Jalan Braga jalan intelek...
BEGITU lirik pertama lagu "Jalan Braga" yang dinyanyikan oleh Hetty Koes Endang. Lagu pop Sunda ciptaan Nano.S ini populer tahun 1988. Tak jelas apa maksud"jalan intelek" dalam lagu tersebut untuk menyebut jalan yang memang tak bisa dipisahkan dari sejarah perkembangan Kota Bandung ini. Tapi yang jelas, Braga memang jalan yang berbeda dengan jalan-jalan lainnya di Bandung. Jalan yang sangat "berbau" Eropa.
Tak hanya karena desain bangunan-bangunannya, tapi juga jalan yang dulunya hanyalah digunakan sebagai perlintasan pedati (pedati weg) itu, memang memancarkan aura jejak sejarah kota yang eksklusif. Mungkin inilah yang dimaksud Braga sebagai "jalan intelek" dalam lagu tersebut. Meski awalnya Braga hanyalah jalan becek
perlintasan pedati yang mengangkut kopi dari gudang atau Koffie Pakhuis (Balaikota sekarang) menuju Jalan Raya Pos, tapi sampai hari ini aura yang dimiliki Jalan Braga selalu berbau gaya hidup dan bergaya.
Akan terlalu panjang jika hendak mengurai berbagai hubungan di balik segala sesuatu perihal sejarah atau masa lalu Jalan Braga. Dari mulai asal-usul namanya hingga hubungannya perkembangan Kota Bandung dengan Politik Etis.
Tapi satu hal yang jelas, di tahun 1920-an pernah tercetus ide di benak pemerintah kolonial Hindia-Belanda untuk mengalihkan ibukota dan pusat pemerintah Hindia Belanda dari Batavia keBandung. Rencana besar itu dilatari oleh persaingan di antara negara-negara kolonial dan memanasnya politik global ketika itu. Bandung dan Cimahi merupakan wilayah yang tepat untuk menjadi ibu kota dan pusat pemerintahan karena letaknya yang strategis sebagai daerah pertahanan.
Untuk keperluan itulah Bandung mulai ditata sebagai sebuah ibukota, pusat pemerintahan,pendidikan, dan pusat ekonomi. Sejumlah indutsri strategis pun mulai dipindahkan ke Bandung. Nah, Braga tak bisa dipisahkan dari keperluan itu.Jalan ini disiapkan sebagai demeest europeesche winkel straat van Indie atau jalan tempat belanja bangsa Eropa nomor satu di seluruh Hindia Belanda. Meski hal itu sebenarnya sudah dilaksanakan sebelum tercetusnya ide pengalihan ibukota Hindia Belanda, tapi sejak tahun 1920-an Braga kian menjadi bagian penting dari rencana besar pemerintah kolonial melakukan modernisasi Kota Bandung.
Tapi jangan berharap bahwa sekarang penyebutan itu masih pantas disandang oleh Jalan Braga. Di Bandung, tempat belanja nomor satu itu sudah pindah ke Factory Outlet (FO) dan mall, termasuk yang ada di Jalan Braga, dilokasi yang pernah menjadi tempat perakitan mobil pertama di Hindia Belanda. Prestise Braga sebagai tempat belanja nomor satu di Hindia Belanda hanya tinggal hikayat lama. Lebih dari 50% toko-toko di Braga sudah tutup, berderet sebagai bangunan klasik kolonial yang tampak merana.
Yang tersisa di Braga kini hanyalah kesibukan anak-anak muda merayakan kenangan dengan menjadikan Braga sebagai lokasi pemotretan. Kini Braga hanya lokasi atau keterangan tempat demi latar pemotretan yang eksotis yang penuh gaya. Eksotisme Braga berupa bangunan-bangunan klasik Eropa itu hanya tinggal sederetan benda,tanpa makna apa pun lagi. Anak-anak muda itu bergaya dengan berbagai pose.
Tak ketinggalan pada malam hari sejumlah tempat hiburan pun sibuk merayakan kegembiraan yang lain khas masyarakat urban, di antara suara musik, jerit penyanyi, dan hilir-mudik orang-orang dengan berbagai gaya dan dandanan. Di antara deretan gedung tua yang kosong, anak muda yang berpose dan bergaya, dan hiburan malam, Braga ibarat perempuan tua dengan sisa-sisa masa lalunya yang malang. Orang-orang datang hanya untuk berfoto bersamanya. Ia disuruh berdiri dan bergaya cuma buat jadi latar kenangan dengan sorot matanya yang kosong. (Ahda Imran, Pikiran Rakyat, 13 Agustus 2010)
BEGITU lirik pertama lagu "Jalan Braga" yang dinyanyikan oleh Hetty Koes Endang. Lagu pop Sunda ciptaan Nano.S ini populer tahun 1988. Tak jelas apa maksud"jalan intelek" dalam lagu tersebut untuk menyebut jalan yang memang tak bisa dipisahkan dari sejarah perkembangan Kota Bandung ini. Tapi yang jelas, Braga memang jalan yang berbeda dengan jalan-jalan lainnya di Bandung. Jalan yang sangat "berbau" Eropa.
Tak hanya karena desain bangunan-bangunannya, tapi juga jalan yang dulunya hanyalah digunakan sebagai perlintasan pedati (pedati weg) itu, memang memancarkan aura jejak sejarah kota yang eksklusif. Mungkin inilah yang dimaksud Braga sebagai "jalan intelek" dalam lagu tersebut. Meski awalnya Braga hanyalah jalan becek
perlintasan pedati yang mengangkut kopi dari gudang atau Koffie Pakhuis (Balaikota sekarang) menuju Jalan Raya Pos, tapi sampai hari ini aura yang dimiliki Jalan Braga selalu berbau gaya hidup dan bergaya.
Akan terlalu panjang jika hendak mengurai berbagai hubungan di balik segala sesuatu perihal sejarah atau masa lalu Jalan Braga. Dari mulai asal-usul namanya hingga hubungannya perkembangan Kota Bandung dengan Politik Etis.
Tapi satu hal yang jelas, di tahun 1920-an pernah tercetus ide di benak pemerintah kolonial Hindia-Belanda untuk mengalihkan ibukota dan pusat pemerintah Hindia Belanda dari Batavia keBandung. Rencana besar itu dilatari oleh persaingan di antara negara-negara kolonial dan memanasnya politik global ketika itu. Bandung dan Cimahi merupakan wilayah yang tepat untuk menjadi ibu kota dan pusat pemerintahan karena letaknya yang strategis sebagai daerah pertahanan.
Untuk keperluan itulah Bandung mulai ditata sebagai sebuah ibukota, pusat pemerintahan,pendidikan, dan pusat ekonomi. Sejumlah indutsri strategis pun mulai dipindahkan ke Bandung. Nah, Braga tak bisa dipisahkan dari keperluan itu.Jalan ini disiapkan sebagai demeest europeesche winkel straat van Indie atau jalan tempat belanja bangsa Eropa nomor satu di seluruh Hindia Belanda. Meski hal itu sebenarnya sudah dilaksanakan sebelum tercetusnya ide pengalihan ibukota Hindia Belanda, tapi sejak tahun 1920-an Braga kian menjadi bagian penting dari rencana besar pemerintah kolonial melakukan modernisasi Kota Bandung.
Tapi jangan berharap bahwa sekarang penyebutan itu masih pantas disandang oleh Jalan Braga. Di Bandung, tempat belanja nomor satu itu sudah pindah ke Factory Outlet (FO) dan mall, termasuk yang ada di Jalan Braga, dilokasi yang pernah menjadi tempat perakitan mobil pertama di Hindia Belanda. Prestise Braga sebagai tempat belanja nomor satu di Hindia Belanda hanya tinggal hikayat lama. Lebih dari 50% toko-toko di Braga sudah tutup, berderet sebagai bangunan klasik kolonial yang tampak merana.
Yang tersisa di Braga kini hanyalah kesibukan anak-anak muda merayakan kenangan dengan menjadikan Braga sebagai lokasi pemotretan. Kini Braga hanya lokasi atau keterangan tempat demi latar pemotretan yang eksotis yang penuh gaya. Eksotisme Braga berupa bangunan-bangunan klasik Eropa itu hanya tinggal sederetan benda,tanpa makna apa pun lagi. Anak-anak muda itu bergaya dengan berbagai pose.
Tak ketinggalan pada malam hari sejumlah tempat hiburan pun sibuk merayakan kegembiraan yang lain khas masyarakat urban, di antara suara musik, jerit penyanyi, dan hilir-mudik orang-orang dengan berbagai gaya dan dandanan. Di antara deretan gedung tua yang kosong, anak muda yang berpose dan bergaya, dan hiburan malam, Braga ibarat perempuan tua dengan sisa-sisa masa lalunya yang malang. Orang-orang datang hanya untuk berfoto bersamanya. Ia disuruh berdiri dan bergaya cuma buat jadi latar kenangan dengan sorot matanya yang kosong. (Ahda Imran, Pikiran Rakyat, 13 Agustus 2010)
bung Ahda, bisa sebutin nggak penyanyi, pemusik, kelompok musik, ato apa aja yg ada di Bandoeng hn 1920-an, ato lagu yg lagi in di era itu, selain lagu Hallo Bandung dari Wieteke van Dort dan Krontjong Orchest Eurasia dgn lagu Ajoen-Ajoen-nya...(ceritanya lg nulis dgn latar Bandoeng di thn segitu. Haturnuhun...
BalasHapus