenggaraan yang belum selesai, yang lebih mirip urusan hutang-piutang.

Apa yang terjadi setelah TSI IV Ternate ialah sastra sebagai isu telah berkelok menjadi isu di luar dirinya—kualitas manajemen event, organisasi penyelenggaraan, mekanisme penyaringan, sampai mutu peserta. Dan sayangnya, seperti juga yang terasa dalam tiga atau lima tahun terakhir, inilah kesan kuat yang diperlihatkan oleh roman airmuka sastra Indonesia 2011 di balik kemeriahaan dan dinamika berbagai perhelatan temu sastra.  Tentu saja kesan ini zonder pengabaian pada adanya gelagat dinamika yang membayangkan perasaan optimis, meski jumlahnya bisa dibilang dengan sebelah jari tangan. Baik sebagai peristiwa sastra yang sungguh-sungguh memberi penghormatan pada teks dan pemikiran, maupun beberapa pencapaian menarik yang disuguhkan dalam karya sejumlah sastrawan yang terbit selama tahun 2011.

Ranjang dan Kelambu yang Menganga

Dibanding tahun sebelumnya, secara kuantitas dinamika sastra Indonesia 2011 demikian meriah.  Malah bisa disebut, dibanding cabang senian lainnya, sastra merupakan cabang seni yang paling banyak mengadakan berbagai pertemuan.  Terdapat sembilan event pertemuan sastra yang telah berlangsung di berbagai kota, dengan label “nasional” mau pun “internasional”. Juga pemberian sejumlah anugerah atau penghargaan sastra, diskusi dan launching buku, serta pembacaan kembali karya para sastrawan Indonesia yang dianggap penting.

Demikian pula dengan munculnya sejumlah peristiwa yang membuat geger, mulai dari isu penjplakan karya sastra hingga gerakan penyelematan infrastruktur sastra yang diabaikan oleh pemerintah.  Atau, fenomena kegairahan seterusnya dalam medan sosial sastra, terutama pencarian berbagai kemungkinan kreatif karya sastra lewat medium jejaring sosial dunia maya.  
Tapi, sastra Indonesia 2011 lebih membayang sebagai metafora yang sering dikatakan orang kampung saya kalau melihat perempuan yang rok dalamnya (dengan warna yang mencolok) menjulur keluar karena lebih panjang dari rok luarnya: Panjang sprei dari kelambu. Metafora yang membawa imaji ihwal sebuah ranjang dengan komposisi desain yang tak fungsional, tak berimbang, mubazir—dan tentu saja tak lazim.

Maka, sastra Indonesia 2011 ialah ranjang dengan sprei pergaulan sastra yang penuh dengan berbagai peristiwa dalam desain kelambu pemikiran, isu, dan produksi wacana yang kelewat pendek dibanding spreinya. Sehingga kain kelambu itu tergantung-gantung di udara dan ranjang itu menganga kosong—karena sekalian apa yang terjadi di atas ranjang secepat itu menguap.   

Suara-suara yang Berkerumun

Ranjang sastra Indonesia 2011 adalah ranjang menganga dan penuh kerumunan suara. Satu yang paling terasa ialah kerumunan suara yang berlangsung di kawasan jejaring sosial seperti  Facebook dan Twitter. Kerumunan yang terus membesar menjadi isu yang penuh pernyataan dalam suasana budaya lisan—malah tak sedikit yang menetap menjadi tak lebih dari sekadar itu.

Tak ada peristiwa yang lebih menghebohkan sepanjang tahun 2011 ini daripada peristiwa perbuatan plagiarisme yang dituduhkan pada dua orang sastrawan terkemuka, yakni, penyair Taufiq Ismail dan cerpenis Seno Gumira Ajidarma. Terlibat juga di situ suratkabar Kompas, yang bahkan sejak bulan pertama (30 Januari) telah memulainya lewat pemuatan cerpen Dadang Ari Murtono, “Perempuan Tua dalam Rashomon”.

Seperti ghalibnya, plagiarisme adalah soal yang genting. Apalagi di ranah karya sastra yang melibatkan dua sastrawan terkemuka seperti penyair Taufiq Ismail dan cerpenis Seno Gumira Ajidarma. Karena itu tak aneh jika keduanya dipenuhi oleh kerumunan suara yang mengecam bahkan juga mereka harus menerima maki dan cacian. Hanya saja ada sesuatu yang niscaya jadi musabab munculnya isu atau tuduhan penjiplakan itu. Soal ini, dengan kata lain,  ini tidaklah bisa disendirikan dari gelagat yang mendahuinya. Terutama gelagat semacam ini bisa dilihat dari isu penjiplakan yang disangkakan pada Taufiq Ismail.  

Dalam  kasus puisi “Kerendahan Hati” yang disebut sebagai karya Taufiq Ismail—malah tercantum dalam buku pelajaran Terampil Berbahasa Indonesia untuk Kelas 8 SMP/Mts dan sejumlah website yang sejak tahun 1998 menyebut nama Taufik Ismail sebagai penciptanya—padahal puisi itu karya penyair Amerika Serikat Douglas Marloch berjudul “Be the Best of What You Are”; gelagat yang melatarinya mengandung kecurigaan pada—meminjam bahasa Afrizal Malna dalam makalahnya di TSI IV—epidemi sejarah.  Epidemi yang tak hanya berlangsung dalam realitas sosial politik, melainkan juga telah meruap ke dalam pergaulan sastra Indonesia, sampai hari ini.  

Gelagat epidemi sejarah itu bisa tercium dari pesan singkat Taufiq Ismail yang mengecam dengan ucapan kasar berlangsungnya diskusi buku alm Asep Samboja di Pusat Dokumentasi Sastra (PDS) H.B. Jassin, penghujung Maret 2011.  Pesan singkat yang ditujukan pada sejumlah orang yang duduk di jajaran pengelola PDS. H.B. Jassin itu dengan cepat menyebar sekira satu atau dua pekan sebelum isu plagiarisme itu muncul di jejaring sosial facebook, website, dan blog.

Pesan singkat itu pada dasarnya merupakan pernyataan dan kecaman Taufiq tentang betapa tak patutnya ruang yang menjadi jejak warisan H.B. Jassin dijadikan tempat untuk mendiskusikan karya-karya sastrawan Lekra, apalagi dengan pembicara dan moderator yang diidenfikasinya sebagai bagian dari golongan yang dianggap telah menzalimi H.B. Jassin itu.

Pesan singkat Taufiq merupakan representasi dari bagaimana masa lalu itu tetap dirawat dengan setia untuk memaknai realitas kekinian yang sedang berlangsung, seraya dengan itu mengabaikan paradigma pemaknaan kekinian yang telah beranjak dari sekadar melulu mengurusi pertarungan dalam ideologi politik dan seni.  Munculnya isu penjiplakan yang dialamatkan pada Taufiq setelah pesan singkatnya yang membuat heboh itu, mungkin saja hanya sebuah kebetulan ketimbang diniatkan, atau memang itu tak lagi jadi penting.

Karena yang lebih penting adalah bagaimana isu penjiplakan itu   menjadi momen untuk memuntahkan kegusaran sebagian kalangan pada sikap Taufiq yang dianggap terlalu, sekaligus selalu,  nyinyir mengukur segala urusan ihwal hubungan sastra dan politik dari penilaian atau “epistemologi sejarah” yang diimaninya atas peristiwa tahun 1960-an.  Belum lagi getolnya ia mengeluarkan pernyataan di berbagai forum ihwal bahaya ideologi komunisme—lengkap dengan jumlah angka korbannya di seluruh dunia.    

Maka kuat kesan dalam isu penjiplakan itu, dalam beberapa hal, soalnya bukan lagi benar tidaknya ia melakukan penjiplakan—atau perlu tidaknya mempertimbangkan penyangkalan dengan sejumlah bukti yang disodorkannya. Taufiq di situ tak hanya berhadapan dengan sekalangan orang yang memang menjadi bagian dari masa lalu, tapi juga dengan sebuah generasi yang memiliki caranya sendiri dalam memaknai masa lalu.   

Mungkin saja di tengah kerumunan suara yang memaki dan mencacinya dalam kasus plagiarisme itu,  Taufiq Ismail telah diperlakukan tak adil. Tapi, perlakuan yang diterimanya itu juga tak bisa disendirikan dari konsekuensi atas pilihannya menjadi seorang pemeluk teguh yang merawat dan mengimani peristiwa masa lalu, sehingga berlaku tak adil dalam menatap perkembangan realitas kekinian.  

Isu penjiplakan Taufiq Ismail dan kecamannya pada diskusi buku Asep Samboja, selintas memang memperkarakan dua ihwal yang berbeda. Meski begitu keduanya membayangkan suatu kausalitas yang berkorelasi dengan epidemi masa lalu. Terlebih ketika di tengah kerumunan suara itu muncul pula dua nama sastrawan yang terlibat dan  bisa direpresentasikan sebagai bagian dari masa lalu, yakni, Ajip Rosidi dan Martin Aleida[2].  Masa lalu tampaknya masih saja menjadi penjara bagi pergaulan sastra Indonesia 2011, setidaknya ia terus membuntuti dan turut memperbesar berbagai isu.   

Alih-alih memproduksi wacana pemaknaan ihwal relasi masa lalu dan kekinian, isu semacam itu tak sedikit akhirnya  melulu berujung pada kerumunan berbagai suara dengan polarisasi konflik  yang tak meninggalkan jejak pemikiran apapun ke dalam sastra sebagai isu—kecuali isu para sastrawannya.

Isu penjiplakan puisi “Kerendahan Hati” mulai reda sejak perdamaian antara Taufiq Ismail dan Bramantyo[3] di Fadli Zon Library, 14 April, setelah sebelumnya  Bramantyo mengakui kesalahann. Taufiq sendiri sekali lagi menyebutkan ketidaktahuannya jika sejak tahun 1998 puisi Marloch itu diidentifikasi sebagai puisi karyanya, Sebagaimana juga pernah masyarakat mengira lirik lagu “Tuhan” kelompok Bimbo ciptaan Sam itu sebagai puisi karyanya.

Jika isu kasus penjiplakan Taufiq Ismail bisa disebut berakhir dengan pertemuan perdamaian yang saling memaafkan, maka isu plagiarisme cerpen Seno Gumira Ajidarma berujung dengan sikap diamnya Seno. Sedangkan akhir dari dakwaan penjiplakan cerpen “Perempuan Tua dalam Rashomon” karya Dadang Ari Murtono—yang tak bisa dipisahkan dari cerpen terkenal “Rashomon” Ryunosuke Akutagawa—ditandai dengan pengakuan dan permintaan maaf Redaksi Kompas sepekan kemudian dan mengganggap cerpen itu tak pernah ada.

Isu plagiarisme pada keduanya (Seno dan Dadang) menyaran pada moral pengarang di hadapan teks—yang mungkin berhubungan dengan proses kreasi—dan kelalaian media. Mengecualikan kasus cerpen Dadang Ari Murtono yang sulit untuk bisa luput dari dakwaan penjiplakan—sekaligus juga menyimpan keheranan mengapa cerpen sampai bisa lolos dari amatan Kompas— sesungguhnya kasus “Dodolidodolibret” Seno masih menyisakan sejumlah soal yang menarik untuk menjadi perbincangan. Terlebih lagi cerpen itu kemudian terpilih sebagai Cerpen Terbaik Kompas 2011.

Setidaknya, ada sejumlah pertanyaan, apakah cerpen itu benar jiplakan atau saduran? Jika benar jiplakan, apakah Seno selugu Dadang Ari Murtono—menjiplak sebuah karya yang sudah banyak dikenal bahkan sudah diterjemaahkan ke dalam bahasa Indonesia? Dan jika itu hanya sebuah saduran, pada batas mana itu bisa diasumsikan sebagai sebuah saduran? Lalu apa sebenarnya kriteria dari penjurian Pemilihan Cerpen Terbaik Kompas 2011 itu? Lantas mengapa juga publik baru bereaksi ketika cerpen ini dinobatkan sebagai Cerpen Kompas Terbaik 2011 , tapi tidak ketika Kompas memuatnya (Minggu, 26 September 2010)?

Sayangnya, berbeda dengan Taufiq Ismail yang melayani semua tuduhan terhadapnya seraya menyodorkan argumentasi bantahan, nyaris tak pernah ditemukan data berupa statement Seno di media massa ihwal apa yang dituduhkan orang pada “Dodolidodolibret”—jangan lagi membalas esai Akmal Nasery Basral “Dodolit Dodolttolstoy”[4].  Tak kalah diamnya adalah juri Pemilihan Cerpen Terbaik Kompas 2011 yang terdiri dari Putu Fajar Arcana, Myma Ratna, Frans Sartono, Kenedi Burhan, dan Efix Mulyadi.

Maka, isu yang sejatinya bisa memperluas dirinya ke dalam berbagai ihwal ini akhirnya perlahan lenyap. Bukan saja oleh sikap diam, tapi juga ditimbun oleh isu dan peristiwa lainnya yang selalu datang lebih cepat ketimbang pikiran.

Sebagaimana terjadi dalam isu penjiplakan, jejaring sosial dunia maya merupakan kerumunan suara yang menating dan menjadi ruang pembesaran berbagai isu sastra sepanjang tahun 2011. Ia menjadi semacam mikropon yang mengeluarkan  berbagai  suara yang berpotensi menjadi isu, perdebatan hingga konflik ke tengah pergaulan sastra Indonesia dan publik—meski tak sedikit suara yang terasa diliputi oleh semangat kebencian.  

Tapi pada bagiannya yang lain, jejaring sosial dunia maya juga tak selamanya hanya berupa kerumunan suara semacam itu. Ia juga bisa menjadi kanal bagi keperluan memperbesar kesadaran kolektif yang bereaksi ketika sastra begitu lemah dalam melakukan tawar menawar di hadapan kelalain kuasa negara, sebagaimana munculnya gerakan#koinsastra. Sebuah gerakan demi menyelamatkan Pusat Dokumentasi Sastra (PDS) H.B. Jassin yang meregang nyawa karena Pemda Provinsi DKI Jaya yang di tahun 2011 hanya bisa mengalokasikan anggaran sebesar Rp. 50 juta. Sebuah angka yang dianggap sebagai penghinaan terhadap sejarah perkembangan seni dan kebudayaan di negeri ini. 

Jejaring sosial dunia maya dengan begitu telah membawa pergaulan sastra Indonesia menjadi kanal kesadaran kolektif, sebagaimana ia pernah memperbesar kawasan empati setiap orang atas nama keperdulian dan solidaritas sosial—sebutlah kasus Prita yang dikenal dengan koin untuk Prita. Menyelinap di tengah gonjang-ganjing isu penjiplakan Taufiq Ismail, gerakan demi menyelamatkan PDS. H.B. Jassin ini terus menggelembung dengan respon kepentingan yang sama. Sastrawan, komunitas sastra, aktivis dan publik sastra di banyak kota Indonesia menyelenggarakan berbagai kegiatan penggalangan dana. Gerakan massif ini secara tak langsung merupakan cemooh warga negara terhadap abai dan lambannya negara, dalam hal ini Pemda DKI Jaya.  Pada malam Konser#Koinsastra yang berlangsung di Bentara Budaya Jakarta, 17 April, bahkan terkumpul dana Rp. 172 juta.

Jejaring sosial dunia maya agaknya telah menjadi bagian dari medan sosial sastra yang sebelumnya tak pernah terbayangkan.  Facebook dan Twitter seakan menjelma distributor puisi yang bekerja 24 jam, sehingga teks jadi begitu berlimpah, begitu pula blogg. Keberlimpahan teks jadi perayaan bersama bagi siapa pun, diproduksi, didistribusi, dan dikonsumi oleh siapa pun. Meski tak sedikit karya yang menarik, namun mobilitas dan keberlimpahan di kawasan yang oleh dan untuk siapapun ini seringkali pula terasa menyebabkan terjadinya inflasi puisi. Lebih dari itu, teks jadi milik bersama yang bisa berinteraksi dengan atau menjadi siapa dan apapun. Teks pun menjadi kerumunan dalam tabiatnya yang lain.  

Di antara sedikit yang menarik itu ialah apa yang lantas menjadi fenomena, seperti fiksi mini. Ia menjadi fenomena bukan hanya sekadar diidentifikasi dari kegairahan berbagai kalangan menuliskannya—mulai dari sastrawan sampai ibu rumah tangga dan anggota DPR—sebutlah, data bahwa  yang sejak dibuka Maret 2010 hingga Sabtu (15/1) di Twitter,  pesertanya ( followers) telah mencapai 56.448 orang[5]. Melainkan bagaimana tabiat jejaring sosial dunia maya, terutama Twitter, telah menjadi ruang bagi pencarian berbagai kemungkinan kreatif. Penciptaan narasi yang pendek—140 karakter—telah menjadi tantangan menarik setiap orang untuk menyiasati strategi penceritaan. Kelugasan, keringkasan, gagasan yang spontan, dan kecepatan menjadi kemutlakan di situ. Ia menjadi semacam taman imajinasi yang merangsang  banyak orang untuk memperoleh ide-ide segar[6].

Mungkin saja benar bahwa fenomena fiksimini bisa ditautkan dengan perkembangan yang ada di belakang, perihal gaya penulisan cerita mungil yang pernah dikerjakan oleh penyair Sapardi Joko Damono dan Tukang. Jauh ke belakang di Majalah Sastra Horison sekira periode tahun 1970-an gaya semacam ini pernah muncul. Perbedaannya kini lebih menyaran pada soal kependekan yang ditentukan oleh perkembangan dan tabiat media.

Seandainya boleh menyebut jejaring sosial sebagai media, maka ia bukan hanya sekadar kendaraan demi mendistribusikan teks, tapi juga yang turut menentukan tabiat dari teks. Di situ, kecepatan, keringkasan, dan kelugasan menjadi watak dari teks—merepresentasikan watak dari perkembangan teknologi komunikasi dan dinamika masyarakat urban.

Adaptasi sastra dan perkembangan teknologi semacam ini, diyakini hadir bukan untuk melayani kebosanan banyak orang seperti yang terasa dalam sastra media konvensional yang dipandang kering gagasan. Fenomena ini pun dianggap telah mengeluarkan sastra dari elitisme yang telah menjadi laten. Sastra di situ bisa ditulis oleh siapapun dan tentang keseharian apapun. Sepanjang tahun 2011 terasa benar bagaimana kegairahan fiksimini ini kian menjadi-jadi. Buku-buku antologi fiksimini pun diterbitkan, sebutlah Antologi Fiksi Mini (Penerbit Kosa Kata Kita,2011).

Kiranya kegairahan dan fenomena fiksmini telah menjadi inspirasi bagi para sastrawan yang menulis dalam bahasa Sunda di Jawa Barat, sehingga di jejaring sosial facebook mereka merancang group #fikmin Sunda# . Kependekan tidak terhukum oleh jumlah karakter, tapi umumnya tak lebih dari 200 karakter. Group ini menjadi kegairahan yang belum pernah terjadi dalam pertumbuhan sastra berbahasa Sunda. Setiap hari karya-karya hadir, mengurai elitisme dalam sastra Sunda sekaligus dihadirkan tanpa adanya kecemasan melakukan kesalahan pada undak-usuk (aturan atau tata bahasa) Sunda.            

Fiksimini dan kegairahannya telah menjadi oase yang menyenangkan di tengah ledakan teks dan infalasi puisi di jejaring sosial dunia maya semacam facebook.  Sebagai sebuah kegairahan yang belum teruji oleh waktu, agaknya terlalu pagi juga untuk membuat semacam prediksi, apakah fenomena ini akan melahirkan corak (genre) karya sastra berikutnya atau kelak akan surut dengan sendirinya.  Tapi satu hal yang jelas, fenomena ini telah menyemarakan keberagaman karya sastra dan sifat mediumnya.            

Di tahun 2011, ternyata PDS. H.B Jassin bukanlah satu-satunya kemalangan institusi kesusasteraan  yang diurusi oleh negara. Kemalangan yang sama tahun 2011 ini juga dialami oleh Balai Pustaka, jejak panjang 103 tahun silam yang ditinggalkan oleh Commissie voor de Volkslectuur (Komisi untuk Bacaan Rakyat"). Di tahun 1920-1930-an institusi ini ialah penanda penting untuk menyebut sejarah perkembangan sastra modern Indonesia, yang melahirkan generasi seperti Abdul Moeis, Nur Sutan Iskandar, hingga Marah Rusli. Statusnya sebagai perusahaan BUMN dianggap terus merugi sejak tahun 2005. Kebangkrutan perusahaan penerbitan dan percetakan yang dikelola oleh para PNS ini terkesan salah urus dan tak mampu bersaing.     

Kerumunan dan Perbincangan

Tahun 2011 adalah  tahun yang penuh pertemuan. Selain event yang memang sudah jadi agenda tahunan, seperti,  Temu Sastrawan 10 Propinsi Mitra Praja Utama (MPU VI) di Surabaya Jawa Timur, Temu Sastra Indonesia (TSI IV) di Ternate Maluku Utara, Korea-ASEAN Poets Literature Festival (KAPLF II) di Pekanbaru Riau, Ubud Writers and Readers Festival (UWRF) di Ubud Bali, Pertemuan Penyair Nusantara (PPN V) di Palembang Sumatera Selatan. Dua event sastra dua tahunan juga berlangsung tepat di tahun ini, yakni, Dialog Borneo XI di Samarinda Kalimantan Timur, Bienal Sastra Utan Kayu 2011 di Jakarta, dan Jakarta internasional Literature Festival (Jilfest) di Jakarta, serta Makassar Internasional Writing Festival di Makassar Sulawesi Selatan yang baru pertama kalinya diadakan.  

Sejumlah tema pun diusung dengan materi pertemuan yang berkisar pada pembacaan puisi, seminar, workshop, ceramah, atau ada juga perjalanan wisata. Kehadiran para sastrawan dan pengamat sastra dari berbagai negara pun turut menjadi bagian dari dinamika event pertemuan sastra tahun 2011.     

Tentu saja dinamika ini menarik. Sastrawan perlu bertemu dan melakukan perlawatan. Meluaskan pergaulannya. Saling berjumpa,  membaca karya, saling mengapresiasi, dan berbincang ihwal banyak hal demi menemukan pemikiran dan ide-ide baru. Sayangnya, seperti tahun-tahun sebelumnya, di tahun 2011, terutama pada event pertemuan sastra yang melibatkan pemerintah yang menjadi tuan rumah sebagai basis materialnya—selalu terkesan event tersebut masih juga dirancang untuk menjadi peristiwa semarak dengan pembesaran pada jumlah peserta.

Baik, marilah berbaik sangka. Bahwa pembesaran jumlah peserta itu tak ada hubungannya dengan tabiat birokrasi yang memang lebih doyan program-program dengan dana besar dan meraih sehingga terbukanya berbagai peluang dan kepentingan. Pembesaran jumlah peserta, kemeriahan event dengan  pembiayaan yang besar itu merupakan  cermin  kesadaran pemerintah atas pentingnya peran para sastrawan dan karya sastra. Sayangnya, keinginan untuk berbaik sangka itu terganggu oleh kenyataan yang sering berbanding terbalik.

Tingkat antusiasme pemerintah yang tinggi ketika kotanya menjadi tuan rumah pertemuan sastra—apalagi dilabeli “nasional” atau “internasional”—berbanding terbalik dengan watak kebijakan yang jauh dari meletakkan sastra dan kebudayaan sebagai sesuatu yang sama pentingnya dengan menjadi tuan rumah event pertemuan sastra.  Jangan-jangan, berbagai event pertemuan sastra itu yang telah menjadi bagian dari pergaulan sastra Indonesia itu melulu dipahami sebagai proyek oleh banyak pemda ketimbang seperti apa yang seringkali dipidatokan oleh Kepala Daerah mereka dalam seremonial pembukaan.     

Dengan pembesaran jumlah peserta dari hasil mekanisme seleksi yang longgar—yang diserahkan pada apa yang disebut kurator[7]---event pertemuan sastra semacam ini akhirnya tak lebih dari kerumunan. perjumpaan semacam itu seringkali bukan lagi menjadi perjumpaan pemikiran dan berbagai gagasan. Melainkan melulu kerumunan orang-orang yang biasanya tak pernah tahan duduk lama di ruang seminar dan diskusi. 

Umumnya mekanisme seleksi peserta menyerupai festival yang membaginya ke dalam dua kategori; peserta yang diundang, dan peserta yang diaudisi (seleksi karya). Tapi apapun, di antara keduanya berbagai event itu senantiasa menyaran pada jumlah peserta yang tak pernah kurang dari seratus orang—sebutlah, event Dialog Borneo XI yang diikuti 500 peserta atau Pertemuan Penyair Nusantara (PPN) V dengan 200 peserta.

Dan hasrat mengikuti atau diundang mengikuti pertemuan semacam ini demikian besar, terutama di kalangan sastrawan muda.  Malah tak jarang menimbulkan polemik yang dialamatkan pada parameter yang digunakan para kurator seperti yang sempat terjadi menjelang TSI IV Ternate.  Terpilih atau diundang mengikuti sebuah pertemuan sastra di situ seolah menjadi semacam legitimasi untuk memasuki pergaulan sastra yang lebih luas. Karena itulah, dengan bekal undangan, mereka rela mencari sponsor untuk menanggung biaya transportasi yang tak disediakan panitia. Bahkan, di sebuah kampus di Bandung, ketika  karya empat penyairnya terpilih mengikuti TSI IV Ternate, beredarlah kencleng demi mengongkosi keberangkatan mereka ke Ternate—namanya “Kencleng Sastra”.  Tapi akhirnya tersiar kabar betapa dosen sekaligus penyair yang jadi senior mereka di kampus itu mengeluh, pasalnya keempat penyair tersebut sepulangnya dari Ternate tak membawa “oleh-oleh” wacana apapun, selain sekumpulan cerita penuh yang hahahihi... .     

Sepanjang tahun 2011 ada lima pertemuan sastra yang dibiayai pemerintah.  Seluruhnya berangkat dengan tema dan para narasumber yang menarik.  Sebutlah, ihwal multikulturalisme yang muncul dalam Temu Sastra MPU V di Surabaya dan Jilfest 2 di Jakarta.  Sayangnya karena tak ada Term of Reference (ToR) yang jelas dari panitia penyelenggara, di Surabaya perbincangan tentang tema ini tidak menemukan fokus yang tegas. Sementara di Jilfest 2 Jakarta, perbincangan lumayan menarik. Tema diperluas ke berbagai soal, meski tidak menukik pada bagaimana multikulturalisme hadir dalam karya sastra Indonesia mutakhir, terlebih dengan kehadiran narasumber dari Thailand, Brunai Darusslam, dan Jerman. Demikian pula dengan apa yang ditawarkan dalam perbincangan di TSI IV Ternate perihal sastra Indonesia abad 21.

Lebih dari itu, tema atau topik yang diusung cenderung tidak menating telaah yang sifatnya spesifik. Dari berbagai event pertemuan sastra, nyaris tak pernah diperoleh pandangan atau telaah yang secara spesifik melakukan pembacaan pada perkembangan puisi, cerpen, atau novel. Seluruhnya selalu berangkat dari fenomena yang umum. Jika pun ada yang berbeda, maka itu hanya merujuk pada satu karya, misalnya, Bramantyo yang mengusung novel “Supernova” Dewi Lestari di TSI IV Ternate atau pembacaan Zen Hae atas karya pengarang Betawi Firman Muntaco di MPU V Surabaya.

Hal yang sama sebenarnya juga terjadi pada event pertemuan sastra non plat merah. Meski begitu, event pertemuan sastra semacam ini berlangsung dengan konsep rancangan yang tidak berorientasi pada pembesaran jumlah peserta, lewat mekanisme yang lumayan ketat, sehingga kualitas pertemuan dan perbincangan di dalamnya bukanlah melulu kerumunan.

Merentang Kelambu Para Tokoh

Meski demikian, pada tahun 2011 dinamika sastra Indonesia masih menyisakan adanya peristiwa sastra dengan perbincangan yang jauh dari kesan selebrasi. Orang-orang diundang untuk datang berbincang. Bertemu dengan karya sastra dan berdialog dengan pemikiran yang ada di di dalamnya. Program ini tampaknya ingin menyusun dan menggali kembali diskursus pemikiran di hadapan karya-karya sejumlah sastrawan yang dianggap sebagai penanda penting dalam perkembangan sastra Indonesia. Inilah program Komite Sastra Dewan Kesenian jakarta (DKJ) yang telah berlangsung sejak tahun 2010, dengan label Bincang Tokoh. Untuk tahun 2011 tokoh yang dijadikan subjek perbincangan ialah Budi Darma, NH. Dini, dan Goenawan Mohamad (GM).

Sedangkan Komunitas Salihara memberi penanda khusus demi peringatan 70 tahun (GM) lewat program Satu Hari untuk Goenawan Mohamad (3 Agustus 2011) dengan ceramah Nirwan Dewanto. Demikian pula program Komunitas Salihara yang lain, Pemikiran Keindonesiaan dalam Sastra (13 September). Program ini merupakan serial ceramah yang sepenuhnya yang menampilkan Ignas Kleiden, Sapardi Djoko Damono, Manneke Budiman, dan Arif Bagus Prasetyo. Dari keempat ceramah itu keindonesiaan dan sastra kembali ditautkan diperiksan, mulai dari Pramodya sampai karya para sastrawan perempuan. 

Beberapa pendekatan terhadap karya yang menjadi pokok perbincangan memperlihatkan upaya para narasumber untuk melakukan berbagai strategi pendekatan terhadap teks sastrawan, seraya meneguhkan posisinya dalam jagat sastra Indonesia hari ini.  Hubungan antara teks dan biografi sastrawan umumnya memang tak terhindari, namun kontruksi hubungan itu diletakkan dalam siasat pembacaan demi memperluas ruang di mana sastrawan telah diposisikan sebelumnya. Sebutlah, Ibnu Wahyudi yang tampil sebagai pembicara dalam Bincang Tokoh yang membedah karya-karya penerima Penghargaan Achad Bakrie 2011,  N.H Dini—yang berangkat dari pelabelan yang dikenakan pada karya-karyanya, yakni, perempuan dan pemberontakan.   

Demikian pula dengan Bagus Takwim ketika ia tampil sebagai pembicara untuk membincangkan Budi Darma—yang mengklaim bahwa hasrat kepengarangan Budi Darma adalah seorang modernis, yakni, hasrat untuk menghadirkan kebaruan dalam sastra Indonesia. Sedangkan  puisi-puisi Goenawan Mohamad di mata penyair F. Rahardi ditamsilkan dengan  “perangkap tikus” karena tingkat kerumitan dan orang gagal memasuki puisi-puisinya.

Buku-buku di Atas Ranjang

Berbeda dengan Sutarji Calzoem Bachri yang di tahun 2011 berusia sama dengannya—usia 70 tahun GM ditandai dengan terbitnya dua kumpulan puisi sekaligus, 70 Puisi dan Don Quixote, juga tiga buku kumpulan esai— Tokoh dan Pokok, Marxisme, Kesenian, Pembebasan dan  Indonesia/Proses.  Tak cukup hanya itu, penerbitan kelima buku ini lantas dilengkapi dengan dua agenda perbincangan ihwal dirinya—Bincang Tokoh yang diselenggarakan DKJ dan program Komunitas Salihara Sebuah Hari untuk Goenawan Mohamad.

Lepas dari hubungannya sebagai penanda dari perayaan sebuah ulang-tahun, dua kumpulan puisi Goenawan Mohamad tetaplah membawa daya pikat tersendiri dalam posisinya sebagai penyair liris. Kedua  buku itu sekali lagi menjelaskan bagaimana ia merawat kesetiaannya pada konsepsi puisi liris yang merengkuh berbagai penemuan dan penjelajahan tema.   Sedang ketiga buku kumpulan esainya  memperlihatkan sejumlah gagasan dan cara pandangnya terhadap sejarah, identitas dalam konteks keindonesiaan, dan hubungan seni serta peran Marxisme dalam membangun hasrat kebebasan. Dibanding sastrawan segenerasinya, tampaknya hanya Goenawan yang masih menunjukkan “santan” dan produktivitasnya—yang terus mengganggu dan membuat cemburu para sastrawan generasi di bawahnya.

Selain dua buku kumpulan puisi Goenawan Mohamad, di tahun 2011 sejumlah sastrawan juga menerbitkan buku terbarunya. Sebutlah, kumpulan Lumbung Perjumpaan (Agus R. Sarjono), Lalu Aku (Radhar Panca Dahana), Tulisan pada Tembok (Acep Zamzam Noor),  Pembuangan Phoenix (A. Muttaqien) atau novel Ratna Sarumpaet dengan novel pertamanya Maluku Kobaran Cintaku,  Tantri, Perempuan yang Bercerita itu (Cok Sawitri), Hotel Prodeo (Remy Silado), Tak Ada Santo dari Sirkus (Seno Joko Suyono), serta novel terbaru Ayu Utami  Manjali dan Cakrabirawa, dan kumpulan cerpen pertama penyair Mardi Luhung, Aku Jatuh Cinta Lagi pada Istriku.

Di luar nama-nama itu tentu saja terdapat sekian banyak karya sastra yang diterbitkan, diluncurkan, dan didiskusikan di berbagai kota. Termasuk antologi bersama yang diterbitkan sebagai penanda dari event pertemuan sastra, seperti, TSI IV Ternate IV yang menerbitkan Tuah Tara No Ate dan Risalah dari TernateIbu Kota Keberaksaraan (Jilfest 2 Jakarta); Akulah Musi (PPN V Palembang). Bahkan, KAPLF II Pekanbaru menerbitkan langsung tiga buku,  Sound of Asia, Malay as World Haritage on State, dan BecomingAfterSeoul. Demikian pula dengan pertemuan Dialog Borneo yang menerbitkan buku  Kalimantan Timur dalam Sastra Indonesia, Kalimantan dalam Prosa Indonesia, dan Kalimantan dalam Puisi Indonesia.

Seperti tahun sebelumnya, secara umum tak ada kumpulan puisi, novel, atau kumpulan cerpen yang menonjol dalam perbincangan sastra Indonesia 2011.  Tapi itu bukanlah berarti secara kualitas tak ada karya yang menarik. Hanya saja ruang perbincangan sastra Indonesia seolah tengah mengalami fragmentasi. Ia mengerucut menjadi pecahan dan ruang-ruang kecil yang saling berkejaran dan menimbun. Nyaris tak ada perbincangan yang mengendap.  Bahkan tidak juga untuk perbincangan ihwal kumpulan puisi Buli-buli Lima Kaki (Nirwan Dewanto), Perempuan yang Dihapus Namanya” (Avianti Armand), atau novel “Lampuki” (Arafat Nur)—yang ketiganya memenangi Khatulistiwa Award 2011. Khatulistiwa Award akhirnya hanya terkesan menjadi rutinitas tahunan untuk mencari para pemenang. Demikian pula dengan karya-karya pemenang Hadiah Sastra Rancage 2011 yang khusus memberi penghargaan pada sastra berbahasa daerah (Sunda, Jawa, dan Bali).  

Alasan sebuah karya menjadi pemenang akhirnya hanya berhenti pada pertanggungjawaban dewan juri. Jika pun ada, maka biasanya tak lebih dari yang terpampang di halaman  resensi buku.  Hal yang sama juga terjadi pada tiga buku yang penerima Penghargaan Pusat Bahasa 2011, yakni, kumpulan puisi Kelenjar Laut (D.Zawawi Imron), 9 Negeri Nadira (Leila S Chudori), dan Mahabbah Rindu (Abidah El Khalieqy).

Hal ini tak bisa disangkal bersebab dari tak adanya perkembangan kritik sastra Seperti tahun-tahun. Bagaimana Nirwan Dewanto memperlakukan bahasa dalam “Buli-buli Lima Kaki”, hakikat eksistensi perempuan dalam jagat kitab suci yang direpsensentasikan Avianti Armad lewat Perempuan yang Dihapus Namanya, atau situasi penuh ketegangan dalam masa konflik Aceh yang dituturkan lewat bangun perwatakan seorang guru ngaji (Tengku) yang cerdas sebagaimana Arafat Nur menyampainya lewat Lampuki—rasanya bukan lagi alasan bagi para kritikus untuk kembali mengulang alasannya yang kini terasa klise; bahwa kritik sastra sepi karena tak ada karya yang menarik untuk ditulis.

Maka peran kritikus pun diambil oleh selera para redaktur halaman budaya suratkabar dan majalah sastra,  tim penyeleksi peserta pertemuan sastra, atau dewan juri anugerah sastra seperti Khatulistiwa Award. Jika pun kritik masih diperlukan, maka itu tak lebih dari pesanan penulis atau penerbit—kritik kata pengantar atau kata penutup buku, atau komentar di endorsmen. Karena itu jangan bandingkan jumlah penerbitan buku karya sastra dengan buku kumpulan esai atau yang bisa dikategorikan sebagai kritik sastra.

Kehadiran Jurnal Kritik yang diterbitkan oleh The Intercultural Institut dan Komodo Books yang diluncurkan di PDS. H.B Jassin, 3 Mei 2011, seolah hendak memberi semacam harapan pada situasi kritik sastra Indonesia. Hanya saja pertanyaan apakah jurnal ini akan mampu bertahan lama, agaknya menjadi pesimisme yang lumrah. Tapi meminjam ungkapan pengamat politik Eep Saefullah Fatah— yang tampil sebagai pengulas dalam peluncuran jurnal itu—Lebih baik berhenti di tengah jalan ketimbang tak pernah memulai.

Dari penerbit yang sama juga muncul Jurnal Sajak yang dikelola oleh Jamal D. Rahman, Acep Zamzam Noor, Al Azhar, Agus R. Sarjono, Ahmad Syubbanuddin Alwy, Berthold Damshäuser. Kehadiran kedua jurnal ini tampaknya ingin mengisi kekosongan yang ditinggalkan  oleh Jurnal Kalam, Jurnal Cerpen, atau Jurnal Puisi. Jurnal Sajak hadir dengan birokrasi keredaksian yang tak lazim demi keinginan memutuskan relasi antara puisi dan penyairnya. Puisi, dengan begitu, dihadapi dalam statusnya yang anonim.

Peran komunitas sastra di berbagai kota turut menjadi makin bagian penting dari dinamika sastra Indonesia 2011. Pencantuman nama komunitas dalam biodata para sastrawan (muda) seakan menjelaskan kedudukan komunitas dalam proses kreatifnya.  Melalui militansi komunitas inilah sebenarnya daya hidup sastra terus tumbuh di berbagai kota, sebutlah Rumah Dunia (Banten), Tikar Pandan (Banda Aceh), Majelis Sastra Bandung (Bandung)—untuk sekadar menyebut beberapa nama.

Keberadaan dan dinamika komunitas juga yang bertaut erat dengan peran jejaring sosial dunia maya. Jejaring sosial dunia maya, telah membawa semacam ekspansi publik sastra yang lebih beragam. Jika sebelumnya kampus selalu menjadi basis pertumbuhan komunitas-komunitas sastra dengan publik yang sangat terbatas, kini komunitas satra tak lagi hanya sekadar itu. Komunitas sastra bertumbuhan di luar kampus, dengan publik yang lebih beragam.   

Yang Lahir dan Yang Meninggalkan Ranjang

Kehadiran nama-nama baru, mulai membayangkan sejumlah harapan.  Karya-karya mereka setidaknya memperlihatkan usaha keras untuk tidak sekadar hadir begitu saja dalam pergaulan sastra Indonesia, melulu menjadi kerumunan respien di tengah style tradisi pengucapan yang telah ada dan menjadi keseragaman.  Ini, misalnya, bisa terasa dalam beberapa cerpen karya Beni Arnas (Palembang) dan Tonny Lesmana (Tasikmalaya), atau puisi Esha Tegar Putra (Padang), Mugya Syahreza Faisal (Bandung), atau Agit Yogi Subandi (Lampung), atau Arafat Nur (Lokhemawe Aceh).        

Tentu saja tulisan ini kelewat ringkas untuk membayangkan seluruh perkembangan dan dinamika sastra Indonesia sepanjang 365 hari kemarin. Meski begitu tulisan ini tak hendak melupakan mereka yang telah pulang lebih dulu di tahun 2011, seraya mengucapkan terima kasih atas seluruh jejak mereka pada sastra dan kebudayaan Indonesia; wartawan dan cerpenis Rosihan Anwar—lasykar terakhir Angkatan 45—cerpenis dan novelis Ratna Indrasari Ibrahim, penulis drama  Wisran Hadi dan  sastrawan Syubah Asa menyusul novelis Titi Said, sebelum diujung tahun 2011 (25 Desember 2011) cerpenis dan novelis Lan Fang pun berpulang. Kita pernah hidup bersama mereka, di atas ranjang sastra Indonesia yang kini spreinya lebih panjang dari kelambu ini. **

Bandung, 22 Desember 2011



SUMBER: Kaleidoskop Seni Indonesia 2011 Dewan Kesenian Jakarta (Januari 2012).



[1] . Lihat Ilham Q. Moehiddin  “Sejumlah Temuan dalam Telisik Literasi atas Polemik Plagiarisme Taufiq Islmail (http://www.facebook/notes/ilham-q-moehiddin) yang kembali dimuat dalam boemipoetra, edisi Januari-Juli 2011 
[2] . Lihat Martin Aleida “Surat Dunia Maya Untuk Ajp Rosidi”, boemipoetra, ibid.
[3].  Tuduhan bahwa Taufiq Ismail melakukan penjiplakan memang muncul kali pertama di akun facebook Bramantyo Prijosusilo, seniman anggota Bengkel Teater Rendra  yang kemudian mendapat respon dari banyak pihak yang umumnya menyerang Taufiq.
[4] . Lihat boemiputra,ibid
[5] .Penyegaran dari Dunia Maya, Kompas  23 Januari 2011 


                           

6. Agus Noor, Kompas ibid
[7] . Saya rada-rada geli dengan peristilahan “kurator” yang ujug-ujug saja digunakan dalam bebagai event sastra. Paling tidak merujuk pada berbagai kamus, peristilahan “kurator” lebih menekan pada orang/institusi yang bekerja mengurus atau mengawasi hal ihwal yang berhubungan dengan benda. Baik benda koleksi (perpustakaan, museum, galeri seni, pameran seni rupa) atau harta benda; atau pengawas sebuah lembaga pendidikan yang dikenal dengan Dewan Kurator. Entah kenapa, istilah yang muncul di ranah seni rupa ini begitu saja dipakai dalam event-event sastra. Ini jadi aneh, karena sastrawan yang bergelut dengan bahasa tak mampu menciptakan peristilahan lain yang lebih tepat ketimbang ikut memakai peristilahan yang kurang tepat semacam ini. Tapi untuk pertama kalinya tahun 2011 ini, dalam event Utan Kayu Salihara International Literary Biennale, peristilahan “kurator” telah diganti menjadi “Penyunting”.  

3 komentar:

  1. Menarik. Terima kasih share-nya, Mas.

    BalasHapus
  2. saya sudah membacanya, terima kasih sebuah kritik yang sangat membangun, "Al insanu makanul khotto wa nisyan" semoga saya dan teman-teman bisa lebih baik dan lebih baik lagi. Terima Kasih, untuk Bapak Ahda Imran. namun saya akan lebih menghargai tulisan ini, jika bapak menanyakan apa yang sudah kami lakukan sepulang dari ternate, bukan menghayal karena ini sifatnya non fiksi bukan fiksi.

    BalasHapus
    Balasan
    1. Herton,tolong saya ditunjukkan di bagian manakah saya sedang mengkhayal dalam tulisan ini?

      Hapus