DALAM khazanah perpuisian Indonesia modern, puisi yang melukiskan pengembaraan penyair ke suatu tempat yang jauh dan asing amatlah banyak kita temukan. Sebutlah, bagaimana Sitor Situmorang merekam jejak pengalaman bathinnya di Paris Perancis dalam kumpulan “Surat Kertas Hijau” dan “Dalam Sajak” ; perenungan-perenungan Subagio Sastrowardoyo di Leiden dan Paris dalam “Hara dan Hari”; pertemuan Taufiq Ismail dengan berbagai pengalaman dalam perlawatannya di Amerika Serikat dalam “Sajak Ladang Jagung”; atau kerinduan Ajip Rosidi akan kampung halamannya selama ia berada di Jepang sebagaimana terungkap dalam “Teringat Topeng Cirebon”.
Di luar itu tentu masih banyak puisi yang lahir dari peristiwa pertemuan penyair dengan berbagai kesadaran pengalaman dalam perjalanan, perlawatan, dan pengembaraannya ke berbagai tempat yang jauh dan asing. Tak hanya dalam sajak-sajak W.S. Rendra, Goenawan Mohamad, Sapardi Djoko Damono, Abdul Hadi W.M., Afrizal Malna, Agus R.Sarjono, atau Dorothea Rosa Herlyani. Jauh ke belakang, puisi perlawatan semacam ini pun kita jumpai dalam karya Abdullah bin Abdul Kadir Munsyi, Hamzah Fanzuri, Sanusi Pane, J.E.Tatengkeng, Mohammad Yamin, Sutan Takdir Alisyahbana, Rustam Effendi, dan sejumlah karya penyair lainnya. Bahkan lebih jauh lagi, dalam tradisi sastra dunia klasik di berbagai khazanah kebudayaan, banyak puisi-puisi yang lahir dari perlawatan dan pengembaraan para pujangga ke berbagai tempat yang asing dan jauh.
Penyair, puisi, perjalanan, perlawatan, dan pengembaraan, memang menjadi suatu keniscayaan. Bahkan ia telah menjadi semacam tradisi. Hasrat penyair untuk memasuki dan menyerap serta meluluhkan dirinya ke dalam berbagai pengalaman memang akhirnya telah membuat puisi lahir dari banyak pertemuan sebagai peristiwa. Dan kiranya memang begitulah selalu kodratnya puisi lahir dan dilahirkan.
Umumnya puisi-puisi perjalanan itu tak hanya berupa pelukisan informatif yang diungkapkan penyair ihwal kota atau daerah yang dikunjunginya. Tapi menyaran pada bagaimana di situ penyair memaknai tempat tersebut sebagai peristiwa pertemuannya dengan suatu pengalaman kesadaran tertentu. Sebutlah, kesadaran ihwal sejarah sebagaimana puisi “Panmunjom Musim Panas 1970”(Taufiq Ismail), “Tigris” (Goenawan Mohamad), “Gereja Ostankino Moskwa” (W.S. Rendra).
Di lain sisi, puisi-puisi perjalanan juga menghadirkan sudut pandang pemikiran dan perenungan penyair yang, langsung atau tidak langsung, berhubungan dengan pengalaman eksistensial atas kehadirannya di tempat itu, seperti yang amat terasa dalam sajak-sajak Sitor Situmorang yang mengambil setting Kota Paris, atau dalam puisi W.S. Rendra “Disebabkan Oleh Angin”.
**
DAN Acep Zamzam Noor merupakan penyair Indonesia generasi pasca tahun 1980-an yang meneruskan tradisi puisi perjalanan. Mengecualikan kumpulan “Dongeng dari Negeri Sembako” (2002), dari delapan kumpulan puisinya yang telah terbit, yakni, “Tamparlah Mukaku!” (1982), “Aku Kini Doa” (1986), “Kasidah Sunyi” (1989), “Di Luar Kata” (1996), “Dari Kota Hujan” (1996), “Di atas Umbria” (2000), “Jalan Menuju Rumahmu” (2004), dan “Menjadi Penyair Lagi” (2007); perjalanan, perlawatan, dan pengembaraan ke berbagai tempat merupakan bagian yang tak terpisahkan dalam puisi Acep Zamzam Noor. Bahkan bisa dikatakan, jejak perjalanan dan peristiwa pertemuannya dengan berbagai pengalaman di banyak tempat telah menjadi penanda penting dalam membaca karya-karya Acep.
Bahkan lagi, sejak tahun 1978 di sebuah sajaknya Acep sendiri bergumam; .../Sajak adalah harapan//.../Sajak adalah kenangan/Sajak adalah jejak pengembaraan/... (“Prelude”). Dan belasan tahun kemudian Acep dengan bersemangat kembali menegaskan pendiriannya sebagai penyair dalam hubungan puisi dan pengembaraan, bahkan ia menyebut pengembaraan itu sebagai perburuan. Kuburu puisi ke ujung bumi/.../Kuburu puisi, kuburu sunyi ke ujung paling jauh (“Menanti Kelahiran”); Seperti seorang perenang/Aku pun menyelam dan mengembara/Dengan kata-kata liar tangkapanku (“Ketapang-Gilimanuk”); Sendiri menyusuri bumi/Menggali sumur, memecahkan batu/Memantik api/Bagi kata-kata buruanku (“Buat Anak Agung Sagung Mas Ruscita Dewi”); Aku tiba di sini/Di antara kata-kata liar/Buruanku. .../ (“Leiden”).
Sebagai jejak pengembaraannya ke berbagai tempat yang jauh dan asing, puisi-puisi Acep umumnya bergerak dengan tema dan suasana yang diliputi oleh keterasingan, kesunyian, dan kegelisahan oleh pencarian hakikat kemanusiaan, di mana seluruhnya juga berbaur dengan keterpesonaan dan ketakjuban. Suasana ini terasa benar dalam sejumlah sajak yang mengambil setting kota dan tempat-tempat di Italia, Belanda, Perancis, dan Bali seperti yang banyak ditemukan dalam kumpulan “Di Atas Umbria”.
Kesunyian, keterasingan, dan kegelisahan eksistensial dalam mencari hakikat kemanusiaan jejaknya bisa kita rasakan, misalnya, dalam sajak “Roma, Akhir 1991”. Dari judulnya sajak ini dengan tegas menyebutkan jejak keterangan tempat dan waktu. Namun begitu sajak ini tidaklah melulu berisi pelukisan ihwal suasana musim dingin Kota Roma di penghujung sebuah tahun. Melainkan juga menjadi jejak kehadiran seorang pengembara yang terasing dan kesepian. Janganganlah mengerang untukku dan cukup pejamkan/ matamu/Bagaimana telah kita lewati tahun-tahun penuh candu--/Sementara kereta bawah tanah masih terus melaju/Dan kesepianku belum juga mati digilasnya.
Kesepian juga meruap dalam “Arco Etrusco”. Kesepian yang diungkapkan lewat pelukisan sebuah tempat dengan metafora, personifikasi, diksi, dan imajinasi yang pekat. Sehingga hubungan antara Aku lirik dan tempat itu bukanlah hubungan antara pelancong dan tempat yang dikunjunginya, melainkan pertemuan antara penyair dan pengalaman kesadarannya di tempat itu. Termasuk kesadaran ihwal kesepian manusia dalam menemukan hakikat hubungan kemanusiaannya. Kesunyian kita/dibangun dari tumpukan batu/Dan terowongan-terowongan gelap/Lengkung-lengkung tiang dan menara-menara/Katerdal. Kesunyian kita/Berlumut pada tembok-tembok/Dan menjadi undakan-undakan waktu//...//.../Kesunyian kita/Menghitam pada patung-patung/Dan menjadi kalimat-kalimat gelap/Tapi senantiasa dibaca waktu/Dengan matanya yang retak-retak (“Arco Etrusco”). Atau yang diucapkan sayup-sayup sambil melukiskan pemandangan di sebuah tempat; Menara bata merah/Barisan hotel dan katedral pantai/Semuanya menjadi bagian dari keremangan:/Gondola-gondola, kadang tanpa muatan sama sekali/Sebentar-sebentar melintas dan menghilang (“Venezia”).
Acep memang dikenal sebagai penyair yang piawai mengolah imaji-imaji visual, dan inilah yang menjadi kekuatan dari puisi-puisi perjalanannya ketika ia melukiskan sebuah tempat yang dikunjunginya. Inilah yang membedakan puisi-puisi perjalanan Acep dengan lensa kamera seorang pelancong yang mengabadikan sebuah pemandangan menjadi benda mati di atas kertas foto.
Lihatlah, misalnya, bagaimana ia mengajak kita untuk menatap panorama pemandangan dari berbagai tempat dalam jejak pengembaraannya dengan metafora dan imaji-imaji visual yang menarik. Rambut-rambut cahaya/Yang dikibarkan angin musim panas/Seperti melukis wajah langit/Dengan garis-garis keperakan siang hari/Di udara sebuah lonceng berayun-ayun/Bunyinya mendekati sunyi. Seekor kuda melompat/.. (“Di Atas Umbria”); Sebuah danau/Hamparan sajadah biru/Adalah ketenangan tiada tara:/Angin dan kabut, barisan pohon cemara/Bukit-bukit menggeraikan rambutnya/Di bawah langit merah padam (“Trasimeno”); Bayang-bayang berkelebat/Di antara hijau air dan rimbun kabut/Bulan pada permukaan sungai/Seperti nilam yang berkilauan/ Di pelupuk mata (“Toraja”); Di bukit para dewa/Yang ditopang karang-karang terjal itu/Sulur-sulur pohon khusyuk berdoa/Bunga-bunga melepaskan wanginya ke udara/Gamelan sorga meletakkan suaranya ke tanah (“Uluwatu”).
Gerak, penanda, dan gejala-gejala alam di situ diungkapkan dengan citraan, idiom, dan imaji yang pekat, sehingga kita disuguhi sebuah pemandangan yang ganjil namun mengelebatkan berbagai kesadaran atau perenungan ihwal hidup dan manusia.; Sungai adalah suara/Yang menenggelamkanku/Lembah yang tercipta/Dari kedalaman kata-kata (“Lembah Anai”). Seraya itu kita pun kerap bertemu dengan banyak metafor dan citraan alam yang diungkapkan seolah ia telah menjadi gerak tubuh manusia; Bukit-bukit kembali menggeliat/Langit menanggalkan mantel tebalnya/Seperti perempuan yang terlentang di pantai//....//Sebuah sungai di pahamu/Berkelok-kelok dengan riang/Menyirami rumpun bunga dan sayuran (“Lagu Bulan Mei”); Kebun anggur tumbuh di dadaku/Aku berjalan dengan lonceng di telinga/Mendirikan menara bagi pendengaranku (“Firenze”).
**
TENTU saja dalam sajak-sajak perjalanan, perlawatan, dan pengembaraan Acep itu kita tak hanya menjumpai banyak negeri dan kota dengan pemandangan, suhu udara, serta musimnya. Demikian pula tidak selalu perjalanan dan pengembaraan itu dan dilukiskan dalam suasana sajak yang dirundung kesepian, keterasingan, dan kegelisahan. Kita juga diajak masuk ke dalam jejak-jejak peristiwa pertemuan yang menakjubkan dengan seseorang, masyarakat, dan gerak-gerik manusia. Terutama ini banyak muncul dalam sajak-sajak yang berlokasi di sejumlah tempat di Bali, sebutlah, “Candidasa”, “Uluwatu”, atau “Pasar Kumbasari, Denpasar”.
Keterpesonaan dan ketakjuban itu tidaklah muncul dari pengalaman Acep sebagai pelancong. Melainkan lahir karena ia meluluhkan kehadirannya ke segenap gerak yang ada di dalam ruang atau yang menjadi tempat pengembaraannya. Acep seolah menyerahkan dirinya ke dalam setiap tempat dan orang-orang yang dijumpainya sehingga melahirkan pengalaman puitik yang menghisap dan melahirkan berbagai kesadaran.
Jika jejak pengembaraannnya ke sejumlah kota di Eropa banyak melahirkan sajak yang mempertemukan kita dengan orang-orang yang digelisahkan oleh kesia-siaan, dan oleh Daun-daun menguning/Bertumpuk dan membusuk sehingga Di dalamnya kita terkubur (“Percakapan Musim Gugur”), maka suasana ini tidak lagi kita temukan di Bali. Sebaliknya kita bertemu dengan gerak manusia dan lanskap (pemandangan) yang menyemburatkan kegairahan dan ketakjuban. Seluruhnya dihadirkan dengan metafora, frasa, dan imaji-imaji visual yang mempertegas makna konteks ruangnya, yakni, Bali, alam, tradisi, budaya, dan manusianya serta kehadiran seseorang (Aku lirik) di situ.
Dalam sajak “Uluwatu”, misalnya, kita melihat bagaimana cermatnya Acep menatap dan mencatat detail pengembaraannya Ketika gadis-gadis berkebaya, dengan bunga di telinganya/Dengan butir-butir beras di keningnya, yang berbaur dengan metafora dan imaji-imaji visual yang menyiratkan kegairahan dan ketakjuban Ketika sunyi bertahta di atas air/Di atas pasir/Ketika biru dan gelap bersahut-sahutan. Sedangkan kenikmatan perjalanan dan pengembaraan dihadirkan lewat penghayatan Aku lirik ke dalam segenap pengalaman yang ditemuinya, Aku melompat dari lubuk laut ke sesaji penuh bunga/Menari kasmaran dan megap-megap (“Di Negeri Air”).
Tak hanya pada alam, pura, upacara, tarian, bahkan keterpesonaan dan ketakjuban itu juga muncul pada gerak-gerik manusia dalam kesehari-harian mereka, seperti dalam sajak “Pasar Kumbasari, Denpasar”. Sajak ini merupakan sajak Acep yang paling indah dalam melukiskan gerak kehidupan masyarakat Bali dalam keseharian-harian mereka, yang tak bisa dipisahkan dari tradisi dan kepercayaannya.
Sajak ini hadir dengan dimensi ruang dan waktu yang jelas, yakni, Pasar Kumbasari Denpasar di tengah malam, serta kehadiran penyair di situ. Dan pasar tentu tak hanya sekadar tempat bertemunya pedagang dan pembeli, tapi juga bermakna sebagai sebuah ruang sosial yang dilahirkan oleh karakter sebuah tradisi dan budaya. Inilah yang dengan menarik terlukiskan dalam sajak Acep ketika ia menghubungkan pasar dengan makna perempuan dan makna hidup dalam tradisi Bali; Di sini setiap perempuan adalah lelaki/Bekerja adalah sembahyang dan menari
Di situ ada dua dunia yang langsung diungkap Acep. Dunia perempuan Bali dalam kehidupan sehari-hari mereka, dan dunia spritual mereka ketika bekerja, sembahyang, dan menari memiliki makna yang sama. Pertemuannya dengan kenyataan itu sekonyong-konyong menjadi pertemuannya dengan kesadaran pengalaman yang menakjubkan; Pasar adalah gemuruh/Sekaligus semadi suara-suara/Kulihat yang berjualan itu mulai menari/Kuli-kuli mulai menyanyi/Semuanya perempuan---/Dingin menyerap keringat mereka/Menjadi berbotol-botol arak//...//.../Bersama mereka kupanggul bakul-bakul itu/Sambil menyuling keringatku sendiri/Menjadi tenaga kata-kata
Tiba-tiba saja gemuruh pasar itu menjadi metafora yang tak terduga menjadi semacam perenungan ihwal makna kehidupan; Upacara demi upacara telah kulalui/Sepanjang perjalananku melupakan diri sendiri/Bersama sayuran dan bunga-bunga sesaji/Daging babi, ikan laut, kemenyan dan pakaian warna-warni/Aku menjadi bagian dari gemuruhnya pasar/Sekaligus keheningan semadi. Satu makna yang diungkap di situ adalah kesadaran untuk meluluhkan diri dan menjadi bagian dari gerak kehidupan, tanpa sedikit pun dirundung oleh keterasingan dan rasa pesimis, seperti tampak dalam sajak yang berlokasi di sejumlah kota di Eropa; Lewat pasar yang riuh/Lewat deretan panjang kaki lima/Lewat tangga yang disandarkan/Ke bukit. Aku merasa tak akan sampai/Ke puncak menara Sacre Coeur (“Sacre Coeur”).
Dalam sajak “Pasar Kumbasari, Denpasar”, batas antara pasar yang riuh dan keheningan semadi, bekerja dan sembahyang, lelaki dan perempuan, seluruhnya dileburkan dan diurai dalam tarian kehidupan yang penuh gairah keterpesonaan, ketakjuban, dan hasrat untuk lebih masuk ke dalamnya. Dan seluruhnya dilalui dan dihayati dengan sebuah kerendahan-hati; Kata-kataku menjelma butiran garam/Membumbui tanah dan sungai/Tempat perempuan-perempuan perkasa itu/Menyelesaikan tarian dan kewajibannya/Sebagai manusia biasa.
Karena ia sendiri menyebut sajak sebagai jejak pengembaraan, maka membaca sajak-sajak Acep Zamzam Noor kita tidak hanya disuguhi pengetahuan ihwal sebuah kota dan tempat yang asing dan jauh seperti halnya brosur pariwisata. Melainkan juga diajak memasuki sebuah semesta pengalaman dari pertemuan penyair dengan berbagai kesadaran di banyak tempat dan kota. Kesunyian, keterasingan, kegelisahan, pencarian makna hidup dan kehidupan, pencarian makna menjadi manusia, hingga keterpesonaan, dan ketakjuban. Seluruh perjalanan dan pengembaraan itu terasa benar dilakukan penyair sebagai suatu kenikmatan. Kenikmatan yang berbeda dengan kenikmatan seorang pelancong yang hanya berbekal brosur pariwisata dan lensa kamera.
Dari sajak-sajaknya kita bisa merasakan bahwa Acep berjalan dan mengembara berbekal hasrat untuk mencecap serta bertemu dengan berbagai kesadaran pengalaman di banyak tempat yang asing dan jauh. Tapi bukan hanya fisik penyair yang berjalan dan mengembara, melainkan juga seluruh kesadaran ruhaninya. Sebagai penyair, lensa kamera Acep Zamzam Noor adalah kata-kata.
Kata-kata yang tak hanya berfungsi sebagai alat, tapi juga bermakna untuk merekam jejak perjalanan, perlawatan, pengembaraan, dan pertemuannya dengan berbagai pengalaman kesadaran. Dan kesadaran itu akhirnya menuju pada satu hal, bahwa manusia dan kehidupannya adalah sebuah rentang perjalanan, pengembaraan, dan pertemuannya dengan berbagai kegelisahan pencarian serta hasrat dan ketakjuban. Seluruhnya itu adalah upacara dan tarian.**(Ahda Imran, Majalah Sastra Horison Th.2008, bulan nomor penerbitan tak terlacak)
Cilame, 2008
Tidak ada komentar:
Posting Komentar