SETELAH menyampaikan sambutan untuk membuka pameran, diantar oleh sejumlah panitia, Menko Perekonomian Hatta Rajasa memasuki galeri. Melihat banyaknya sandal sepatu yang berderet ditangga, seperti halnya pemandangan di batas suci masjid, Sang Menteri pun segera hendak melepas sepatunya. Beruntunglah seorang panitia berbisik bahwa sandal dan sepatu itu adalah bagian dari karya, jadi ia tak perlu membuka sepatunya. Tapi, tidak demikian keesokkan harinya, Kamis (28/7), ketika sejumlah siswa SMP berkunjung ke galeri. Beberapa di antara mereka memasuki galeri dengan mencopot sepatu, menderetkannya bersama sandal dan sepatu yang sebenarnya adalah sebuah karya!
Deretan sandal dan sepatu itu merupakan instalasi karya Wiyoga Muhardanto berjudul “Study Forum for Certain Case”. Sebuah karya yang hanya terdiri dari deretan sandal dan sepatu yang disimpan di anak tangga galeri, tapi langsung memprovokasi ingatan orang pada batas antara ruang sakral dan ruang profan. Satu dari 200 karya yang dipamerkan dalam Pameran Besar Seni Rupa Kontemporer Islami dengan tajuk “Bayang”, yang berlangsung di Galeri Nasional Jakarta, 27 Juli-14 Agustus 2011 dikurator oleh Rizki A.Zaelani.
Karya Wiyogya di pintu masuk seakan jadi semacam sambutan yang berisyarat pada pengunjung ihwal bagaimana sebenarnya pameran ini melabeli dirinya dengan kata “kontemporer islami”. Sebuah frasa yang ingin menawarkan berbagai kemungkinan di luar apa yang selama ini
tersematkan pada identitas seni rupa islami, yakni, kaligrafi (khat) atau seni ornamen geometris Arabic. Selain instalasi, pameran yang dikuratori oleh Rizki A Zaelani ini juga memamerkan berbagai karya berupa video, objek, patung, hingga lukisan.
tersematkan pada identitas seni rupa islami, yakni, kaligrafi (khat) atau seni ornamen geometris Arabic. Selain instalasi, pameran yang dikuratori oleh Rizki A Zaelani ini juga memamerkan berbagai karya berupa video, objek, patung, hingga lukisan.
Frasa “kontemporer islami” terkesan kuat menjadi penjelajahan para perupa ke berbagai kemungkinan dan kesadaran ihwal pertautan antara Islam dan seni. Pertautan itu dihadirkan tak hanya dalam unsur kebentukan atau eksplorasi media, tapi juga memaktubkan sejumlah gagasan ihwal Islam sebagai keyakinan atau identitas di hadapan realitas dan isu-isu kontemporer. Mulai dari gaya hidup, fesyen, hingga sosial-politik.
Dengan kata lain, ke dalam realitas semacam itulah pameran ini hendak menampilkan bayang atau bayangan perihal kehadiran karya-karya yang dilabeli islami dan interaksinya dengan berbagai isu kekinian. Sedang di ranah intrinsik, pameran ini mengusung bayang berikutnya tentang manifestasi artistik yang lebih bebas ketimbang dibatasi oleh sejumlah rambu yang selama ini diyakini dalam proses kreasi seni Islam. Hadirnya karya Wilmar Syahnur “in Memoriam A.K” berupa patung Ayatullah Khoimaeni yang sedang duduk di atas karpet merupakan bagian dari manifestasi artistik itu.
Alih-alih menjadi pertanyaan mengapa dalam pameran seni rupa Islam terdapat karya patung, karya dengan media resin yang menyerupai aslinya itu menarik perhatian pengunjung. Seperti juga karyanya yang dipamerkan dalam ArtJog 2010 berupa patung Gusdur, karya patung Wilmar tak hanya sekadar minta ditatap. Melainkan juga meminta orang meresponnya dalam bentuk foto bareng berbagai pose bersama “Sang Imam” tokoh kharismatik yang menggerakkan Reovolusi Islam Iran tahun 1979 itu. Dan tampaknya memang itulah tujuan Wilmar dengan kehadiran karyanya.
**
BERBEDA dengan karya kaligrafi (khat) yang sepenuhnya menampilkan keindahan teks dan permenungan di baliknya, sejumlah karya dalam pameran ini menghidangkan berbagai jejak penjelajahan yang tak hanya menyoal refleksi transenden. Melainkan juga menating refleksi-refleksi ihwal Islam dan keislamam dalam fenomena aktual yang berlangsung. Mulai dari Islam sebagai identitas, Arabisme dan Islam dalam gaya hidup keseharian, terorisme, hingga industri agama atau rezim kapitalisme yang berjubah Islam. Seluruhnya itu tentu saja menyiratkan berbagai sikap pandangan, mulai dari yang santai dan bermain-main pada bentuk, yang menelisik lebih kritis memasuki hal-hal yang rawan yang menyangkut doktrin suci dan tradisi, hingga yang lontaran kritik sosial yang sinis. Seperti biasa, Tisna Sanjaya bermain dalam sikap yang terakhir itu. Karya instalasinya “System Religi Capitalism” berupa bangunan seng butut dengan kubah masjid yang dikelilingi sampah plastik, secara telak menjadi sinisme pada budaya konsumsi dan kapitalisme yang mengatasnamakan Islam.
Berbeda dengan Tisna Sanjaya, perupa M.G. Pringgotono dengan santai memajang karyanya “Insya Allah Aman” berupa sejumlah helm dengan desain topi putih yang biasa dipakai pria muslim hingga helm dengan desain sorban. Karya yang menggabungkan dua jenis penutup kepala yang berbeda fungsi dan makna ini seakan-akan tengah menyoal bagaimana hasrat untuk mengartikulasikan identitas keagamaan (Islam) telah membuat dunia benda berada dalam posisi yang tidak lagi netral.
Helm di situ menjadi representasi dari benda keseharian yang dicopot kodrat fungsinya demi menegaskan identitas keislaman, yang dengan begitu pemakainya dijanjikan akan aman, seperti judulnya. Tapi jangan-jangan dengan begitu karya ini memancing kita untuk memakai logika terbalik.
Perkara identitas keislaman dalam fenomena keseharian dan tubuh juga muncul dalam drawing karya Abdulloh Ibnu Thalhah (“Cadar, Syariat atau Tradisi”). Abdulloh menampilkan figur perempuan dan bayinya.
Tubuh mereka dipalut kain hitam yang hanya menyisakan sepasang mata. Judul karya ini menjelaskan apa yang sesungguhnya dipertanyakan oleh Abdulloh ibnu Thalhah dalm konteks identitas dan bagaimana tubuh perempuan di posisikan.
Tubuh dan identitas keislaman juga muncul dalam karya Indra Ameng “Potres Series: Man with Beards”. Karya ini menarik dalam caranya mempertanyakan identitas keagamaan, karena hanya berupa serial potret yang menampilkan wajah beberapa orang lelaki yang wajahnya diberi jenggot dengan spidol. Pemberian jenggot dengan spidol ini menjadi penting demi menegaskan pemberian identitas keislaman. Dan identitas yang dimaksud dikorelasikan dengan event pameran. Betapa untuk mendapatkan citraan atau identitas keislaman seseorang cukup memakai jenggot. Tentu saja muncul pertanyaan, apakah semudah itu mengidentifikasi diri sebagai seorang muslim? Tampaknya justru pertanyaan itulah yang diajukan oleh Si Seniman sehingga ia memberi jenggot pada modelnya dengan memakai spidol.
**
DI luar lukisan kaligrafi atau yang mengolah ikon-ikon keislaman, dan juga yang memperkarakan identitas keislaman, pameran ini juga menampilan sejumlah karya yang terkesan hanya memosisikan frasa “kontemporer islami” sebagai latar. Tanpa menjadikannya semacam fokus tematik. Artinya, seandainya karya-karya itu dipamerkan dalam event yang lain, ia masih memiliki relevansinya.
Tapi, betapa pun karya-karya semacam itu masih menawarkan cara pandang yang lain terhadap apa yang disebut dengan seni rupa islami. Dan itu bukan terletak pada soal bahwa senimannya seorang muslim. Tapi paling tidak, pada karya itu masih terdapat tawaran ihwal gagasan kesadaran hubungan manusia dan relijiositas.
“Dalam persiapan dan proses kurasi saya tidak menetapkan karya mereka mesti seperti apa. Di mana Islam-nya saya tidak pikirkan benar,” ujar Riszi A. Zelani ketika tampir sebagai pembicara dalam seminar “Seni Rupa Islam Indonesia: Tantangan Kini dan Mendatang”, Kamis (28/7).
Betapa pun rumitnya kemudian mengidentifikasi apa dan bagaimana sebenarnya seni rupa kontemporer islami itu, sebagaimana mengemuka dalam seminar pameran ini menjadi permulaan yang menjanjikan atas kekosongan event seni rupa Islam selepas Festival Istiqlal II tahun 1995. Paling tidak, pameran ini telah memulai kembali bagaimana sesungguhnya mengidentifikasi hubungan seni rupa dan Islam di luar kaligfari, ornamen geometris Arabic.
Mungkin benar bahwa kaligrafi merupakan puncak seni rupa Islam, tapi melulu mengidentifikasinya dari hal semacam itu akan membuat seni rupa Islam terkesan menjadi sempit. Padahal bukankah Islam itu universal, rahmatan lil’alamin? (Ahda Imran)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar