KERUSUHAN terjadi di Kerajaan Hastina. Bukan lagi perkara agar kerajaan itu dikembalikan pada Pandawa, lima bersaudara putera Pandu yang berhak atas kerajaan tersebut.
Tapi, gara-gara rencana pembangunan gedung lilin Bale Sigala-gala yang dirancang oleh Durna dan Sengkuni, sebagai bagian dari strategi untuk membunuh Pandawa. Pembangunan gedung itu ditentang oleh Durmagati.
Ia menilai pembangunan gedung mewah itu adalah pemborosan dan penuh dengan muslihat korupsi. Sikap Durmagati ini tentu saja tidak disukai oleh Durna dan Sengkuni sehingga keduanya memfitnah Durmagati. Ia difitnah sebagai provokator berbagai unjuk rasa yang menentang rencana pembangunan gedung super mewah tersebut.
Situasi makin tak menentu ketika Durmagati ditemukan mati tergantung. Keadaan ini membuat Raja Suyudana gelisah, apalagi para lelembut, jin, setan, peri, dan berbagai mahluk yang harus digusur demi pembangunan gedung mewah itu bersiap melakukan pemberontakan. Hastina makin gonjang ganjing. Saat itulah Durgati terbangun dari tidurnya.
Begitulah sajian Paguyuban Wayang Kartun Yogjakarta dengan lakon “Durmagati Nglindur” berlangsung di kampus Itenas Bandung, Jumat (29/4), sebagai bagian dari rangkaian penyelenggaraan Bandung Wayang Festival (BWF) 2011. Pertunjukan wayang dengan media kulit, kartun, dan multimedia, ini hadir dengan pilihan tema yang aktual serta suasana pertunjukan yang komunikatif, dan penuh humor yang kritis atas situasi Indonesia hari ini.
Sebelumnya juga tampil wayang topeng yang mengangkat kisah tragis nasib seorang buruh perempuan (TKW) di negeri asing. Pertunjukan wayang kontomporer ini menggunakan instrumen gitar dan tarian. Juga penampilan wayang klithik yang mengangkat membawakan lakon “Gunungsari Krama”
Memulainya dari Bale Pare Kota Baru Parahyangan, Jumat (22/4) dan berakhir di kampus Itenas, Sabtu (30/4), BWF 2011 mengusung wayang dalam berbagai ekspresi dan semangat keberagaman. Selain di Bale Pare Kota Mandiri Parahyangan dan Itenas, festival ini juga berlangsung di Unpad dan Toko You Bandung.
Tak hanya keberagaman dalam jenisnya sebagai wayang dan daerah muasalnya, tapi juga keberagaman bentuk olahan media, sajian, bahkan juga gaya pertunjukkannya. Lebih dari itu festival yang melibatkan 300 seniman dari berbagai kota ini, merupakan semacam ajang “pesta” yang mempertemukan berbagai strategi dalam memaknai tradisi dalam konteks wayang.
Strategi pemaknaan yang beragam ini memosisikan wayang sebagai ruang kreatif yang menyediakan berbagai kemungkinan kreatif para seniman dari berbagai generasi. Hal ini sebenarnya sudah terasa sejak acara pembukaan dengan pertunjukan Rampak Dalang sajian para siswa SMKN 10 Bandung. Demikian pula dengan apa yang dipamerkan di ruang galeri, ketika wayang hadir dalam bentuknya sebagai karya rupa.
**
MAKA dalam festival ini bertemulah berbagai inovasi yang membuat wayang hadir sebagai subjek tradisi yang hidup, dengan ungkapan-ungkapan komunikasinya yang berbeda. Selama sepekan publik tak hanya diajak menyaksikan Wayang Cepak, Wayang Topeng (Indramayu), Wayang Klithik, Wayang Kulit (Surakarta dan Yogjakarta), Wayang Golek (Bandung). Melainkan selama sepekan itu publik juga disuguhi panorama berikutnya dari bagaimana para seniman yang terus menggali wayang sebagai sumber kreatifnya.
Mengolaborasikan dan mengolahnya dengan beragam kemungkinan demi menjawab perkembangan waktu dan ruang kekinian. Inilah wayang-wayang kontemporer, sebagaimana yang dihadirkan oleh Wayang Bocor, Wayang Tavip, Wayang Kronsong, Wayang Mesin, Wayang Kartun, Wayang Beber Kota, atau Wayang Komik.
Wayang pun akhirnya tak hanya menjadi milik para dalang, pengrawit, atau pengrajin wayang. Tapi juga bisa dijamah dan dimasuki oleh seorang perupa seperti Krisna Murti dengan “WayangMachine”-nya. Wayang ini tampil sebagai video instalasi dan telah dipamerkan di sejumlah negara.
Demikian pula dengan perupa Anunsiata Sriabda yang mengolah “Sinta Obong” dalam wayang animasi. Sedangkan paduan wayang dan ketoprak dengan dagelan-dagelam Mataram serta musik dangdut yang segar disuguhkan oleh Wayang Bocor. Demikian pula dengan Wayang Kroncong. Jenis wayang kontemporer yang menjadi juara umum dalam festival wayang dunia di Vietnam tahun 2010 ini merupakan paduan menarik dari sejumlah penari dan aktor teater.
Wayang sebagai genre seni, tampaknya memang merupakan antitesis dari apa yang diajarkan oleh seni-seni modern. Pertunjukan wayang mengurai seluruh batas genre seni yang oleh seni modern secara tertib diletakkan dalam kotaknya masing-masing. Pertunjukan wayang memang mengurai batas antara seni tari, seni musik (karawitan), seni suara (sinden), seni peran, atau seni rupa. Seluruhnya adalah keberagaman yang hadir sebagai sebuah ensemble, sebagai sebuah jagat.
Meski begitu, seperti juga tabiatnya seni tradisi, wayang bukanlah jagat yang tertutup. Improvisasi pada berbagai pencarian dan kemungkinan kreatif menjadi sesuatu yang niscaya. Paling tidak inilah yang sayup-sayup hadir dalam BWF 2011. Pertemuan antara wayang tradisi dan wayang kontemporer tak hanya menjelaskan konteks waktu dan ruangnya. Tapi juga seolah hendak menerangkan bahwa wayang bisa dihampiri dari berbagai strategi pemaknaannya, tanpa kehilangan identitasnya sebagai wayang.
Termasuk ketika wayang dengan nyaman bersentuhan dengan dunia di luar jagat dirinya selama ini, yakni, budaya popular. Mulai dari musik dangdut, keroncong, hingga jimbe, gitar, sampai komputer, video, serta perangkat budaya popular lainnya. Tubuh wayang pun tak hanya lagi menjadi milik para dalang, tapi juga milik para aktor, perupa, penari, dan komikus.
Tak hanya dalam format pertunjukan, pameran berbagai jenis wayang di Galeri Bale Pare agaknya cukup membuktikan hal itu. Pameran ini menghadirkan wayang sebagai karya seni tiga dan dua dimensi. Berbagai bentuk dan jenis wayang hadir lebih dari sekadar pembuktikaan bagaimana festival ini melakukan inventarisasi. Melainkan juga bagaimana wayang menawarkan berbagai keragaman sekaligus kemungkinan kreatif dengan berbagai material dan media.
**
SEBAGAI sebuah festival, tidaklah berlebihan jika menyebut bahwa BWF 2011 merupakan festival wayang terbesar yang pernah ada. Festival ini menggelar 50 pertunjukan. Mulai dari wayang tradisi sampai kontemporer. Juga pameran wayang, dan workshop. Menurut Wakil Direktur Panitia Nia Paramitha Antony, bila seluruh festival diakomodir mungkin BWF akan kebanjiran peserta lebih dari 100 pertunjukan dari berbagai negara. Jika seluruh peserta ditampung, maka panitia harus menyediakan akomodasi lebih dari 600 seniman.
Festival yang diselenggarakan oleh Kai Sadhana dan Narada Foundation serta kerjasama sejumlah komunitas pewayangan ini, memang tidak berangkat dari semacam kurasi tertentu untuk menyaring peserta. Menurut Direktur Pertunjukan Bram Palgunadi festival ini menggunakan pertimbangan yang longgar. “Yang penting mereka tampil dan panitia memang tidak menyediakan dana selain ruang pertunjukan. Akomodasi, transportasi semua peserta yang menanggung,” ujar Bram Palgunadi.
Meski demikian respon peserta dari berbagai daerah, bahkan juga dari Jepang, Guetemala, Prancis, dan Rusia, tetap tak mengurangi mereka tampil dalam festival ini. Sedang respon publik Bandung sendiri hingga hari ketujuh pelaksaan festival, seperti yang terlihat di Gedung Serba Guna kampus Itenas Bandung ketika digelarnya pertunjukan Wayang Klitihik (di mana jumlah pengrawit dan sinden hampir sama banyaknya dengan jumlah penoton), menurut Bram Palgunadi, tidaklah sebesar respon dari muncul dari berbagai negara.
Sejumlah pertunjukan di festival ini memang disiarkan secara langsung via internet ke seluruh dunia melalui website http//:itv,itenas.ac.id.
Kenyataan ini mau tak memang sedikit mencemaskan, sebagaimana kecemasan kita pada keberlangsungan hidup Wayang Cepak Indramayu yang terancam punah. Meski begitu masih ada ruang optimisme jika memerhatikan respon publik pada wayang-wayang kontemporer yang hadir dengan bahasa budaya popular.
Tapi apapun, BWF 2011 dengan keberagaman wayang yang diusungnya berhasil makin mempertegaskan pemaknaan dan pengertian wayang sebagai bayang. Bayang dari keberagaman kita sebagai bangsa, sekaligus bayang dari kecemasan dan optimisme kita sebagai bangsa pada sesuatu yang kelak punah dan optimisme yang menunggu di depan. (Ahda Imran)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar