Sabtu, 12 November 2011

Bandung, Patung dan Monumen yang Bisu





MUNGKIN ia masih berumur 20 tahunan, memakai seragam tentara yang agak kedodoran. Seorang perempuan muda dengan rambut berkepang dua. Wajahnya memperlihatkan ekspresi yang keras, agak tengadah seirama dengan gerak kakinya yang terayun maju ke depan sambil memegang senjata. Sorot matanya tajam mencerminkan keberanian, memandang ke arah kejauhan. Ia adalah seorang lasykar wanita yang tegak berdiri di persimpangan Viaduct Bandung. Di antara hiruk-pikuk kendaraan di sekelilingnya, di sebuah taman kecil yang merapat ke arah perlintasan jalan kereta api, lasykar wanita itu berdiri di atas sebuah tembok tegel yang tingginya sekira 1,5 cm.

Di bawah tegel itulah, entah apa isinya, siang itu (24/7) sebuah karung plastik terongok begitu saja bersama sebuah peti kayu. Di sekeliling tegel itu juga melilit sebuah tali plastik, dan pada satu sudutnya sebuah tegel tampak mengelupak. Di bagian belakang sepatu lasykar wanita itu tampak juga ada sepotong kayu. Di pinggir taman seorang ibu sedang mengasuh anaknya dengan baju-baju yang disebar di rumput. Tampaknya baju-baju itu sedang dijemur.

Patung lasykar wanita (Laswi)  tersebut dihadirkan sebagai penanda ingatan pada sebuah peristiwa yang terjadi di masa lalu di tempat itu. Mungkin sebuah pertempuran semasa revolusi fisik dulu. Dari arah beberapa meter orang diandaikan bisa melihat bagaimana gagah dan berwibawanya patung itu. Namun di tengah keriuhan di sekelilingnya, dengan karung plastik dan peti kayu yang terongok di bawahnya, dengan taman kumuh yang menjadi tempatnya berdiri, patung itu terkesan kehilangan wibawa dan kegagahannya. 

Kehadirannya di tengah ruang di sekelilingnya pun kehilangan interaksi makna visualnya. Lihatlah, bagaimana dihadapan lasykar wanita yang datang dari masa lalu dengan dandanannya yang bersahaja itu kini tampak lima orang gadis cantik dan seksi sedang tersenyum ceria dalam sebuah papan reklame sabun mandi. Antara lasykar wanita dan lima orang gadis cantik dan seksi dalam reklame sabun mandi itu bisa saja ditafsir sebagai interaksi pertemuan antara masa lalu dan hari ini. Namun yang jelas, di situ telah terjadi apa yang oleh kritikus seni Rizki A. Jelani sebagai sesuatu yang kontradiktif.

“Di satu sisi dengan patung itu kita ingin membuat sebuah penanda historis, tapi di sisi yang lain billboard dan iklan sabun mandi itu membuat penanda lain sebagai ruang komersil. Ini jadi kontradiktif,” ujar staf pengajar FSRD ITB itu.  

Kehadiran reklame sabun mandi itu memang telah meluluhkan makna historis di balik keberadaan patung tersebut. Ruang historis yang hendak diwakilkan pada sosok patung itu telah ditiadakan oleh ruang kekinian dengan segala kepentingannya yang tampak mengepung patung.  Termasuk juga bagaimana keberadaan patung itu tertelan oleh gedung apartemen dan sebuah hotel.

Nasib yang sama juga dialami oleh “rekan” lasykar wanita yang berada beberapa meter di sebelah kirinya. Seorang pelajar lelaki bercelana pendek, gagah memanggul bedil dan membawa buku. Taman yang menjadi tempatnya berdiri pun tak kalah kumuhnya. Terlebih lagi di belakangnya terdapat rumpun bambu yang entah kapan terakhir dipotong. Pada wajah dan pundak si Tentara Pelajar tampak tumpahan cat, sedang di bawahnya seorang lelaki tak bercelana sedang tidur.

Kedua patung karya pematung ternama Sunaryo yang terbuat dari resin itu hanyalah bagian dari bagaimana umumnya patung dan monumen di Kota Bandung berdiri dalam keadaan bisu. Patung dan monumen itu kebanyakan kehilangan maknanya, baik sebagai ornamen estetika kota, benda budaya, terlebih lagi sebagai medium yang menghubungkan memori kolektif warga kotanya dengan spirit yang ada di balik kehadiran patung dan monumen tersebut.
                                             
                                                                      **
BEBERAPA waktu yang lalu, para pengungsi korban lumpur panas Lapindo berbondong-bondong datang ke Jakarta. Mereka datang tak hanya untuk berunjuk-rasa, tapi juga mengadu ke Patung Proklamasi. Para pengungsi itu mengadukan nasib mereka pada patung Soekarno-Hatta. Peristiwa simbolik ini menarik karena memperlihatkan bagaimana terjadinya interaksi patung dan psiko-sosio rakyat (dalam hal ini warga Sidoarjo yang menjadi korban lumpur Lapindo). Patung di situ menjadi memori kolektif yang menghubungkan rakyat dengan makna kemerdekaan dalam realitas kekiniannya.  

Dengan mengecualikan Patung Persib yang kerap dibersihkan oleh para pendukungnya, peristiwa simbolik seperti yang terjadi dengan Patung Proklamasi itu agaknya belum tentu bisa terjadi terjadi di Patung Laswi dan Tentara Pelajar, bahkan juga di sejumlah patung dan monument yang ada di Bandung yang umumnya telah bisu dan dibisukan. Baik oleh niatan penghadirannya maupun dibisukan oleh penanganan pemerintah kota yang kerap sembrono.

Lepas dari soal itu, memori kolektif apa sesungguhnya yang terjadi antara warga kota dan Patung Laswi serta Patung Tentara Pelajar dalam kenyataannya yang bisu semacam itu, juga menjadi pertanyaan apabila kita melihat kondisi monumen Gerakan Non-blok di Jln. Pajajaran. Monumen itu berdiri di atas sebuah taman dengan susunan batu marmar. Pada tiga bidang monument tertera nama-nama negara anggota Gerakan Non-Blok yang berjumlah 108 negara. Tak ada keterangan apapun ihwal monumen itu kecuali sebuah tulisan yang sudah pudar, yang menerangkan bahwa monument itu diresmikan oleh Mendagri Yogie. S. Memet tanggal 26 Agustus 1992.  

Di taman tempat monumen itu berdiri dua orang sedang bercakap-cakap sambil membaca koran, sementara di belakang sebuah bidang monumen ada orang tampak sedang tidur. Seorang tukang becak melompati pagar taman. Berjalan ke arah belakang monumen. Berdiri merapat menghadap tembok monumen sambil menarik resleting celananya!

Kejadian sepintas itu agaknya telah cukup menjelaskan bahwa monumen tersebut telah bisu sebagai sebuah memori kolektif yang dibayangkan. Ia telah gagal membawa ingatan warga kotanya pada sebuah peristiwa yang hendak diabadikan,  karena entah memori kolektif siapa yang dimaksud oleh monumen itu. Yang jelas, dengan sikap yang semacam itu, warga kota seolah tengah mengatakan bahwa monumen tersebut bukanlah bagian dari rekaman pengalaman mereka.

Hal yang kurang lebih sama juga bisa kita temukan di Monumen Perjuangan Rakyat Jawa Barat di Jln. Dipatikukur. Monumen kolosal karya Sunaryo yang lurus menghadap Gedung Sate ini dalam bentuk dan karakter arsitektur ruangnya memang terkesan  berwibawa. Namun bagaimana monumen ini interkasi monumen ini dengan warga kotanya tetaplah terasa sebagai interaksi yang terasa hambar. Ia hanya menjadi lokasi para warga kota membuat keramaian, termasuk berdagang dan terkesan tidak memaknai monumen tersebut sebagai cerminan dari pengalaman kolektif mereka di masa lalu. 

Ada tidak adanya monumen itu di situ seakan tak ada bedanya. Jika pun ada segelintir orang yang memfungsikannya, maka itu tak lebih dari sekadar untuk setting berunjuk rasa. Dalam peristiwa tersebut, monumen itu bukanlah dimaknai tapi difungsikan. 

Karena itulah dari perspektif ruang sosial,  aktivis budaya dan pemerhati ruang publik Setiaji Purnasatmoko menyebut bagaimana patung dan monumen di Bandung gagal berkomunikasi dengan ruang kolektif di sekelilingnya. Ia telah dibisukan dan membisukan dirinya sendiri karena monumen dan patung-patung itu tidak mencerminkan jejak mendalam dengan lokasinya.

“Jejak memorinya enggak nyambung dengan ruang-ruang abstrak di balik itu. Konsep memori yang dipetik entah dari mana. Tidak jelas dan dijejalkan begitu saja di ruang geografisnya. Jika pun merujuk pada peristiwa bersejarah yang terjadi, itu adalah peristiwa yang bukan mesti diwakilkan pada sosok yang belum tentu bisa dianggap mewakilinya. Lagi pula apa benar peristiwa yang pernah terjadi itu bisa begitu saja kita anggap sebagai peristiwa publik?” ujarnya.

Karena itulah menurut Rizki A. Jelani,  sangat jarang  patung dan monumen di Bandung bisa menjadi penanda tempat. “Kalau orang di Jakarta menyebut Patung Selamat Datang, semua orang Jakarta tahu di mana tempatnya. Di Bandung hanya sedikit orang tahu bahwa di sebuah tempat ada satu patung,”  

Mungkin saja benar, sebab orang masih lebih suka menyebut “Tegallega” ketimbang mewakilkannya pada “Monumen Bandung Lautan Api”,  atau menyebut “Viaduct” dan tidak menyebut “Patung Laswi” dan “Patung Tentara Pelajar”. Tapi juga tidak semua seperti itu. Tak sedikit orang lebih tahu Patung Persib ketimbang Jln. Tamblong, atau menyebut taman di Balai Kota dengan sebutan “Taman Badak Putih”.

Namun demikian adalah juga sebuah kenyataan bahwa belum ada satu pun patung dan monument di kota ini yang bisa menjadi penanda kota, seperti halnya Patung Selamat Datang yang menjadi penanda kota Jakarta.                                                                          
                                                               **
PERUBAHAN akibat perkembangan ruang kota di satu sisi memang telah membuat makna keberadaan sebuah patung dan monumen juga mengalami perubahan. Dari tulisan pudar pada bagian bawah Patung Laswi diketahui ia diresmikan tanggal 10 Nopember 1981 oleh Husein Wangsaatmaja, Walikota Bandung ketika itu. Artinya,  bisa dibayangkan, ketika dibangun dan diresmikan Viaduct belumlah menjadi ruang yang massif seperti hari ini. Sorot mata si laykar wanita masih leluasa memandang ke arah kejauhan. Apartemen dan lima orang perempuan dalam iklan sabun mandi itu belum ada. Begitu juga bangunan-bangunan menjulang lainnya yang menelan Patung Laswi dan Tentara Pelajar itu.

Politik pembangunan kota bukan hanya telah mengubah psikologi ruang, tapi juga telah merebut dan meniadakan makna ruang yang dibangun oleh kehadiran patung dan monumen tersebut. Ini juga, misalnya, terjadi pada Monumen Dasa Sila Bandung di Simpang Lima. Perubahan ruang yang terjadi di sekelilingnya, juga penataan pot-pot yang sembrono, telah membuat kehadiran monumen yang melambangkan spirit Konferensi Asia-Afrika (KAA) itu lenyap. Keberadaannya seakan hanya sebuah benda tanpa makan apapun. Nasib yang sama juga menimpa Patung Pengairan di Jln. Ir. H. Juanda.

Selain kian terkepung di tengah kemacetan, gedung tinggi, dan berbagai billboard,  Patung Pengairan itu kini berwarna seeng (alat untuk menanak nasi), persis yang juga dialami oleh Patung Ikan Mas di Jln. Mochamad Ramdan. Kedua patung itu kini bukan hanya bisu,  tapi juga dibisukan oleh penanganan yang seenaknya.**

Tidak ada komentar:

Posting Komentar