Mythopoesis, Urban Pastoral
Suatu Kemungkinan Membaca “Rusa Berbulu Merah”
---TIA SETIADI
A myth was an event which, in some sense, had
happened once, but which also happened all the time.
(A Short History of Myth, Karen
Amstrong)
These fragments I have shored against my ruins.
(
The Waste Land, T.S.Elliot)
/1/
Ruh kumpulan sajak ini agaknya
terkondensasi dalam bagian akhir Empat
Pelajaran Menulis Puisi. Kredo puisi yang ditulis dengan puisi, sekaligus
membabarkan stasi-stasi yang ditempuh penyair dalam menulis puisi. Saya
mendapati bahwa stasi-stasi ini ham
pir paralel dengan Jalan yang ditempuh
seorang mistikus, atau alur pencarian yang disusuri oleh seorang pecinta. Hanya
saja bila kerinduan terdalam seorang mistikus adalah unifikasi dengan Tuhannya,
hasrat si pecinta adalah menyatu dengan kekasihnya, sementara yang dicari seorang penyair adalah dirinya
yang lain, makhluk halus dibalik kata-kata, liyan
yang merupakan bagian dari manifestasi keutuhannya, kembarannya:
Pelajaran Pertama Menulis
Puisi
Yang
kau perlukan adalah menyeru mahluk halus
yang
berdiam di balik kata-kata. Tapi kau hanya
akan
mendapati kata-kata jika ia tahu kau mencarinya
Serulah
dia tanpa ia mendengar suaramu
Revelasi puisi, seperti halnya
revelasi mistik dan asmara, dimulai ketika seseorang melompat keluar dari
dirinya, menemukan realitas yang lebih tinggi dimana kita berubah dan terubah
menjadi diri-diri yang lain dan bersamaan dengan itu menemukan sumber mata air
yang asali. Namun ada yang enigmatik dalam kalimat terakhir sajak itu: Serulah dia tanpa ia mendengar suaramu.
Pertemuan dengan makhluk halus itu, dengan liyan
itu, bisa dicapai hanya dengan tindakan pasif yang aktif: Menyeru dalam keadaan
hening, mencari
dalam sonya-ruri. Paradoks semacam ini acapkali dijumpai dalam sajak-sajak Ahda
Imran, dua tarikan yang saling berlawanan, legiun yang karib dengan yang garib,
dua dinamika gerak puitik yang merupakan perkawinan elemen-elemen yang
oposisional: antara menulis dan melupakan, antara mendatangi dan meninggalkan:
Pelajaran Kedua Menulis
Puisi
Tulis
puisi dan lupakan
serupa
mendatangi dan meninggalkan
pada
keduanya dunia tak tampak, kecuali
serupa
kelok bayang separuh batang lidi
yang
kau julurkan ke dalam perigi
Jika neuron-neuron eksistensi yang
mengitari dan membentuk manusia sudah terkonsiliasi, jika musik-musik yang saling
bersitentang sudah terorkestrasi, maka stasi berikutnya adalah momen mikraz, naik menapaki dan melampaui
jenjang kata menuju realitas yang tak berkejadian dan tak berkarena. Di sinilah
terjadi iluminasi puitik yang menyeramkan sekaligus menakjubkan, mencengangkan
sekaligus menggigilkan laiknya iluminasi profetik, serupa Musa menuju Thursina:
Pelajaran Ketiga Menulis
Puisi
Naik
ke jenjang kata
yang
tak berkejadian tak berkarena
Menggigil
kakimu ke puncaknya
serupa
Musa menuju Thursina
Tetapi stasi ketiga
bukanlah puncak, melainkan persiapan menuju stasi keempat: sebuah pesta, suatu
perjamuan dengan Kata, hilang bentuk di dalamnya, menemukan dan meminum
darahnya. Inilah momen yang ditunggu-tunggu itu, momen perayaan itu, pertemuan
dengan bukan seseorang dan bukan bayang itu, yang akan membentuk ulang
sekaligus menciptakan kembali, memperbaharui sekaligus memperkaya manusia.
Pelajaran Keempat Menulis
Puisi
Kata
adalah tubuhKu
yang
bukan seseorang
yang
bukan bayang
Hilang
dalam kata
temukan
darahKu
Minumlah!
/II/
Bukan kebetulan kalau
dalam sajak Ahda tentang iluminasi puitik ada alusi terhadap iluminasi profetik
yang dialami Musa di bukit Thursina: alusi-alusi terhadap tokoh-tokoh
arketip-arketip maupun peristiwa-peristiwa mitologis sangat sering kita jumpai
bertimbulan dalam sajak-sajak Ahda. Mengapa demikian? Dan apa signifikansinya
meresonansikan kembali mitologi di sebuah dunia yang hampir sepenuhnya dikuasai
Logos atau apa yang disebut dengan
logika instrumental?
Justru di situlah soalnya. Semenjak
abad enam belas, Barat memulai revolusi besar terakhir dalam pengalaman
manusia, dan selama abad sembilan belas dan dua puluh revolusi tersebut telah menyebar
pula ke seluruh jagat raya. Revolusi itu adalah spirit saintifik dan pragmatik,
dimana efisiensi
adalah panglima. Gagasan baru atau suatu penemuan baru harus diuji dengan bukti
rasional dan dikonfrontasikan dengan dunia eksternal. Logos harus
berkorespondensi dengan fakta-fakta, dia harus praktis: suatu mode berpikir
yang kita gunakan ketika kita ingin sesuatu bekerja dengan efektif. Logos,
seperti ditunjukan Amstrong dalam studinya yang bernas The Great Western Transformation: Terus-menerus melihat ke depan untuk
mendapatkan kontrol yang lebih besar terhadap lingkungan kita atau untuk menemukan
sesuatu yang segar. Pahlawan baru bagi masyarakat Logos adalah para ilmuwan dan
penemu, yang menjelajahi wilayah-wilayah yang belum terpetakan demi kemajuan
masyarakat yang lebih pragmatis dan rasional. Fondasi-fondasi bagi masyarakat
Logos itu sudah ditegakkan di antaranya oleh Francis Bacon dan Isaac Newton.
Francis Bacon dalam In the Advancement of Learning (1605)
mendeklarasikan bahwa sains harus independen dari hambatan-hambatan mitologis,
dan dengan begitu sebuah era baru yang jaya menyingsing. Hanya sains yang bakal
mengakhiri dukacarita
manusia dan menyelamatkan dunia. Segala bentuk mitologi harus dibuang sebab
kontradiktif dengan fakta-fakta. Hanya Logos yang bisa mengakses kebenaran.
Etos ini beroleh kepenuhannya dalam pemikiran Isaac Newton (1642-1727): Dia mensintesakan penemuan-penemuan
para pendahulunya dengan metode eksperimen dan deduksi. Dia percaya bahwa dia
telah menemukan sistem kosmik yang selaras dengan fakta-fakta, dan seraya
demikian juga membuktikan eksistensi Tuhan, sang “Mesin Akbar” yang membawa
kepelikan mesin jagat raya ke dalam
kanvas kenyataan. Tuhannya Newton sama sekali steril dari mistik dan mitologi: Ia sepenuhnya tunduk
pada hukum-hukum logis. Kebenaran telah dipiuhkan menjadi apa yang bisa
didemonstrasikan.
Tetapi abad dua puluh sudah
menyiratkan bahaya dan kegagalan-kegagalan besar dari waham-waham yang
dievokasi oleh Logos: Tenggelamnya
kapal Titanik pada 1912 menunjukkan rapuhnya teknologi, Perang Dunia Pertama
menyingkapkan bahwa sains bisa juga diaplikasikan untuk menciptakan senjata
yang mematikan, peristiwa Auschwitz, Gulag, pembantaian di Bosnia, pemboman
Hirosima dan Nagasaki, sampai penyerangan World Trade Center adalah ilustrasi
dari kegagalan akbar Logos dalam membebaskan manusia. Itulah epifani gelap: Ketika kita gagal
mengenali penderitaan diri sendiri kita akan mudah mengabaikan begitu saja
penderitaan orang lain.
Tak mengherankan kalau para pemikir
kemanusiaan dan terutama para seniman dan sastrawan mengingatkan akan
pentingnya menghadirkan kembali mitologi, bahkan andaikata mitologi itu hanya
ditenun dari puing-puing. Sebab manusia yang menganggap bahwa dia bisa hidup
tanpa mitos, atau hidup di luar mitos, kata Carl Jung, bagaikan seorang yang
tanpa akar, tak punya
pertautan baik dengan masa lampau, atau dengan kehidupan nenek moyang yang
terus berlanjut dalam dirinya, atau bahkan dengan masyarakat manusia
kontemporer. Permainan rasional semata tak akan merangkum hal-hal asali dari
dirinya.
Dengan menghadirkan kembali
mitos, manusia bisa
menghadapi prospek kehancuran dan kehampaan yang menghampar luas di hadapannya.
Tanpa bantuan mitos, yang ada hanya keputusasaan, ketersesatan dalam dunia yang
gersang dan kerontang, seperti seorang yang ngungun dan ditinggal sendirian di
hadapan ngarai dan jurang eksistensi, telanjang dan tanpa harap. Mitos
menyelamatkan manusia dari bahaya kepunahan. Lewat mitos manusia terangkat
melampaui—dan menerobos—penjara hidup sehari-hari yang memboyakan, menggapai
visi masa depan dan merealisasikannya.
Mitos juga menjadi penting lantaran
ia, seturut Rollo May dalam The Cry for
Myth (1991): menyatukan antinomi-antinomi dalam kehidupan, yang sadar dan
tak sadar, yang dulu dan yang kini, yang individual dan yang sosial. Ini
dibentuk ke dalam
narasi yang diturunkan dari masa ke masa. Sementara bahasa empiris merujuk pada
fakta-fakta objektif, maka mitos merujuk pada intisari pengalaman manusia,
makna dan kebermaknaan dari kehidupan umat manusia. Seluruh manusia berbicara
pada kita, bukan hanya pada otak
kita. Dengan perkataan lain, cakrawala
mitos mendedahkan kebenaran eternal di hadapan gurun pasir bahasa empirik.
Seluruh manusia berbicara pada kita:
Indera-indera kita, naluri-naluri
kita, hasrat-hasrat terdalam kita, depresi dan kekecewaan kita, kebuasan dan
kelembutan kita, kengerian dan cinta kita.
Dengan demikian, bisa kita kenali dalam layar
mitologi itu, lantas ditranfigurasinya, ditrandensikannya, dibawanya ke dalam terang cahaya dan
iluminasi. Sayap-sayap mitos tidak menyentuh secara parsial makna keberadaan
kita melainkan secara penuh seluruh. Dalam terang dan cakrawala inilah muncul
apa yang disebut dengan istilah mythopoeia
atau mythopoesis,
yakni, genre naratif dalam
literature modern dan film (dan dalam beberapa hal juga lukisan) dimana jagat
mitologi fiksional diciptakan oleh para seniman. Mythopoeia berasal dari bahasa
Yunani yang artinya penciptaan mitos. Dalam penggunaan awalnya istilah ini
merujuk pada penciptaan mitos dalam masyarakat purba. Istilah ini lantas
diadopsi oleh salah satu puisi Tolkien dan kemudian istilah mythopoeia pun menjadi tera bagi genre
dan ikhtiar-ikhtiar artistik yang berusaha menggemakan kembali mitologi dalam
masyarakat yang hampir seluruh kakinya tersaput dalam banjir bandang
pragmatisme. Kilasan-kilasan mythopoesis itu
bisa kita jejaki misalnya dalam film “Platoon” yang disutrdarai
Oliver Stone, lukisan “Guernica” Pablo Picaso dan puisi
besar TS.Elliot “The
Waste Land”.
Film “Platoon”
mengejawantahkan pengalaman yang mengerikan dan nyaris
mustahil. Adegan demi adegan dibombardir dengan kegaduhan yang menulikan,
belantara rimba yang tak putus-putusnya, ular, semburan darah, tubuh yang mati
dan dimutilasi, segala yang profane dan kejam yang masih bisa dibayangkan dan
dihadirkan dalam imajinasi visual. Tokohnya, Chris Taylor baru saja keluar dari
kampus dan menjadi sukarelawan dalam tugas militer di Vietnam. Di sana dia
mengalami pelbagai kejadian yang menyeramkan, horor, keputusasaan. Film ini tak
semata menyerakkan simbol-simbol dan adegan-adegan tragis: Ia adalah kisah yang
berbicara pada kesadaran—dan bawah sadar kita, seraya menghadirkan apa yang
disebut Jung dengan “bayang-bayang.” Perjalanan mitos dihadirkan dengan
mengudar esensi narasi yang mengguncangkan jiwa, seperti ketika seorang
tokohnya yang mengalami momen epifani, berbisik: “Kita tak berperang
dengan musuh kita melainkan dengan diri kita sendiri.” Di ujung cerita Taylor
memang selamat, namun ketika dia dipulangkan, dari atas heli, dia menatap ke
bawah dan menangis, untuk tumpukan mayat-mayat yang dilihatnya, yang tak ada
bedanya antara mayat-mayat temannya maupun musuhnya. Tiba-tiba, dalam tatapan
sekilas, dia mengalami perasaan menyatu dengan seluruh duka manusia.
Lukisan “Guernica” karya Pablo Picasso mengudar
penyaliban sekuler dan modern yang sangat mengguncang bagi masyarakat
kontemporer. Sebuah antidote terhadap kekejaman dari salah satu aspek
modernitas. “Guernica” juga merupakan
tangisan massal
yang terus-menerus mengingatkan tragedi yang diakibatkan oleh perang. Picasso
memamerkan lukisan tersebut hanya beberapa bulan setelah terjadi pemboman yang dilakukan
oleh pesawat-pesawat Italia dan Jerman pada puncak Perang Sipil Spanyol di bawah komando Jendral
Franco. Pemboman itu membunuh 1654 dari 7000 penduduk Guernica.
Dalam “Guernica”,
warna hitam putih dan kelabu menggelayutkan
suasana muram, duka, dan khaotik. Ia memercikkan agoni dan perasaan sepenanggungan,
juga membantun mitos. Lihat: Manusia
dan binatang, semuanya tak berbeda ketika menjadi korban, dengan kepala
terpenggal, terbaring bersama dalam timbunan dan tumpukan yang berbaur: Tengkorak manusia bertumpang
tindih dengan tubuh kuda, kepala banteng, tembok hitam yang rubuh. Seorang ibu
meraih tubuh anaknya yang hancur, dan menjerit tanpa suara. Di belakangnya
seekor banteng mengawasi. Sebuah figur wanita lain terhuyung-huyung, menatap
kosong dan ngeri ke arah lampu bohlam yang menyala seram, menyerupai mata
iblis. Dalam lukisan ini Picasso merepresentasikan simbol banteng, yang punya
akar dalam upacara pengorbanan purba. Tetapi bantengnya Picasso tak terlihat
buas: Banteng itu, simbol brutalitas itu,
adalah juga korban yang dikorbankan di sini, dalam kekerasan dan penghancuran
diri peradaban modern.
Sajak “The Waste Land” karya TS.Elliot memotret kekalutan spiritual
masyarakat Barat. Tanah Gersang adalah tempat dimana manusia menjalani hidup
yang tak otentik, kompromis dan membebek pada apa pun yang dicekokkan
masyarakat mereka, tanpa tapisan pemahaman yang mendalam. Puisi ini meruyakkan
keterputusan, fragmentasi , dan alusi dan perbauran dari pelbagai budaya dan
peradaban. Ia juga menggebyarkan perubahan yang cepat dan terus-menerus yang
disebabkan Abad Mesin. Walhasil,
terjadi keterpenggalan dengan kontinuitas dan ketanakaran kehidupan. Apa yang
bisa dijadikan pegangan di sebuah dunia yang terfragmentasi dan terputus-putus?
Tidak ada, yang diketahui manusia modern hanyalah setumpukan citra yang hancur,
terik matahari yang sengangar, pohon mati yang tak memberi perlindungan, serangga
yang tak memberi kelegaan, dan batu gersang
sonder suara air.
Ada kehausan akan air keimanan dan
penyembuhan, kemudian petir relijius pun menyambar di tengah-tengah kegersangan
sajak. Tetapi petir itu hampa dan steril tanpa mengandung hujan: Tak ada kebangkitan dan
pembaharuan, maka nada sajak itu pun kembali mendengungkan hilangnya rasa akan
keutuhan yang tak bisa diperbaiki, porak-porandanya segala bentuk dan citra:
Di sini tak ada air hanya batu
Batu dan tak ada air dan jalan berpasir
Jalan membelit di atas di antara
pegunungan
Pegunungan batu tanpa air
Salah satu yang mencengangkan dari
puisi “The Waste Land” adalah kayanya alusi
dan perujukan pada mitologi dari tradisi dan budaya lain: Eropa, Sangsekerta,
Buddhis, Yunani, Romawi—bayang-bayang mitologi itu terselip di antara alenasi,
nihilism, kehampaan, kekosongan, egoism, keputusasaan yang merebak di tanah
gersang. Dalam dunia yang terfragmentasi, mitologi pun menjadi terfragmentasi,
bercampur baur, saling melimpahi, ikut bertumpuk menjadi citra-citra yang
hancur. Namun demikian dengan sayatan-sayatan kearifan dari masa lalu ini,
dengan potongan-potongan mitologi dari pelbagai tradisi ini: di situlah harapan
kita satu-satunya, dan bersamanya kita bisa menanggungkan kembali tanah gersang
kita, kehampaan kita, di hadapan destruksi total: “Fragmen-fragmen yang telah kuhimpun menyelamatkan kehancuranku.”
Menyisipkan kembali
mitologi, meresonansikan lagi suara-suara purba dan energi-energi
primordial itulah yang dengan kuat
menyeruak dalam sajak-sajak Ahda dalam kumpulan ini. Sajak-sajak mythopoeis yang mendenyarkan kelampauan
dalam kekinian, keangkeran dalam kecerahan, keutuhan dalam keterputusan. Suatu
meditasi di tengah puing-puing. Dia menampilkan kembali binatang-binatang mitis
seperti ular dan rusa dan kalajengking, figur-figur adimanusia seperti Adam
atau Isa atau Buddha atau membantun tokoh-tokoh dari legenda seperti Hermes,
dan sebagainya dan seterusnya. Maka membaca sajak-sajaknya kita penaka menerobos
lapisan-lapisan waktu, bolak-balik antara alam kenyataan dan alam kasunyatan.
Sajak-sajak mythopoesis Ahda—meminjam
ungkapan Mario Vargas Llosa—adalah godaan yang mustahil (the temptation of the impossible). Kita berada di sini dan
sekaligus di sana, di mana-mana sekaligus tak di manapun.
Salah satu makhluk mitis yang kerap membayang
dalam sajak-sajak Ahda adalah ular. Memang hampir seluruh kebudayaan kuno di
dunia mengenal ular sebagai binatang yang melambangkan pelbagai manifestasi:
kebajikan dan kebejatan, kelahiran dan kematian, misteri dan kekekalan, energi
vital dan godaan membahayakan, bisa sekaligus penawarnya, maskulin sekaligus
feminin. Ularlah yang menggoda Hawa di kebun Surga dalam tradisi Injil,
melambangkan Vinata dewi India, atau menyimbolkan kaki Cernunnos dewa kesuburan
Celtik. Dalam Hinduisme kundalini atau api naga beristirahat di pangkal tulang
belakang. Manakala manusia telah bertumbuh matang secara emosional dan
spiritual, energi kundalini tersebut bangkit, mengaktivasi cakra-cakra yang
merupakan pusat energi mental dan spiritual. Di Mesir ular menjadi simbol bagi imortalitas,
sekaligus juga memancarkan visi batin. Orang-orang Celtik terkadang menyebutnya
Druid, sang guru dalam puisi, musik, hukum, kearifan dan penyembuhan. Ketika
ular mengganti kulitnya maka metamorfasa pun terjadi: ular itu dilahirkan
kembali menjadi mahkluk baru. Pelbagai ilusi dan pembatas ditanggalkan, adat
dan selubung keyakinan lama yang sudah usang dilungsurkan agar transformasi
menggapai stasi yang lebih tinggi bisa terealisasi.
Ular
dalam sajak Ahda juga mengandung kemenduaan dan daya-daya yang ambivalen: Keindahan sekaligus
kejahatan. Ular adalah juga tenaga primitif yang merupakan mata air penciptaan:
Ia bergelung di lubuk
kata dan ketika dibangkitkan dia akan terus membesar melampaui ruang cahaya dan
bayang. Ular dalam sajak bertajuk “Lubuk Kata” menyemburkan bisa bagi
keledai pesolek, menggigit dan membunuh mereka yang menggunakan kata-kata hanya
untuk justa, atau sekedar penghias bibir belaka. Puisi adalah racun mematikan
bagi pesolek kata:
Di
lubuk kata
aku
ular yang memancarkan sisiknya
lebih
berkilauan dari mahkota seorang pembesar
tubuhku
terus memanjang. Melampaui ruang,
cahaya,
dan bayang
Berlindunglah
dariku
aku mimpi buruk bagi
keledai pesolek
yang
memuja dirinya di permukaan air
Pada
batu-batu karang kemerahan
aku
menaruh telurku. Menetaskannya
dengan
dendam dan kesedihan. Aku telah
membunuh
seekor hiu dengan gigitan
yang
paling lembut
....
Pada
air menggenang dan buah pohonan
aku
menaruh telurku. Kata-kata dan tubuhku
terus
membesar. Melampaui ruang, cahaya, dan bayang
tak
ada tempat berlindung dariku. Dari lubuk ini
aku
mengutukmu menjadi keledai pesolek
yang
memuja dirinya di permukaan air
lalu
membunuhmu dengan gigitan
yang
paling lembut...
Kemenduaan itu, daya-daya ambivalen itu teremanasi dalam sajak lain
bertajuk Kalajengking. Kalajengking
adalah juga makhluk mitis: dalam masyarakat Afrika Utara dan Asia Selatan
kalajengking dipersepsikan sebagai manifestasi iblis dan serempak dengan itu
sebagai kekuatan pelindung dari iblis. Dalam konteks lain, kalajengking membiaskan
seksualitas manusia. Ia juga racun
sekaligus penawarnya. Saat terekspos gelombang cahaya ultraviolet kalajengking
itu akan berkilauan dalam cahaya biru gelap, laksana saat ketika sebuah sajak
tercipta:
Tak
usah kau bertanya bila aku menyengat
sebab
bisaku sudah berada di balik jangat
Tubuhku
menyala dalam gelap
aku
bisikan paling senyap
Serupa
bilangan yang terbuat dari waktu
tak
bisa kau menampik ingatan padaku
Kematian
adalah hukuman yang lembut
sengatku
puncak senggama yang memagut
Puisi menjadi pengalaman purgatori, dimana kata-kata yang mati,
dahan-dahan bahasa yang kering, dibabat, dibersihkan. Di sinilah pergulatan
seorang penyair: Dia harus bergumul untuk menyemburkan kembali bisa kata-kata itu,
mengairi lagi tanah gersang pengalaman manusia modern yang sonder misteri dan
ketakjuban. Visi dunia yang steril dan gelap dan hampa, digenangi dengan visi mythopoesis dengan membangkitkan kembali
energi purba bahasa yang laten dan tersembunyi. Puisi menjadi suatu perayaan
dengan menghidupkan dan menggerakkan dan mentransformasi benda-benda,
citra-citra, makhluk-makhluk yang lembam atau usang atau mati. Hal ini
dilakukan penyair dengan mengulang ritus purba Adam sang manusia pertama: yakni
memberi nama-nama kepada benda-benda itu, citra-citra sekejapan itu, pengalaman
iluminasi itu.
Ritus pemberian nama-nama oleh penyair itu mungkin bisa
diperbandingkan dengan karakteristik proses kreatif dari visi mythopoesis purba, yakni, apa yang disebut oleh Ernst Cassirer sebagai “hipostatisasi kata,”
sebuah titik balik tatkala persepsi tereduksi ke dalam titik tertentu dan
kata ditransformasi ke dalam citra yang kongkrit—muncul dan menghilangnya citra dari “tuhan
sekejapan.” Menurut Cassier, ekspresi ini tidaklah merujuk kepada entitas
relijius-mistis melainkan alih-alih kepada visi mental yang sekejapan,
“objektivikasi” dari sesuatu yang hadir seketika dalam momen pengalaman yang
intens. Citra dan objek membaur, tak bisa dipisah-pisahkan lagi satu sama lain.
Dalam visi mythopoesis ini “Apa pun
yang telah dipatri oleh sebuah nama, maka selanjutnya ia bukan hanya real,
melainkan menjadi Realitas.” Hanya dengan ritus penamaan dunia luar dan dunia
dalam terjembatani, jarak dan ketegangan antara subjek dan objek
terekonsiliasi:
Nyanyian
Bagi Adam
….
Di daun telingaku dunia menempel
menyerupai lintah. Hari masih dipenuhi hujan
dan kota ini terapung-apung di atas air.
Kunyalakan
rokok dan kuhisap, seperti dunia menghisap tubuhku
di sebuah tikungan kubiarkan kau menyelinap ke
dalam
pikiranku, merogoh ke dalam ingatan, dan bernafas
ke dalam nafasku
Sejak itu, tak bisa lagi kuingat
siapa namamu yang sebenarnya. Setiap hari
kau membawa kata-kata ke dalam tubuhku
lalu dengan kata-kata itu kutemukan
kesepian berikutnya yang lebih
menakutkan dari kematian
….
Di sebuah tikungan, diam-diam aku menemukan
siapa namamu yang sebenarnya. Lalu beranjak
dan memakai kembali sisa-sisa pakaian
yang kau tinggalkan
Ular Hitam
Ular hitam itu selalu mendesis
saat aku mengingatmu. Saat kau
menyelubungi
pundakku. Menyentuh suaramu sebuah menara
tampak gemetar. Pohon-pohon
menjadi putih,
angin mengelupas pada kulit kayu. Di udara
burung-burung gereja berjatuhan
Aku melihat
tubuhmu
keluar dari sungai yang tak bersuara
lalu lewat
sebuah ciuman kau penuhi
mulutku dengan kata-kata
Setiap
hari
kau
memberiku sebuah nama
lalu
dengan nama itu aku mencari
siapa
namamu yang sebenarnya
Aku
hidup dalam cahaya tanpa ruang—
di
antara bayangan, suara-suara dan kebosanan
kuhindari orang saleh yang
mengikat tubuhnya
di
menara-menara purba. Wajah mereka yang pucat
dengan
sepasang kaki yang lumpuh. Bagiku kau lebih
dari
sekadar kitab atau air suci
…..
Setiap
hari ular hitam itu
mengajariku
sebuah kata
lalu dengan kata itu
aku
mencari manusia
Tengah
hari. Di sebuah
kota yang gemetar
kita
berciuman. Air liur kita menetes membasahi
leherku.
Setiap malam kau mengutus ular hitam itu
menjilatinya
sambil mengajariku bagaimana mengucapkan
sebuah
nama dengan satu kata
yang
tak pernah kau ajarkan padaku
Tak selalu seperti
itu. Ada saat ketika pengalaman purgatori itu menolak untuk dinamai,
pemandangan menyihir itu terlalu menyilaukan untuk diejawantahkan, dipatrikan: Suara yang menggema di
dalam air, bau kulit pepohonan, bayangan putih yang mendengung atas semenanjung.
Pada momen seperti ini yang dibutuhkankan justru visi yang hening dan tumarima: Dibiarkan saja pengalaman itu, lanskap itu, tegak
di kakinya sendiri. Lanskap itu, perkenankan saya menukil permenungan Susan
Sontag yang sangat indah dalam The
Aesthetics of Silence: “Tak meminta pemahaman dari si pelihatnya, tak menuntut waham-waham
pemaknaannya, kecemasan dan simpatinya, alih-alih justru menuntut ketiadaannya
sehingga dengan demikian dia tak menambah apa pun padanya.” Lanskap itu sudah
penuh seluruh, negeri itu sudah berlimpahan justru tanpa pemeriksaan manusia.
Dalam ketiadaan si subjek yang menamai, dalam rasa tumarima yang rendah hati,
mungkin justru jejak misteri agung itu akan atra terlihat. Menamainya, mematrikannya, membekukannya justru merupakan suatu tindak kekerasan dan
kebiadaban:
Negeri Tak Bernama
Di negeri yang tak bernama
aku menemukan jejakmu. Di luar apa
yang terbuat dari kata-kata. Pada suara
yang menggema di dalam air. Pada bau
kulit pepohonan. Pada bayangan putih
yang mendengung di atas semenanjung
…
Tengah hari, dalam badai pasir
yang ganas. Aku mencium bau angin
menghembus dari jazirah jauh: bau tubuhmu
tapi orang-orang
membuat kesibukan yang lain
setiap hari mereka berebut menciptakan
nama-nama
untuk menyebutmu
Setiap hari mereka mengusungnya
ke dalam tubuhku dengan suara
yang jelek dan menakutkan
Jejakmu kutemukan sebagai nama
lalu dengan nama itu, orang-orang
menutup dan membanting pintu
Lalu dengan nama itu
mayat-mayat terus berjatuhan
dari tiap helai rambutku
Ada banyak hari ketika kumahkotai
kesendirianku. Kutinggalkan kenanganku
tentang bahasa manusia dan seluruh kutukannya
seperti aku melupakan setiap hasrat demi
menetapkan
sebuah kata untuk menamaimu
Kau adalah di luar apa
yang terbuat dari kata-kata
/III/
Dalam epilog kumpulan buku
puisi pertama Ahda Imran, Penunggang Kuda
Negeri Malam (Akar, 2008),
Bambang Sugiharto menyatakan bahwa seringkali Ahda terjebak dalam dilema antara
frasa-frasa yang bernas temuannya dengan kerangka luas puisinya. Hal itu
terjadi lantaran sementara frasa-frasa itu kuat muatan kognitifnya sedang dalam
sapuan luas puisinya Ahda lebih menyukai pelukisan suasana, sehingga ia lebih
berfokus pada resonansi afektif dan asosiasi atmosferik. Walhasil, dalam
kata-kata Bambang:
“Bila dilihat dengan
kacamata konvensional yang menuntut koherensi, puisi-puisi Ahda tampak kurang
koheren, kurang terasa solid, cenderung obscure, kabur; bahkan sekalipun
struktur puisi itu agak diperjelas, misalnya dengan pengulangan bait awal pada
bait akhir. Sedang sebagai puisi suasana, atmosfer yang terbangun pun jadi
kurang terasa utuh dan optimal. Tiap frasa sungguh bagai adegan film yang
menawan, seringkali bersifat surealis mengejutkan, namun sebagai keseluruhan
seperti tak saling berkaitan.”
Bagaimanakah
sajak-sajak Ahda dalam kumpulan terbarunya ini berkaitan dengan kritik Bambang
di atas? Sebelum saya menakik soal ini, perkenankan saya mempertajam dan
memperluas sekilasan ihwal pokok dan dilema yang dibicarakan oleh Bambang.
Bolehlah dikatakan bahwa secara sederhana ada dua spektrum
yang saling bersitentang tentang puisi dan bahasa dalam jagat kepenyairan
Indonesia saat ini. Spektrum pertama, menganggap bahwa sajak adalah alat
komunikasi belaka, bahasa adalah penyampai pesan. Yang terpenting adalah pesan
itu, bukan alatnya. Yang berpandangan demikian di antaranya Emha Ainun Najib,
yang menganggap bahwa sajak dan bahasa adalah alat untuk berdakwah dan
menyampaikan pesan-pesan sosial dan
ajaran profetik terhadap masyarakat. Spektrum kedua menganggap bahwa puisi dan
bahasa ada untuk dirinya sendiri. Yang terpenting adalah bahwa puisi itu bisa
membuat kita mengalami the pleasure of
the texts, pengembaraan—dan perumitan dan pencanggihan—bahasa. Bahasa
adalah suatu dunia yang tersendiri dan mandiri, terpisah dari dunia.
Suasana-suasana menjadi lebih mendesak ketimbang isi, seperti misalnya kita
baca pada
sajak-sajak Nirwan Dewanto dalam kumpulan
Jantung Lebah
Ratu.
Saya agak terkejut mendapati bahwa
atmosfer yang hampir-hampir serupa ternyata terasa juga dalam panorama jagat
kepenyairan di Amerika. Biarlah saya menukil pembabaran kritikus Susan Stewart
secara agak terperinci:
“Menulis puisi pada saat ini
umumnya terperangkap antara surplus subjektivisme Romantik dan kehampaan bentuk
modernis. Ganjaran dari Romantisisme yang lemah dalam lirik—sentiment dan
empati—tampak remeh dan anakronis…Tetapi para penyaitr yang terus
memformulasikan konvensi-konvensi modernis menderita setidaknya dua hal.
Pertama, Ada ironi dalam mentradisikan proyek modernis, sebuah proyek yang
melakukan pemutusan radikal dengan kontinuitas tradisi lirik. Kedua, mendekati warisan
modernis terutama hanya sekedar persoalan eksperimen-eksperimen formal yang
mempromosikan estetika kebaruan dan gimmick…”
Puisi yang hanya
dijadikan sebagai alat komunikasi akan kehilangan daya sihir kata-kata: Petualangan dan pencarian
ke wilayah yang belum terpetakan, kemungkinan-kemungkinan baru yang belum
dijelajahi dan dimasuki. Membayangkan bahasa hanya sebagai alat—untuk tujuan
yang baik maupun buruk— bisa berakibat membayangkan dunia hanya terdiri dari
sehimpunan koleksi objek yang siap dipergunakan. Adorno mengingatkan kita bahwa seni
terkadang menjadi musuh bagi budaya, sebab budaya seringkali membunuh seni
dengan cara memumikannya, entah atas nama selera atau tanggung jawab sosial dan
politik. Maka puisi terkadang harus merobek konsensus selera itu, dan
menampilkan serta membagikan ingatan kolektif yang tak tergapai dan terlupakan.
Puisi yang
mempromosikan permainan bahasa dan penuh gimik—dalam sajak “Lubuk Kata” penyair yang menulis
puisi serupa ini ditahbiskan sebagai pesolek kata yang memuja dirinya di
permukaan air—pada akhirnya akan berujung di jalan hampa: Apa yang dipertaruhkan
oleh eksperimen-eksperimen bentuk itu selain sekadar memamerkan kekenesan diri dan mendemonstrasikan
betapa pintarnya Si Penyair? Suasana-suasana itu, kepintaran dan kepiawaian menyusun kata-kata
dan mempermainkan diksi itu tak bertujuan apa pun selain untuk memenuhi rasa
benar diri dan puas diri Si Penyairnya. Bukankah puisi yang sejati tidak hanya menciptakan kemungkinan dalam bahasa
tetapi juga kemungkinan dalam dunia? Ujung-ujungnya yang menjadi pokok bukan
hanya apa yang bisa diucapkan oleh
puisi melainkan apa yang bisa dilakukan oleh
puisi.
Dalam latar semacam
ini dapatlah saya katakan: Sebahagian besar sajak-sajak Ahda Imran yang terhimpun dalam Rusa Berbulu Merah sudah keluar dari
dilema yang diutarakan oleh Bambang. Solusinya bukan dengan menulis sajak
pendek—bukan berarti Ahda tak lagi menulis sajak pendek—seperti disugestikan
Bambang, melainkan dengan: Pancaran visi. Visi itulah—yang diantaranya diiluminasikan dengan mythopoesis—yang memproyeksikan dan
membuat koherensi sajak-sajak Ahda terjaga. Sajak-sajak Ahda juga menghadirkan kesetimbangan
dan suspensi antara yang emosional dan yang intelektual, yang mungkin dan yang
mustahil, yang di sini dan yang di sana dan yang tidak di mana pun. Puisi-puisi
Ahda bukan hanya melukiskan suasana-suasana yang tak bertujuan: Suasana-suasana itu adalah
persiapan—atau bahagian—dari realisasi dan transformasi dan revelasi. Coba kita
simak sajak berikut:
Sajak Tan Malaka di
Jakarta, 1945
Kucurigai
setiap orang melangkah
karena
aku rusa berbulu merah
Kubuat
sarang
tak
berjejak tak berbayang
Di
hari kemerdekaan
tubuh
dan namaku tak berkejadian
tubuh
dan nama yang berselisih jalan
Gelagat
ke hari jauh
kubur
tak bernama tak bertubuh
Lalu
revolusi itu
meja
yang penuh ludah
muslihat
memilin lidah
Kucurigai
mereka yang bimbang
kubuat
sarang seluas sawang
Kucintai
mereka yang berdarah
karena
aku rusa berbulu merah
Puisi di atas
mengandung citraan-citraan yang kuat di satu sisi dan di sisi lain
citraan-citraan itu, frasa-frasa itu, saling berkait-kelindan satu sama lain, saling menyiratkan dan menguatkan.
Pelukisan suasananya tak merobohkan muatannya melainkan menegakkannya.
Kontras-kontras dalam puisi ini juga terasa sangat kuat: Antara kekerasan dan
kebrutalan revolusi dengan kelembutan dan welas asih salah seorang pemimpin dan
penggeraknya: Tan Malaka. Tan Malaka disepadankan dengan rusa berbulu merah: Dalam khazanah mitis, rusa
berbulu merah adalah perlambang kesanggupan untuk mendengarkan, memberkati dan
menghargai indahnya keseimbangan. Ia juga pemahaman tentang apa yang dibutuhkan
untuk bisa bertahan, kekuatan rasa syukur dan kekuatan memberi, kesanggupan
untuk berkorban demi kemaslahatan yang lebih besar, serta kemampuan untuk
menemukan jalan-jalan alternatif.
Rusa berbulu merah juga suatu godaan agar manusia keluar dari selubung
peradaban material dan mulai mengeksplorasi hutan ajaib yang belum terpetakan,
yang membentang di dalam dan di luar diri. Puisi memang berbeda dari sejarah: Sementara sejarah
berbicara dengan mengurai fakta-fakta, puisi menangkap esensinya, apinya. Tetapi
dalam satu hal puisi dan sejarah punya kesamaan, terutama ketika sajak dan
sejarah itu menggelar tokoh atau peristiwa yang terlupakan, yakni, sama-sama menyelamatkan
ingatan:
Sajak Tan Malaka
Kepada Harry A. Poeze
Poeze,
waktu itu tak bertubuh tak berkejadian
orang
sekaumku telah membunuhnya. Mengubur
mayatnya
di bawah bayang gardu tentara. Waktu
yang
berbaju merah. Waktu yang menulis revolusi
dengan
tangannya yang sakit. Revolusi
dengan
tubuh yang tak utuh
Ingatan
itu, Poeze, tak berkaki tak berkejadian
orang
sekaumku telah menebasnya. Ingatan
yang
tak mengenal lagi bau jasad tubuhnya
ingatan
yang merangkak-rangkak mencari
sisa
jejak kakinya
di
ruang kerjamu
Dalam sajak-sajak terbaiknya
Ahda mengeksplorasi pelbagai potensi bahasa serta kutukan-kutukannya dan seraya
demikian juga bergulat-gumul dengan dilema-dilema dan persoalan-persoalan yang
menjadi tema dan warkah bagi zaman kita. Puisi-puisinya terlibat dalam apa yang
disebut Pound sebagai “sensuous thought”
: Teknik dan
bentuk menghaluskan dan mengintensifkan visiun
dan passion, visiun dan passion memberi
ruh dan jiwa kepada teknik dan bentuk—dengan demikian puisi menjadi petualangan
dan tamasya bahasa serempak juga mendenyarkan momen revelasi. Dengan demikian,
bila dalam kumpulan Penunggang Kuda Negeri Malam Bambang Sugiharto
mengatakan bahwa sajak-sajak Ahda tergelayuti momen dan suasana melankoli yang
panjang dan gelap, maka dalam sebahagian besar sajak-sajak Ahda yang terbaru
ini melankolia memang masih terasa namun tak berhenti sebagai melankolia. Undertone melankolia ini, bisa saya
katakan, adalah stasi menuju momen penyingkapan atau pewahyuan—atau, seperti
sudah saya kemukakan di muka: Mari kita khidmati dan tapaki puisi yang sangat
indah dan mendalam dan membawa kita ke
pelbagai arah dan kemungkinan ini:
Kaki Angin
Kaki
angin yang putih
berjalan
pelan di daun teratai
tenang
dan berwibawa. Air dan ikan-ikan
terdiam. Langit dan pohonan menyiapkan
lagu
pujian. Burung-burung gereja terbang
ke
arah hilang. Sebuah lonceng dibunyikan
…
Kaki
angin yang putih
berjalan
pelan di pecahan kaca
tenang
dan berwibawa. Bayang tubuhmu
atas
air—menyelinap ke lubuk lenyap
membasuh
percik darah di tubuh ikan-ikan
pohonan
bergerak melepaskan ribuan burung
lonceng kembali dibunyikan. Tapi tak ada apa
dan
siapapun
Lalu
ada yang berjalan berselubung kain hitam
menjauhi
lagu pujian. Kakinya berdarah penuh
pecahan
kaca. Tangannya ditumbuhi kelopak
teratai.
Diberkatinya hujan, para pemberontak
dan
kuda yang menderu ke padang jauh. Pada
hari
keramat—di jalan setapak—seorang anak
menemukan
jejak kakimu yang putih
Di
luar barisan jemaat
Ada atmosfer yang
mengerikan dalam sajak ini, semacam suasana lengang sehabis pembantaian. Ada
suasana berkabung. Percik darah, pecahan kaca, perang suci. Tapi entah mengapa
saya merasakan—atau mungkin lebih tepat menantikan—saat penebusan, tindakan
purgatori yang diinsinuasikan dengan hadirnya sosok misterius yang berjalan
berselubung kain hitam. Siapakah dia? Kita tidak tahu, mungkin Isya atau
Buddha, atau siapa saja yang bisa menebus kebuasan itu, percik darah itu,
kemanusiaan kita yang dibantai. Maka kengerian suasana diiringi rekahnya janji
revelasi: angin itu putih, tangan itu ditumbuhi teratai. Saya jadi ingat dalam fragmen
sajak “The
Waste Land”
Elliot juga menghadirkan janji iluminasi itu dengan menampilkan figur si lain:
Siapakah orang ketiga yang
selalu berjalan di sampingmu?
Ketika kuhitung, hanya ada
kau dan aku saja
Tapi ketika aku melihat ke
depan ke arah jalan putih
Selalu kudapati si lain
yang sedang berjalan di sampingmu
Terbungkus rapat dalam
mantel coklat, dengan kepala berselubung
Aku tak tahu apakah dia
perempuan atau lelaki
--Namun siapakah dia di
sisi lain dirimu?
Sosok misterius
dalam sajak Ahda—seperti halnya si lain dalam sajak Elliot—sama-sama
berselubung: Kita tidak tahu identitasnya, jenis kelaminnya, asal-muasalnya. Dia
adalah si lain yang tanpa karena dan tanpa kejadian. Si lain yang tak
terhitung, tak terpetakan. Tetapi—kalaupun ada—di situlah tersampir
satu-satunya harapan kita, janji iluminasi kita, penebusan dan pembebasan kita
dari dunia kelam kejam muram dan tanah hampa gersang.
/1V/
Dalam seni rupa Indonesia ada
suatu mazhab atau gerakan atau proyek yang terkenal dengan sebuatan Mooi Indie: kecenderungan romantik untuk
melukiskan hindia dengan harmonis dan selaras, dengan pemandangan alam dan
matahari tropis yang tak pernah terbenam. Ini adalah mazhab warisan kolonial
yang dimulai dari Raden Saleh dan kemudian diteruskan oleh para pelukis
Indonesia lainnya semacam Basuki Abdullah dan Trubus dan yang rembesan
pengaruhnya membias sampai sekarang bahkan hingga ke para pelukis di sepanjang
jalan Malioboro. Menurut Soejojono trinitas suci dalam Mooi Indie terdiri dari gunung, sawah dan pohon kelapa atau pohon
bambu. Sejarawan Onghokham menambahkan trinitas suci lainnya yakni, laut, pantai dan cahaya
bulan purnama. Dalam Mooi Indie alam
itu tintrim, air itu mericik jernih dan anteng mengalir sampai jauh, jalan itu
membelit damai, juga figur yang direpresentasikannya: Pak Petani atau nelayan yang
ramah penuh senyum atau mojang lenjang berselendang merah dengan paras merona bak
bianglala tersentuh keajaiban matahari senja.
Hemat saya,
kecenderungan Mooi Indie itu tak
hanya terbeber dalam lukisan melainkan juga menyeruak dalam khazanah sajak,
yakni, apa
yang disebut sajak-sajak pastoral. Seperti lukisan Mooi Indie sajak-sajak pastoral juga menghamparkan alam dengan cara
romantik, selaras, teduh. Sajak-sajak pastoral mengidealisasi kehidupan
pedusunan dan kegembiraan rural yang dijelmakan sebagai bentangan yang polos,
damai, anteng. Demikianlah sebahagian besar sajak-sajak alam yang dihasilkan
para penyair Pujangga Baru. Seperti lukisan Mooi
Indie, sajak-sajak pastoral pun pengaruhnya merembes sampai sekarang dan
hadir—terkadang bahkan menjadi undertone
yang dominan—dalam sajak-sajak para penyair kontemporer. Juga Ahda Imran, tak
kalis dari godaan itu, beberapa sajaknya menunjukan kecenderungan sajak
pastoral yang sangat kuat. Sajak dibawah ini di antaranya:
Maitara Tidore
Di
Maitara keindahan itu
adalah
laut yang tak bersuara
gugusan pulau dan
pegunungan
terapung
di atas air, seperti
perempuan
cantik yang pendiam
Di perairan dangkal, pada
batu-batu karang
berwarna
toska, ikan-ikan berenang pelan
dengan
perutnya yang buncit
Hari
terang. Dunia seolah baru saja diciptakan
Dari
puncak gunung berapi
kau
menghembus ke dalam tubuhku
kita bergulingan di
permukaan air
Pagut ciuman di dasar laut
….
Pegunungan, langit
yang umpama kelambu, gugusan pulau dan batu karang warna toska, dan lantas (bagai
yang sudah kita duga) sekonyong-konyong muncul figur itu: Perempuan cantik yang
pendiam. Saya terkadang berpikir—dan bertanya-tanya—setiap kali bersua dengan
sajak Ahda yang semacam ini, apakah Si Penyairnya sedang ingin melarikan diri dan istirah dari kehidupan
kota yang sumpek dan korup dan kejam. Maka puisi pastoral semacam ini pun bisa
jadi merupakan kritik terselubung terhadap kehidupan urban yang buas dan tak
mengandung belas kasihan itu. Tetapi jika demikian mungkin John Kinsella benar:
Yang pastoral
bukan sungguh-sungguh tentang alam, kecuali sejauh mengenai lanskap, melainkan
mediasi alam lewat campur tangan dan kontrol manusia.
Sajak-sajak pastoral itu adalah produk dari para penduduk kota yang
melihat sampai jauh ke ke belakang dengan cara romantik dan nostaligik,
terhadap kehidupan tintrim anteng yang tak pernah menjadi bagian dari dirinya, dunia
yang tak pernah dia tinggali atau kalaupun pernah menjadi bagian darinya dan
ditinggalinya, kini sudah jauh—jauh sekali— ditinggalkannya (baik secara fisik
maupun dan terutama secara psikis dan mental). Dengan kata lain, sajak-sajak
pastoral itu mungkin suatu modus alienasi dan—dalam beberapa hal—menunjukkan
jiwa eksil. Inilah yang terbersit dalam benak saya ketika membaca sajak Ahda
yang ngelangut ini—dan indah, sebenarnya:
Jalan Tan Malaka,
Payakumbuh
Lurus
jalan menuju Suliki
di
ujungnya persimpangan—
Koto
Tangah dan Koto Tingi
keduanya
menuju ke dalam lembah
pegunungan,
rimba raya, deretan
pohon
pinus, ladang-ladang kopi
dan
tembakau
Liuk
jalan
dan
pendakian
Ini
jalan orang dulu..
….
Bila
pulang?
…
Ada aspek lain yang menurut
saya esensial dalam sajak-sajak pastoral, yakni nyanyian atau madah. Ini saya
kira penting lantaran nyanyian—dalam sajak, merupakan salah satu cara yang bisa
menjembatani perpecahan dan pemisahan yang tajam dan runcing antara budaya
agrikulutral dan budaya industri. Sajak-sajak pastoral juga di sisi lain
menunjukan etos konservasi. Setautan dengan ini, saya ingin menjelajahi
kemungkinan lain, kemungkinan sebagaimana diwedarkan oleh sajak William Carlos
William ini:
Pastoral
Ketika aku muda
sangat jelas bagiku
bahwa aku harus mencipta hidupku sendiri
aku beranjak tua kini
kujejaki jalan-jalan lama
menakjubi rumah-rumah
yang sangat buruk:
atap yang pinggir-pinggirnya tak beraturan
pekarangan yang dipenuhi
dengan kandang ayam tua, tumpukan abu
perabotan yang rusak
pagar-pagar dan kakus-kakus
jejeran papan tong
dan serpihan-serpihan kotak, semuanya,
jika aku beruntung
menggebyarkan warna hijau yang kebiru-biruan
yang aus digerus cuaca
menghiburku dengan pendaran warna-warnanya
Tak
seorang pun
akan memercayai
segala barang impor untuk
bangsa ini.
Meskipun judulnya Pastoral namun dalam sajak ini tak ada
gunung ataupun lembah, langit cantik atau danau jernih, melainkan kandang ayam
tua, kakus-kakus, jejeran papan tong dan atap yang karut-marut, kehijauan yang
digerus waktu. Namun kita pun tak menangkap nada kutukan atau nada marah dalam
sajak ini: Si
aku lirik menyerap lingkungan sekitarnya yang tak indah lagi dengan cara yang
realistis sembari pada saat yang sama mencari kemungkinan dan nyanyian
penghiburan darinya. Sampai di sini saya ingin mengatakan bahwa sajak ini
menginsinuasi kemungkinan baru yang bisa dirambah oleh para penyair, yakni, apa yang disebut penyair
dan kritikus sastra Afro-Amerika mutakhir Reginald Shepherd dalam kumpulan esai
yang bernas Orpheus in the Bronx
(2007) sebagai urban pastoral.
Diproyeksikan
ke dalam sajak, urban pastoral
adalah suatu pandangan alternatif dari memperlakukan kota dan kehidupan urban
di satu sisi ekstrim sebagai lubang neraka dan iblis semata-mata dan di sisi
ekstrim lain sebagai hamparan utopia yang membebaskan. Sajak-sajak urban pastoral mengeksplorasi
kegemerlapan dan kejalanagan dan misteri kota yang di dalamnya lanskap kota
adalah karakter yang aktif, suatu kehadiran yang membentuk dan mengkondisikan sajak-sajak dan
sebaliknya pula terjadi: Dikondisikan dan dibentuk olehnya. Jadi dalam urban pastoral material bahasa dan material dari lingkungan urban
secara serempak dan bersama-sama membentuk puisi: Ada korespondensi antara
kata, metafora, dan kalimat dengan bangunan dan tembok dan lanskap kehidupan
urban yang terserak di dalamnya.
Dalam lanskap urban itulah sang flaneur
dari proem Baudelaire berkeliaran mencari sensasi-sensasi baru, bersipapas
dengan orang-orang asing di jalan seraya menjadikan jalan dan pedestrian—yang
bukan milik dan rumah bagi siapa pun—sebagai rumahnya yang baru. Ahda Imran
membentangkan kemungkinan urban pastoral itu misalnya dalam sajak “Suatu Hari, di Sebuah
Kota”:
Angin
itu datang dari tenggara—
dari
sebuah tempat yang tak pernah kutuliskan dalam puisi
udara
basi dan orang-orang berjalan membawa tubuhnya
di
atas jalan layang. Saling memandang, menggerutu,
dan
saling melupakan
Kota
ini adalah bagian dunia yang tak berguna
seperti
ukiran di atas kayu peti mati yang mulai diturunkan
di
kelokan dekat gedung parlemen aku teringat seseorang
yang
harus kutemui
Tapi
aku tidak ingin menemuinya
karena
satu hal yang tak perlu
kukatakan
di sini
Di
angkasa badai yang ganas
tengah
membangun sebuah kerajaan
Aku
berjalan dengan kaki timpang
dengan
ulat dalam selaput otakku. Ulat yang ditaruh
oleh
seseorang yang setiap malam sibuk mengasah pisau
sambil
menjilati darah yang menetes dari jemari tangan anakku
Telingaku
berdenging
seperti
suara ambulan
yang
dulu mengantar ibu
ke
kuburan
Angin
itu meronta-ronta di rambut
dan
di kain bajuku. Uh! Terlalu banyak
sejarah
dan
hasrat-hasrat mustahil yang mesti kutanggung
Setiap
hari orang-orang datang padaku
menceritakan
kisah hidupnya sambil mengajariku
bagaimana
membersihkan noda darah di kemeja
Siapakah
kawan-kawanku?
hanya
mereka yang lidahnya bersisik
Seharusnya
aku berada di sebuah tempat
yang menyenangkan…
Tak disebutkan
dengan tegas kota manakah ini sebetulnya, tapi sensasi-sensasinya, kegaduhan
dan keresahannya, kegersangan dan kejalangannya, kemustahilan dan kemungkinan
yang digebyarkannya bisa kita alami di kota besar manapun juga. Sajak ini
dibentuk oleh gedung parlemen dan kuburan, jalan layang dan suara denging
ambulan, udara basi dan kelimun orang-orang asing yang saling memandang,
menggerutu dan saling melupakan. Dan coba lihat: Dalam kerumunan dan kebisingan itu sang flaneur terus saja berjalan,
berjalan, berjalan, meski dengan kaki timpang dan ulat di otaknya. Dia memang
bilang bahwa dia seharusnya berada di sebuah tempat lain yang lebih
menyenangkan, tapi tokh dia tak pergi ke sana; Jangankan pergi, bahkan dalam puisi pun dia tak pernah menuliskannya.
Mengapa demikian? Mungkin lantaran bagi sang flaneur lanskap urban itu adalah—untuk menyitir frase dari Llosa
lagi—the temptation of the impossible:
Maka sembari
berjalan dengan timpang sang flaneur
itu pun menemukan ‘banyak sejarah dan hasrat-hasrat mustahil yang mesti
kutanggung.’
Dalam ‘banyak sejarah dan hasrat-hasrat mustahil’
itulah—jangan-jangan— terkandung penghiburan dan pembebasan baginya. Godaan
yang mustahil kota justru terletak di situ: Dalam ambiguitasnya, dalam wajah ambivalennya.
Kehidupan urban serempak memanifestasikan sejarah eksploitasi sekaligus suatu
arena dari kemungkinan-kemungkinan baru yang tak terduga, penghancuran tradisi
sekaligus kemungkinan penjelmaan arah dan manifestasi lain dari pelbagai tradisi
lama ataupun baru.
Adakalanya sajak urban pastoral tak menghadirkan sosok
sang flaneur sebagai figur utama
dalam sajak tetapi justru manampilkan sosok kota itu sendiri. Kota hadir apa
adanya, dalam kegemerlapan dan horor yang digebyarkannya, dalam kecamuk fisik
dan psikis yang ditanggungkannya. Maka tekstur kota dan tekstur puisi saling
memantulkan dan saling merasuki dan saling mendengungkan satu sama lain. Sang
subjek raib, dan menjelma struktur kota itu sendiri; berjuktaposisi antara
fisiognominya, arsitekturnya, mitologinya, metereologinya, topografinya, konturnya,
pelbagai sejarah dan hasrat-hasrat mustahilnya. Yang mengentara kemudian bukan
rekoleksi emosi-emosi atau muatan pesan atau tinjauan atas suatu perasaan atau
kejadian melainkan suatu bentangan lanskap psiko-geografi sebuah kota, seperti
kemungkinan yang disibak oleh sajak Ahda tentang kota Bandung ini, yang saya
kutip utuh agar kita bisa merasakan teksturnya, konturnya, kontruksinya,
psiko-geografi dan hasrat-hasrat mustahilnya:
Brosur
Wisata Belanja Kota Bandung
Kota ini berasal dari lumpur dasar danau yang menempel
di sepatu seorang
Gubernur Jenderal.
Lalu tuan-tuan perkebunan membuat kota ini dari sisa-sisa kecantikan
seorang germo yang didatangkan dari Paris. Kota tempat tuan-tuan perkebunan
pelesir. Belanja dan bergaya. Mereka membawa juga banyak sekolah. Sekolah yang
mengajak anak-anak Inlander melihat barisan orang menyerbu penjara Bastile.
Kota ini berangin seperti perempuan yang berbisik di
balik daun telingamu.
Mari belanja. Orang-orang membawa tubuhnya ke toko
baju. Menumpuk tubuhnya dalam troly. Taruh saja tubuhmu di situ. Seorang
walikota akan mendorongnya. Ia memakai sepatu Gubernur Jenderal. Mengajakmu
mengelilingi seluruh toko baju di kota ini.
Toko baju yang membuat kota ini menjadi ruang rias dalam gedung
sandiwara. Gedung sandiwara dengan panggung yang tak punya ingatan.
Lihat. Penunjuk arah di kota ini. Semua menuju toko
baju, mall, apartemen yang semua namanya terapung-apung dalam bahasa Inggris.
Di depan kasir kau menerima senyum puas para gadis muda yang manis. Senyum
untuk kartu kredit dan tubuhmu yang terlipat dalam kantung toko baju.
Kota ini kuah batagor yang menetes dari ruang sauna
dan panti pijat.
Mari makan. Udara kota ini membuatmu selalu merasa
lapar. Bawa tubuhmu ke mana saja. Kota ini akan memasak apa saja untuk tubuhmu.
Kota ini meja makan besar. Meja makan
yang dipenuhi bunga-bunga plastik, steak dan kuah batagor yang menetes dari
ruang sauna dan panti pijat. Kau bisa makan sambil mendengarkan suara angklung
atau karinding underground. Atau suara
lemah anak-anak mengamen yang benyanyi hanya dengan menepuk-nepuk tangannya.
Memakai kaos Persib.
/V/
Sebuah buku kumpulan sajak,
ketika ia tertutup—seperti halnya buku-buku lainnya—secara harfiah, secara
geometris adalah semata-mata sebuah benda, di antara benda-benda lainnya.
Tatkala seorang pembaca membukanya maka barulah sajak-sajak itu menghamparkan
diri, menghadirkan ruh-ruh yang mempesona atau musik lira yang asyik atau
lanskap dan citra yang mungkin dan yang mustahil, keindahan bahasa dan
kutukan-kutukannya. Dengan kata lain terjadilah momen estetik. Tetapi
sajak-sajak itu—sajak-sajak sejati seperti sajak-sajak terbaik Ahda maksud
saya—memendarkan dan mendenyarkan makna yang
tak tepermanai, yang hanya bisa diperbandingkan dengan berkilauannya
warna-warni bulu-bulu ekor burung merak. Dengan demikian esai ini hanya suatu
kemungkinan saja dalam membaca sajak-sajak itu, di antara
kemungkinan-kemungkinan lain yang nyaris tak berhingga.
Yogyakarta, Maret 2014
TIA SETIADI
Menulis sajak dan
esai-esai budaya, sastra dan filsafat di
sejumlah media, Kompas, Koran Tempo, Jawa Pos, Jurnas, Suara Merdeka, Suara Karya, Pikiran Rakyat, lampung Post, Horison,
MataBaca, Jurnal Cipta, Jurnal Diskursus, Jurnal Cerpen Indonesia, Jurnal puisi Rumah Lebah, Ruang Puisi,
Jurnal Sastra Digital, Jurnal Sajak,
Jurnal Poetika, Jurnal Kritik. Sedang kumpulan
Puisinya “Tangan Yang Lain” (Interlude, 2013) merupakan Pemenang
Hadiah Sastra MASTERA (Majelis Sastera Asia Tenggara) Award 2013. Setelah sebelumnya karya kritik dan esainya memenangi
sejumlah lomba; Pemenang Harapan Lomba Kritik Sastra Dewan Kesenian
Jakarta (DKJ) 2007; Pemenang
Terbaik Lomba Esai Majalah Horison 2008; Pemenang Kedua
Lomba Kritik Sastra Dewan Kesenian
Jakarta (DKJ) 2009; Pemenang
Terbaik Lomba Kritik Seni Dirjen Kesenian RI, 2011; Pemenang
Utama Sayembara Esai Pena Kencana Awards, 2012. Selain menulis puisi, esai, dan kritik, Tia Setiadi pula dikenal dengan
sejumlah karya terjemahaannya; Van Gogh: Sebuah
Biografi (Interlude, Yogyakarta 2007); Edgar Allan Poe: Sebuah Biografi dan Sepilihan
Karya (Interlude, Yogyakarta 2007); Ciuman Hujan: Seratus Soneta Cinta Pablo Neruda (Madah, Yogyakarta
2009); Surat-surat Kepada Penyair Muda,
karya Rainer Maria Rilke (MK art Publishing,
Yogyakarta 2012); Bagaimana
Dunia Bekerja, karya Noam Chomsky (Bentang,
Yogyakarta 2014); Kehidupan yang Berharga,
karya Alice Munro (Bentang, Yogyakarta 2014). Sedangkan
Bahasa Gairah:
Esai-Esai Mario Vargas Llosa merupakan karya
terjemahan Tia yang akan diterbitkan oleh penerbit
Komodo. Tia pernah mengajar serial lecture tentang Realisme Magis di Pascasarjana
S2 Sastra UGM (Januari-Juni 2013) dan
Balai Soejatmoko Solo. Kini ia sedang menyiapkan
kumpulan puisi versi bahasa inggris bertajuk The Other Hand serta satu buku
kumpulan esai tunggal berisi telaah penulis Indonesia dan dunia “Kala
dan Arus Bersilangan.” **
Tidak ada komentar:
Posting Komentar