PARA penari itu menampilkan komposisi gerak lembut yang melukiskan suasana musim gugur. Mereka adalah perempuan-perempuan dengan tubuh langsing dan rambut tergerai, mengenakan gaun panjang berwarna hijau yang lembut. Sebuah opera China yang syahdu mengiringi tarian mereka. Antara tarian di panggung dan opera seolah terpisah, tapi sekaligus juga menjadi kesatuan. Dan pada sebuah adegan, ketika musik memperdengarkan nada tinggi, tiba-tiba latar panggung menampilkan citraan (gambar) daun-daun hijau yang berjatuhan.
Kecanggihan multimedia dalam format pertunjujan tiga dimensi itu, membuat citraan daun yang berguguran seolah bergerak ke depan. Daun-daun hijau yang berlepasan lembut terasa amat puitis. Lalu di antara daun-daun itu tampak sepuluh orang perempuan melayang di udara dengan selendang ungu yang lembut.
Mereka adalah para bidadari yang terbang di udara musim gugur, di antara daun-daun yang berjatuhan dan hembusan suara angin. Sepuluh bidadari dengan selendang ungu itu terus melayang di udara, dan tak ayal lagi membuat penonton menarik nafas. Tali yang mengikat tubuh mereka nyaris tak nampak.
Sebuah panorama visual yang tak terduga. Puitis dan menawarkan berbagai bayangan imajinasi yang kaya ihwal kesatuan manusia, alam, dan para para mambang (peri) dalam mitologi China klasik. Dan itu tentu saja itu bukan lantaran kecanggihan tata panggung mereka, melainkan juga pada bagaimana konsep pertunjukan itu dikemas sehingga menghadirkan peristiwa pertunjukan yang menakjubkan sekaligus mampu mendedahkan kesadaran di baliknya.
Tapi itu hanya satu dari sejumlah adegan spektakuler yang disuguhkan dalam pertunjukan tari yang berlangsung di OCT East Theatre Shenzhen China, Kamis (17/6). Sejumlah suguhan lainnya membawa penonton ke dalam berbaga panorama visual yang mencengangkan. Tata pentas dengan teknologi canggih telah membuat panggung bukan melulu sebuah ruang mati. Melainkan ruang yang setiap incinya leluasa mengubah dirinya secara hidrolik yang menyimpan banyak kejutan. Bahkan sampai pada batas-batas yang tak terduga sebagaimana imajinasi itu sendiri.
Dengan kata lain, panggung menjadi konstruksi yang memberi roh pada imajinasi pertunjukan sebagaimana juga teknik pencahayaan dan efek multimedia. Berbagai momen yang fantastik disuguhkan seolah tak berjarak dengan dunia nyata. Sebutlah, ketika dalam sebuah nomor empat orang penari secara perlahan lenyap ke lantai panggung dengan siluet burung-burung putih yang beterbangan di latar panggung, sedang di udara sepasang kekasih terbang mengelilingi panggung dengan menggunakan seutas selendang. Seluruh visual itu menyuguhkan perpaduan simbolik yang menjelma kesatuan.
Demikian pula di bagian akhir yang menjadi klimaksnya, ketika latar panggung menampilkan air terjun dengan suara air yang bergemuruh. Para penari berdiri di bidang yang menyerupai tebing. Tiba-tiba saja, kain besar penutup kaca di kedua sisi gedung terbuka. Tampaklah dinding kaca dan air terjun yang telah mengurung gedung pertunjukan dengan para pendekar Shaolin yang berdiri tegap menatap ke arah penonton. Air terjun yang ada di latar panggung tiba-tiba hadir secara nyata. Jarak antara realitas panggung sebagai tontonan dan dunia nyata di luar panggung, di situ mendadak terurai. Tak seorang pun penonton yang sanggup melakukan hal lain selain bertepuk-tangan sambil terbengong-bengong!
**
TAK hanya di OCT East Theatre, suguhan tarian tradisional China ini pun terdapat di dua gedung teater lainnya, yakni, Impresion Theatre dan Phoenix Plaza. Kedua gedung teater dengan tiga ribu tempat duduk ini berada di kawasan wisata Splendid China (China Folk Culture Villages) Shenzhen. Di kedua tempat atau di tiga gedung teater inilah China memamerkan seluruh rangkaian sejarah kebudayaan yang dimilikinya lewat tarian rakyat (folk dance) yang dikemas dengan konsep panggung pertunjukan modern.
Lebih dari itu, lewat ikon kupu-kupu yang selalu tampil dalam berbagai pertunjukan, negara komunis yang karena ketertutupannya dulu pernah berjuluk “negara tirai bambu” ini, tampaknya tengah memerlihatkan pada dunia bahwa mereka kini telah keluar dari kepompong ideologi yang tertutup, dan telah menjelma kupu-kupu. Kupu-kupu yang leluasa terbang ke mana pun, menyerap dan mengambil berbagai tradisi di luar dirinya untuk memerkaya identitas tradisi mereka bagi menjawab kekinian, tanpa kehilangan tradisi yang telah menjadi milik mereka.
Dan tradisi itu adalah komunisme yang dipadu dengan etos konfusianisme. Dengan paduannya keduanya inilah Deng Xiaoping secara perlahan mulai membuka tirai bambu yang menutupi China semasa kepemimpinan Mao Zedong. “Lompatan jauh ke depan” yang menjadi selalu didengungkannya menjadi utopia bersama seluruh rakyat China selama kepemimpinan Deng, terutama dalam melakukan reformasi ekonomi.
Tapi Deng juga tak gegabah, lompatan ke depan itu dibarenginya dengan perhitungan dan proses yang berpijak pada modal kultural yang dimiliki China sejak ribuan tahun. Ungkapan Deng yang terkenal “Membangun China seperti menyeberangi sungai dengan merasakan bebatuan yang terinjak kaki”, agaknya bisa dibaca tak hanya dalam konteks pembangunan ekonomi China, tapi bisa dimaknai sebagai sebuah strategi kebudayaan yang ampuh, yang menjadi roh dari segala perubahan yang dilakukan.
Pertunjukan di ketiga gedung teater tersebut seluruhnya memang berfokus pada penggalan sejarah perjalanan China. Dari mulai masa purba, tumbuhnya berbagai kerajaan, pertempuran-pertempuran, dunia para pendekar, keindahan alam, mitologi, dunia modern, budaya industri, hingga yang sifatnya furistik. Seluruhnya dikemas dalam tari rakyat atau tarian tradisi yang dikemas dengan konsep pertunjukan modern. Dan karena pertunjukan ini memang diniatkan sebagai konsumsi turistik, maka keindahan visual menjadi faktor yang amat menonjol.
Terlebih lagi keindahan visual ini dihadirkan bukan melulu hanya mengandalkan segala sesuatu yang gemerlap, melainkan juga penuh imajinasi. Bukan hanya tata panggung dan pencahayaan, tapi juga kostum para penari. Meski seluruh pertunjukan bersandar pada khazanah tarian tradisional China, tapi kostum para penari yang gemerlap itu menampilkan pemandangan yang ganjil dan memukau. Dari mulai para penari dengan burung merak di atas kepalanya, tubuh yang diselubungi berbagai jumbai-jumbai, tubuh yang menjadi pohon, menjadi cangkir, sayap kupu-kupu, dan kipas. Tapi seluruhnya tetaplah tidak lepas dari karakteristik identitasnya yang membawa ingatan orang pada Tiongkok. Kostum-kostum itu tampaknya memang tetap berangkat dari pola desain pakaian tradisonal China yang dikembangkan dengan berbagai imajinasi yang mengejutkan.
Demikian pula dengan tata cahaya, termasuk penggunaan sinar laser. Dalam satu adegan yang mengisahkan pertempuran dengan ledakan suara meriam, misalnya, mendadak panggung panggung gelap. Tapi tiba-tiba sinar laser ditembakkan dari panggung ke udara yang penuh asap, menciptakan lorong asap berwarna biru di atas kepala penonton. Efek asap membuat lorong biru itu menggeliat lembut, sedang di ujung lorong asap itu tampak sebuah lingkaran merah. Dalam lingkaran merah itulah siluet tubuh seorang perempuan dengan rambut tergerai menari dalam nyanyian yang pilu dan puitis.
Jika ada satu hal yang disayangkan, maka itu adalah penjelasan ihwal narasi di balik tarian. Narasi hanya disampaikan lewat nyanyian opera atau oleh narator dalam bahasa China. Tak ada semacam katalog yang secara khusus bisa mengantar penonton masuk ke dalam setiap suguhan, kecuali running teks di sebuah sudut menjelaskan bagian atau nomor-nomor tarian. Tapi tampaknya hal itu menjadi tidak penting benar. Keindahan visual, tata panggung, pencahayaan, kostum, dan seluruh tarian yang kolosal itu, telah membuat seluruh narasi menjadi tidak lagi penting. Tapi yang jelas seluruh narasi itu bertutur ihwal sejarah kebudayaan China, masyarakat, etos, mitologi, dan keberbagaiannya.
**
MESKI penyelenggara seluruh pertunjukan melibatkan swasta, tapi di balik seluruh pesona tarian yang dimainkan oleh ribuan penari itu, ada yang tetap tak bisa dilenyapkan dari karakteristik konteks negara komunis. Dan itu bukan tampak pada bagaimana seluruh pertunjukan yang dikemas dengan canggih untuk turistik tersebut lebih merupakan “kendaraan” bagi kepentingan ekonomi, sebagai sesuatu yang lumrah dalam dunia pariwisata. Melainkan dari sifat tariannya yang kolosal itu sendiri, yang mengingatkan banyak orang pada berbagai tarian massal di negara-negara sosialis komunis.
Sebagai tarian yang dimainkan secara kolosal, ia tak bisa dilepaskan dari karakteristiknya yang instruksional. Dan ini amat terasa jika mencemarti ekspresi dan sikap gerak masing-masing penari. Umumnya ekspresi mereka terasa datar dengan gerak yang begitu sudah dihafal. Bahkan di beberapa adegan, satu dua pemain tampak melakukan gerak sambil sesekali bercakap-cakap atau saling memandang.
Dengan kata lain, mengecualikan kemampuan sejumlah pemain akrobat dan sirkus atau satu dua penari, umumnya pertunjukan ini terkesan tidak mengandalkan kemampuan individu. Melainkan pada suasana kolosalnya, perpindahan bloking, pola gerak yang serba serempak, dan penciptaan berbagai idiom lewat tata panggung, cahaya, dan kostum, yang seluruhnya menyuguhkan berbagai sensasi visual yang menakjubkan.
Koreografi yang matang, dengan konsep yang lebih mengandalkan penciptaan berbagai sensasi imajinasi visual, memang telah menjadi kemasan tontonan turistik yang sangat menarik. Penonton diajak menatap China dengan berbagai kebudayaannya yang kaya dan megah. Lepas dari soal yang berkaitan dengan ideologi, menyaksikan bagaimana China memperlakukan kebudayaan lokalnya sebagai kekayaan bangsanya untuk lalu mengemas dan menghadirnya pada dunia, terasa sekali seluruhnya tak mungkin bisa dilakukan tanpa sebuah strategi budaya.
Dan strategi budaya inilah yang membuat China terus berkembang jauh lebih maju, bukan hanya dengan negara komunis lainnya, seperti Korea Utara dan Kuba. Tapi juga dengan sebuah negara yang memiliki khazanah kebudayaan tradisi yang sebenarnya tak kalah dari apa yang dimiliki China. Sayangnya, sampai hari ini kekayaan khazanah budaya yang dimiliki negara itu masih saja disia-siakan, dan tak pernah tahu mesti bagaimana mengurusnya.
Akhirnya, menyaksikan ribuan daun-daun berlepasan di latar panggung lewat multimedia yang menakjubkan, dan para bidadari yang berterbangan di udara dengan gaun sutera berwarna ungu, seorang penonton yang berasal dari negara yang kaya dengan khazanah budaya tapi tak terurus itu, hanya bisa berbisik lirih pada teman di sebelahnya, “Bayangkan, Kang, kalau legenda Sangkuriang dimainkan dengan cara seperti ini.” (Ahda Imran)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar