Urang Sunda anu kungsi dijajah ku Mataram (1624-1708), kapangaruhan ke feodalisme Jawa, lain ngan nurutan make undak-usuk, tapi dina kahirupan sapopoe deuih. Ka nu saluhureun pangkat atawa wibawana, pura-pura ngahormat, ari ka sahandapeun ngaleyek-ngekesek. Ka luhur teu wani nyarita satarabasna atawa nepikeun kahayangna, basana “heurin ku letah” da henteu acan sadar kana hak-hakna warganagara republik demokratis
DEMIKIAN mengutip orasi ilmiah Ajip Rosidi yang disampaikannya dalam penerimaan anugerah Doktor Honoris Causa (HC) bidang Ilmu Budaya Fakultas Sastra Universitas Pajajaran, di Aula Sanusi Hardjadinata Bandung, Senin (31/1). Di hadapan Sidang Terbuka Komisi Guru Besar Senat Universitas Pajajaran yang dihadiri oleh seniman, budayawan, dan para inohong itu, Ajip menyampaikan orasi ilmiahnya bertajuk “Urang Sunda di Lingkungan Indonesia”.
Orasi ilmiah ini menarik karena, mungkin, inilah kali pertama orasi dalam prosesi pemberian gelar akademis sebuah institusi pendidikan disampaikan dengan menggunakan bahasa daerah (Sunda). Hal ini, sebagaimana dikatakan Ajip, demi membuktikan bahwa bahasa ibu bisa menjadi bahasa ilmu.
Dan lebih dari sekadar itu, seperti kutipan di atas, dalam orasinya Ajip banyak mengkritisi watak dan etos orang Sunda di tengah budaya demokrasi dan lingkungan modern yang bernama negara Indonesia. Membaca peran atau posisi orang dan budaya Sunda di tengah keragaman Indonesia, inilah yang menjadi tema dasar orasi Ajip. Sebuah tema yang hingga hari ini masih terasa aktual, terlebih di tengah munculnya semacam perasaan keterpinggirian budaya dan orang Sunda di tengah budaya dan etnis lainnya. Hal ini dianggap
menjadi sesuatu yang kontradiktif mengingat jumlah orang Sunda merupakan etnis kedua terbanyak di negeri ini.
menjadi sesuatu yang kontradiktif mengingat jumlah orang Sunda merupakan etnis kedua terbanyak di negeri ini.
Maka, menjadi wajarlah jika kemudian terus muncul berbagai pertanyaan, mengapa dan apa sebabnya orang Sunda hingga hari ini masih belum bisa menunjukkan perannya yang lebih optimal sebagaimana etnis-etnis lainnya di Indonesia?
Seraya menegaskan bahwa budaya dan orang Sunda merupakan bagian utuh dari lingkungan yang bernama Indonesia, dalam orasi ilmiahnya Ajip kembali menghadirkan pertanyaan itu. Alih-alih memandang adanya realitas eksternal yang bisa diasumsikan menjadi sebab terhalangnya orang Sunda untuk berpikiprah, Ajip lebih cenderung memeriksa dengan kritis ke dalam etos dan watak orang Sunda itu sendiri. Dan memang, inilah yang selalu dilontarkan Ajip dengan kritis dalam berbagai pandangannya ihwal keterpinggiran orang Sunda.
Karena itulah, banyak kalangan menyebut budayawan Sunda yang namanya tak bisa disendirikan dari sastra Indonesia modern ini sebagai tukang nyarekan. Lepas dari kesan semacam itu, apa yang dilontarkan Ajip tampaknya lebih merupakan sebuah otokritik. Sesuatu yang terasa langka dalam tradisi dan budaya Sunda. Paling tidak, dari cara dan bagaimana ia melontarkan otokritik itu. Seperti kutipan di atas, di tengah lingkungan Indonesia yang modern, Ajip melihat bagaimana orang Sunda masih belum bisa keluar dari “penjara sejarah” yang memengaruhi etos dan wataknya. Etos dan watak feodal yang berseberangan dengan hak-haknya sebagai warga negara yang merdeka untuk menyatakan pendapat.
**
DALAM pengantar (bubuka) orasinya, Ajip Rosidi mengungkap sejumlah data ihwal jumlah atau keberadaan orang Sunda dalam proses lahirnya kesadaran nasionalis pada masa Hindia-Belanda. Mulai dari masa pergerakan, kemerdekaan, hingga hari ini. Di situ Ajip memaparkan dengan detail sejumlah nama dan jumlah orang Sunda yang berkiprah di berbagai lapangan. Mulai dari lapangan politik, militer, pendidikan, dan birokrasi negara. Pengungkapan seluruh data ini agaknya hendak menjadi semacam “bukti” keberadaan dan kiprah orang Sunda dalam proses lahirnya Indonesia. Dalam konteks sejarah pergerakan hingga dinamika politik setelah kemerdekaan, Ajip ada menyebut sejumlah orang Sunda yang telah turut menjadi penanda penting dalam proses lahirnya negara Indonesia.
Tapi secara jumlah, keberadaan mereka tetaplah tidak sebanding dengan jumlah orang Sunda yang mencapai 20% dari seluruh penduduk Indonesia. Data ini disampaikan Ajip untuk kembali pada pertanyaan apa yang menyebabkan semua itu, seraya melihatnya ke belakang. Berbagai jawaban juga muncul dan lebih bersifat hipotesis dari berbagai kalangan. Di antaranya yang menghubungkannya dengan faktor alam, mental dan tingkat pendidikan. Dan Ajip sendiri tampaknya, sekali lagi, lebih cenderung melihatnya dari faktor sejarah yang memengaruhi mentalitas orang Sunda yang tak pernah bisa mandiri dan merdeka sebagai seorang individu.
“Ku sabab lila teuing dijajah deungeun, urang Sunda jadi tuman ulun kumawula, miboga mentalitas hayang kaanggo ku dunungan, alus goreng kumaha ceuk dunungan atawa nu lian, akibat na hirupa gumantung ka nu lian,” katanya.
Penjara masa lalu inilah yang dalam pandangan Ajip menjadi salah satu penghambat orang Sunda untuk lebih berkiprah di pentas nasional. Dan penjara inilah yang di satu sisi membuat sebagian orang Sunda hidup dan percaya pada berbagai mitos dan hal-hal yang irasional di masa lalu yang sampai sekarang belum bisa dibuktikan secara ilmiah. Pada bagian inilah, tanpa tedeng-aling Ajip menyebut perilaku sebagian kalangan yang alih-alih berani tampil untuk bersaing, malah lebih meyakini hal-hal yang tak lebih dari mitos.
“Urang Sunda ge resep ngabobodo maneh ku nyekel kana mitos-mitos anu henteu rasional jeung henteu aya buktina. Umpamana percaya kana kaunggulan nagara Pajajaran jeung rajana Prabu Siliwangi, anu sacara historis henteu aya buktina yen kungsi aya di kieuna. Hal eta nyababkeun urang Sunda henteu ngarasa perlu usaha jeung ngalakukeun nanaon, da ngandeulkeun teuing kana pitulung Prabu Siliwangi anu diyakini baris datang (padahal teu datang bae)”, ujarnya.
“Nagara Pajajaran” yang disebut Ajip dan Universitas Pajajaran yang memberinya gelar Doktor (Hc) hari itu tentu saja adalah dua hal yang berbeda, sebagaimana juga Prabu Siliwangi dan Kodam III Siliwangi. Lepas dari soal itu, memang nyaris tak ada satu punya yang lolos dari sentilan Ajip. Termasuk di lapangan pendidikan di mana kaum akademisi Sunda disebutnya lebih banyak dan lebih sibuk mencari proyek ketimbang menonjol dalam bidang keilmuannya. Demikian pula dalam organisasi kesundaan yang membawahi sebuah universitas seperti Universitas Pasunda (Unpas).
“Lamun henteu salah motona teh “pengkur agamana, luhung elmuna, jembar budayana”. Teuing nu mana nu geus kahontal, tapi nu sidik di Unpas henteu aya studi ngenaan budaya, basa katut sastra Sunda. Jadi anu baris dijembarkeun teh budaya saha?” tandas Ajip yang membuat sejumlah orang tersenyum-senyum.
Orasi ilmiah Ajip, tampaknya bukanlah kehendak untuk sekadar “nyarekan”. Melainkan lebih berangkat dari keinginan mengkritisi atau melakukan semacam otokritik, sebagaimana juga Mochtar Lubis dengan pidato kebudayaannya “Manusia Indonesia” di Taman Ismail Marzuki (TIM) Jakarta, tahun 1977. Sebuah sikap pandangan yang hendak mengingatkan sejumlah hal yang semestinya diperbaiki. Dalam konteks inilah, di bagian akhir orasinya, Ajip menilai kesadaran pada pengetahuan dan sejarah budaya Sunda, harus menjadi tulang punggung bagi kebangkitan generasi muda Sunda di pentas nasional.
“Nya jadi kawajiban urang ayeuna ngusahakeun sangkan barudak Sunda anu baris cumarita di panggung nasional minangka urang Indonesia, dibekelan kawanoh kana sajarah jeung budaya Sunda, miboga kareueus jadi urang Sunda,” katanya. (Ahda Imran)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar