---Ahda
Imran , penyair & esais
AWAL tahun 1998, di tengah semangat
reformasi dan ketegangan yang kian mengancam 32 tahun kejayaan Orde Baru, ada
terbit sebuah buku, “Mereka dari Bandung:Pergerakan Mahasiswa Bandung
1960-1967”. Buku setebal 524 halaman itu ditulis oleh Hasyrul Moechtar,
diterbitkan oleh Penerbit Alumni. Buku ini terbit di tahun yang genting. Tahun
penghujung dari apa yang ingin diingat dalam buku tersebut, perjuangan
para mahasiswa yang turut membidani lahirnya Orde Baru. Seluruh halaman
buku seakan hadir demi memaknai masa silam yang jejak perjalanannya di tahun
1998 itu oleh para mahasiswa sedang mati-matian ditumbangkan. Dan empat
bulan setelah buku itu terbit, kejayaan Orde Baru berakhir.
Hubungan
kekuasaan dan ingatan adalah sesuatu niscaya. Hubungan yang disadari benar oleh
banyak rezim otoritarian demi mengolah,mengubah, dan membentuk ingatan khalayak
demi legitimasi kuasa atas kekinian. Mana yang patut diingat dan mana yang
tidak seluruhnya ada dalam kontrol negara. Dan barangsiapa yang mencari
kemungkinan lain di luar itu, akan secepatnya dicap telah melakukan
perbuatan jahat, mengganggu stabilitas nasional.
Pada soal
inilah letak kecanggihan Orde Baru. Mengontrol,mengawasi, dan menjaga ingatan
khalayak ihwal masa silam. Terutama yang menekan pada situasi genting di akhir
tahun 1960-an seraya menaruh fokus pada figur Jenderal Soeharto. Siasat
yang dijalankan dengan sangat sistematis, dan yang paling penting, terkomando.
Sebutlah, pemutaran film“Pengkhianatan G.30S/PKI” di saluran TV nasional setiap
30 September atau film “Janur Kuning” demi memaparkan heroisme Overste Soeharto
dalam perang kemerdekaan.
Patronasi
Bagi rezim
pemerintahan otoritarian, menguasai dan mengontrol ingatan adalah
berkuasa atas jalan pikiran khalayak. Oleh sebab itu mengingat tidak melulu
diartikan sebagai gerak menghampiri masa silam. Melainkan menjadikannya sebagai
peristiwa dalam narasi kekuasaan, peristiwa massif untuk menjumpai masa silam
yang dibimbing oleh penguasa agar tidak menyimpang dari desain kekinian yang
diinginkan. Di situ menguasai ingatan adalah mendesain legitimasi kuasa atas
kekinian. Dalam desain itu ingatan khalayak diolah dan diubah, mana yang patut
diingat dan mana yang tidak, diukur dari kebutuhan penguasa.
Maka dalam
desain itu pula, negara memainkan perannya sebagai patron, sebagai pengayom,
pembimbing, sekaligus pengawas. Hanya negara yang berhak menentukan masa silam
mana saja yang patut diingat oleh khalayak, dan segi-segi mana saja yang mesti
diingat lengkap dengan segenap penjelasannya. Di situ selalu ada seleksi
politik terhadap bagian-bagian dalam masa silam yang patut diingat oleh
khalayak. Tak hanya merujuk pada tanggal dan bulan, melainkan juga pada segala
sesuatu yang bertaut dengan peristiwa yang mesti diingat tersebut.
Mengingat
masa silam dalam politik ingatan semacam itu akhirnya tak ubahnya dengan pesan
yang terus-menerus disampaikan ke tengah khalayak. Meminjam kalimat Soejatmoko
(1976), di situ kesadaran sejarah dihadirkan sebagai suatu kontinuitas. Yang
dalam konteks negara otoritarian, kontinuitas dimaksud merujuk pada peran
negara sebagai patron atas ingatan. Setiap usaha melakukan diskontinuitas
niscaya akan mengandung sejumlah risiko.
Selama
puluhan tahun Orde Baru berhasil dengan sangat baik memainkan perannya sebagai
patron ingatan, seraya mengaburkan segi-segi dalam ingatan tersebut yang
sekiranya bisa membahayakan legitimasi kuasanya atas kekinian. Dan manakala Orde
Baru runtuh, maka runtuh pula desain ingatan tersebut dan berakhirlah
patronasinya atas ingatan. Selepas itu, mengingat menjadi peristiwa yang
penuh gugatan. Reformasi 1998 membebaskan ingatan khalayak ihwal peristiwa
diawal kelahiran Orde Baru yang selama puluhan tahun terkurung di ruang bawah
tanah.
Desain
Melupakan
Namun, di
tengah suka cita pembebasan ingatan dari kuasa Orde Baru, ironisnya ingatan
ihwal peristiwa reformasi 1998 berlangsungkian sayup. Padahal reformasi
1996-1998 bertaut erat dengan ingatan ihwal situasi yang mendebarkan saat itu;
kerusuhan massal di Jakarta dan Solo, penculikan para aktivis dan
penembakan mahasiswa, atau friksi di antara para jenderal dan elite, yang
seluruhnya hingga hari ini tetap menjadi sesuatu yang gelap. Peristiwa di Bulan
Mei 1998 semakin tahun kian tak pernah ditaruh sebagai masa silam yang patut
diingat demi meletakkan suatu desain kekinian, yakni, mewaspadai bahaya
laten korupsi, kolusi, nepotisme (KKN), tiga hal yang didengungkan oleh
reformasi1998.
Berbagai
peristiwa mendebarkan menjelang jatuhnya Orde Baru kian berkesan hanya menjadi
pembatas waktu peralihan ihwal siapa yang berkuasa dulu dan kini. Bukan
perubahan pada bagaimana kekuasaan itu dijalankan. Reformasi 1998 makin
luput diingat sebagai masa silam yang mesti dirawat dan dijaga.
Berlainan benar dengan Orde Baru yangmemperlakukan 30 September 1965
sebagai masa silam yang wajib diingat khalayak. Ringkasnya, meski reformasi
1998 menyimpan berbagai perubahan penting---liberalisasi politik, pembenahan
konstitusi dan tata kelola pemerintahan---namun apa yang terjadi pada bulan Mei
1998 tampak dibiarkan begitu saja sebagai ingatan yang tak berpenjaga.
Berlainan
dengan Orde Baru yang mengambil posisi sebagai antitesis Orde Lama, sampai hari
ini para elite dan aktor politik pascareformasi tak pernah secara tegas bisa
menjelaskan posisi hubungannya dengan rejim masa silam. Oleh sebab itulah
menjadi berlebihan bila berharap mereka memiliki desain yang jelas bagaimana
mestinya peristiwa reformasi 1998 itu diingat, dijaga, dan dimaknai.
Tentu ada
banyak alasan dan dugaan perihal itu. Bukan hanya bersoal bahwa ingatan itu
akan berbalik menjadi gugatan khalayak perihal pengungkapan sejumlah bagian
gelap yang terjadi dalam reformasi 1998, sedang tak sedikit mereka yang menjadi
elite itu kini merupakan bagian yang pernah diuntungkan bahkan
dibesarkan oleh rejim sebelumnya (Orde Baru). Melainkan pula alasan bahwa
mengingat peristiwa reformasi 1998 niscaya akan membawa ingatan khalayak pada
korupsi, kolusi, nepotisme(KKN). Tiga perkara yang bisa membuat khalayak
bukan hanya mengingatnya dari atau ke masa silam sebagaimana tabiat Orde Baru,
tapi juga dari kekinian. Dari kelakuan para elite dan aktor politik pascareformasi,
mulai dari korupsi, gratifikasi, kolusi atau fenomena munculnya politik
dinasti di sejumlah daerah.
Oleh sebab
itu, alih-alih merancang suatu desain ingatan bagi reformasi 1998, para elite
dan aktor politik pasca reformasi lebih suka membiarkan ingatan itu hidup di
tengah khalayak, membiarkannya menjadi ingatan yang tak berpenjaga. Namun dalam
konteks hubungan ingatan dan kekuasaan, pembiaran semacam ini bisa pula dibaca
sebagai desain ingatan untuk melupakan: Politik ingatan untuk membunuh ingatan.
Dan ini kian
bisa kita amati pula dari gelagat dan manuver sejumlah partai, elite dan aktor
politik menjelang pemilu dan pilpres 2014. Politik ingatan untuk membunuh
ingatan, yang tampaknya akan membawa kembali negeri ini ke masa
lampaunya. Maka, kita sesungguhnya tak beranjak ke mana-mana, dan tak ada apa-apa di Bulan Mei **
Catatan:
Dalam versi yang lebih ringkas esai ini terbit di HU Pikiran Rakyat Bandung, 14
Mei 2013
Tidak ada komentar:
Posting Komentar