SEBUAH ambulan meraung memasuki halaman Gedung Indonesia Menggugat (GIM) Jl. Perintis Kemerdekaan 5 Bandung. Dari pintu belakangnya seorang pasien diturunkan, disambut oleh para perawat yang langsung membawanya dengan brankar. Orang-orang masuk mengikutinya setelah mendaftar terlebih dulu. Di ruang bagian depan siapapun yang masuk harus mendaftar sekayaknya di rumah sakit. Suasana agak semerawut, berbaur dengan suara tukang roti, tukang koran, dan para pedagang lainnya.
Masuk ke ruang utama, orang-orang dipersilahkan duduk di ruang tunggu. Di sini pun suasana sama saja, semerawut. Mereka yang hendak berobat dan para pelayat berbaur di tengah kesibukan para suster dan dokter. Lampu agak redup. Sesekali di tengah lorong yang serba sempit itu melintas brankar membawa pasien atau perawat membawa obat-obatan. Belum lagi suara para pedagang, aneka rupa obrolan, pasien yang hilir mudik, dan tak ketinggalan para calo.
Suasana yang lebih mirip di sebuah pasar ketimbang di rumah sakit. Ada suster yang sibuk menerima handphone dengan berbagai bahasa, dari Cina, Jepang, sampai Arab. Ada
dokter yang terus saja nyeroscos ihwal berbagai seluk beluk penyakit diikuti para mahasiswa kedokteran. Ada dua orang tua yang kesepian dan sepasang suami istri yang miskin. Ada pelukis gila yang mengaku dirinya Van Gogh dan terus saja melukis sambil sesekali berteriak dalam bahasa Jerman, atau dua pasien gila yang bicara tentang sejarah filsafat Yunani. Ada pertengkaran dan obrolan di antara pasien. Ada juga tukang roti yang sibuk bicara tentang pengobatan alternatif.
dokter yang terus saja nyeroscos ihwal berbagai seluk beluk penyakit diikuti para mahasiswa kedokteran. Ada dua orang tua yang kesepian dan sepasang suami istri yang miskin. Ada pelukis gila yang mengaku dirinya Van Gogh dan terus saja melukis sambil sesekali berteriak dalam bahasa Jerman, atau dua pasien gila yang bicara tentang sejarah filsafat Yunani. Ada pertengkaran dan obrolan di antara pasien. Ada juga tukang roti yang sibuk bicara tentang pengobatan alternatif.
Inilah permulaan yang disuguhkan oleh Laskar Panggung dalam produksi mereka “Sikat Sikut Sakit” karya/sutradara Yusep Muldiyana di GIM, 20-21 Agustus 2010. Sebuah permulaan yang menarik, karena langsung membetot penonton untuk berada dalam peristiwa pertunjukan teater yang tak lazim.
Dengan label “pertunjukan inovatif”, Laskar Panggung tak hanya mengubah GIM menjadi sebuah rumah sakit sambil meniadakan jarak antara tubuh penonton dan peristiwa pertunjukan. Melainkan juga memosisikan penonton sebagai para pelayat dalam ruang imajiner tersebut. Sebuah strategi tontonan yang bahkan membuat orang tak bisa lagi membedakan penonton dan pemain dalam ruang itu, terutama sejumlah pemain yang memang berperan sebagai pelayat atau pasien.
Dengan kata lain, GIM sebagai gedung, telah dikonstruksi menjadi ruang imajiner demi menghadirkan sebuah realitas rumah sakit. Tapi, bukan lantas berarti pertunjukan ini melulu hanya meniru realitas. Melainkan, lebih terpusat pada gagasan menatap berbagai penyakit manusia. Suasana rumah sakit dengan konflik fisik dan psikis manusia di dalamnya ingin dimaknai pula dalam konteks kewajiban negara melayani kesehatan rakyatnya ketika pelayanan kesehatan tak ubahnya sebagai dunia perdagangan. Uang menentukan tingkat keramahan pelayanan. Pada bagian lain, rumah sakit sebagai representasi dari bagaimana negara melaksanakan kewajibannya mengurusi kesehatan rakyatnya, dalam lakon ini dihadirkan dalam suasana yang absurd dan chaos, sekaligus menggelikan.
Berangkat dari gagasan semacam itulah, pertunjukan ini tidak memberi penanda yang tegas untuk dipahami sebagai pusat narasi. Tapi lebih menekan pada bangun suasana pertunjukan dan membiarkan sejumlah tokoh hadir dengan persoalannya masing-masing. Dari mulai kemiskinan, depresi, dan orang-orang dengan berbagai penyakitnya yang bernama kesepian. Pada akhirnya, seluruh bangun lakon hendak bermuara pada kesadaran betapa dunia ini sebenarnya adalah sebuah rumah sakit yang dihuni oleh manusia dengan penyakit ruhani, cinta dunia (Wahn) dan takut mati.
**
SEPERTI yang menjadi gaya pertunjukan Laskar Panggung, lakon ini hadir dalam suasana yang komunikatif dan penuh gurau. Meski mengangkat tema ihwal penderitaan fisik dan psikis manusia serta hubungannya dengan pelayanan kesehatan yang tak ubahnya dengan kegiatan perdagangan, tapi Yusep Muldiyana tidak tertarik untuk menyuguhkannya sebagai pertunjukan yang “berat” dan berkerut. Irama pertunjukan yang dinamis, karakter dan tabiat pemeranan yang ganjil, dialog-dialog yang kocak dan penuh improvisasi. Meski sesekali kelucuan itu terasa boros, tapi seluruhnya itu menjadi peristiwa pertunjukan yang terasa segar.
Didukung sejumlah aktor senior, seperti Muhamad Sunjaya (Pak Sampoerno), Sugiyati Suyatna Anirun (Putri Kawih), atau dari generasi Rusli Keleeng, Deddy Koral, Ria Ellysa Mifelsa (Pasien), Kemal Ferdiansyah (Dokter Yana), hingga Sahlan Bahuy (Pemuda), Giri Mustika (Bargas), Anita Bintang (Sarti), juga perupa Tisna Sanjaya dan Isa Perkasa. Lakon ini bergerak untuk membawa masuk penonton ke dalam setiap bangun suasana. Demi bangun suasana inilah, tampaknya Yusep sengaja mencairkan jarak antara penonton dan peristiwa pertunjukan, terutama pada bagian awal.
Ruang menjadi strategi yang ampuh untuk membentuk suasana tontonan. Pada bagian kedua penonton diajak beralih menyaksikan pertunjukan di dua tempat. Dua ruang sayap GIM diubah menjadi ruang bangsal dengan lima ranjang pasien yang berderet. Penonton diajak menyaksikan berbagai tabiat para pasien di setiap ranjang. Berbagai adegan dan dialog seolah memiliki urusannya masing-masing, tapi tetap dalam kesatuan suasana. Mulai dari adegan kematian seorang pasien, kedatangan pasien miskin Bargas dan Surti, pertemuan romantis Pak Sampoerno dan Ibu Kawih, kesepian seorang pasien ibu tua yang sudah pikun (Ria Ellysa Mifelsa), atau seorang pasien penderita kelainan jiwa (Rusli Keleeng).
Meski pertunjukan ini nyaris dipenuhi oleh dialog dan monolog para dokter tentang berbagai penyakit, lengkap dengan istilah kedokterannya, tapi gelagat dan tabiat para pasien lebih merupakan penderita penyakit psikis dan hati ketimbang menderita sakit fisik. Dan itu tak hanya diderita oleh orang kaya seperti Pak Sampoerno, tapi juga oleh orang melarat sebagaimana Bargas yang menawar-nawarkan kain panjang istrinya pada para pengunjung.
Paling tidak di malam pertama, Jumat (20/9), pertunjukan ini menyuguhkan permainan yang menarik dari sejumlah aktor senior. Mulai dari pasangan Sugiyati Suyatna Anirun dan Muhamad Sunjaya yang memamerkan kematangan mereka, atau Ria Ellysa Mifelsa dan Rusli Keleeng yang menunjukkan totalitas pemeranannya. Terlebih lagi mereka terasa tampak menonjol di antara sejumlah aktor muda Laskar Panggung, terutama di antara para suster dan perawat.
Lepas dari irama pertunjukan yang kurang lepas pada beberapa adegan awal, terutama timing kemunculan para pemain di tengah pengunjung rumah sakit sehingga terasa seperti saling menunggu instruksi, beberapa dialog sering yang bertubrukan, atau improvisasi lelucon yang terasa boros, bagaimana pun akhirnya pertunjukan ini menawarkan sesuatu yang berbeda. Paling tidak, pertunjukan ini menawarkan sebuah format berbeda dalam konteks hubungan antara peristiwa teater dan strategi ruang.
Sebuah strategi yang turut menjelaskan bahwa rumah sakit bukanlah melulu sebuah fungsi, melainkan juga membawa pemaknaan lebih jauh pada kesadaran bahwa ia adalah dunia itu sendiri. Ruang tempat manusia modern hidup dengan berbagai penyakit cinta dunianya. (Ahda Imran)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar