Oleh Ahda Imran
PILPRES 2014 tampaknya tengah
memberi gelagat ke arah realitas demokrasi yang disesaki para pemuja. Meski
belum tentu berlaku sebaliknya, sebagaimana ghalibnya para pemuja sekaligus
adalah para pembenci. Dengan dua pasangan capres-cawapres (Joko Widodo-Yusuf
Kalla; Prabowo Subianto-Hatta Rajasa), terutama di jejaring media-sosial, para
pemuja kedua kubu riuh saling serang. Memuja kandidat pilihan seraya menaruh
kebencian yang sengit pada kandidat pesaing.
Jejaring media-sosial lalu menjadi “Kurusetra”; perjumpaan para pemuja
sekaligus pertempuran para pembenci.
Karnaval para para pemuja ini tak sebatas hanya
diikuti khalayak awam, melainkan pula para elite politik di kedua kubu
pasangan. Seperti para pemuja lainnya, orang-orang terhormat ini pun berlaku
sama. Rajin melontarkan sinisme ke arah figur kandidat pesaing, dengan agresivitas
yang sama dengan khalayak awam.
Di luar sinisme dan serangan terhadap kandidat
pesaing, sebaliknya para pemuja melekatkan penampilan figur kandidat capres
pada sosok besar dalam sejarah. Raut wajah Jokowi yang dianalogikan dengan
wajah Jenderal Soedirman. Dan sebagaimana yang getol dilontarkan Amien Rais,
wajah serta penampilan Prabowo dipersamakan dengan Bung Karno.
Politik
Analogi
Lepas dari kemungkinan bahwa pilihan pada Soedirman
dan Bung Karno juga mengandung intensi politik yang diarahkan pada kubu figur
pesaing. Namun, hal itu mesti dicurigai sebagai politik analogi atau siasat
genealogis ketokohan. Di baliknya ada hasrat untuk seakan menjadi representasi
dari kerinduan alam bawah sadar khalayak ihwal pemimpin yang diharapkan. Pemimpin yang jujur, bersahaja, merakyat,
lebih banyak bekerja ketimbang memamerkan retorika (Jokowi); memiliki
ketegasan, bertindak cepat, dan mampu membangkitkan harga diri bangsa
(Prabowo).
Seluruh idealisasi itulah yang dianggap bisa
mengubah situasi anomali yang
berlangsung. Dan seluruh idealisasi itu terdapat pada Soedirman dan Bung Karno,
sosok penting di suatu masa yang genting dalam sejarah Republik. Masa yang
dipersamakan dengan kegentingan situasi kekinian yang serba anomali, yang itu
hanya bisa diubah oleh sosok capres yang memiliki spirit serupa kedua tokoh
tersebut.
Politik analogi di situ diam-diam tengah mengajak khalayak
pemuja untuk menaruh sejenis harapan atau utopia, atau gabungan keduanya, yang
kuat berkesan digiring menjadi ratuadilisme, millenarianism. Atau lagi, meminjam ungkapan Soedjatmoko (Prisma, 1976), berpotensi menjadi utopia
instan yang muncul dari kebingungan, frustrasi, pemujaan dan radikalisasi buta.
Utopia
Instan
Utopia instan merupakan antipoda dari pandangan
sosiolog Karl Mannheim (Idelogy and
Utopia, 1991), ihwal utopia sebagai tempat gagasan menjadi aktif; melampaui
situasi dan membawa perubahan. Utopia di situ bukanlah ide platonis yang
statis. Melainkan yang mesti dipahami sebagai tujuan formal yang diproyeksikan
ke masa depan yang tak terbatas. Ringkasnya, utopia instan para pemuja
cenderung memperlihatkan tabiatnya yang platonis, statis, menaruh hasrat
pemujaan yang besar menyerupai millienarianisme atau mesianisme.
Dalam praktiknya, utopia instan akan membayangi
pasangan kandidat yang kelak terpilih. Analogi yang dilekatkan pada sosok historis,
akan membuat para pemuja dipenuhi
harapan akan perubahan besar yang mengawang-awang. Karena wataknya yang
statis, utopia itu menjadi terasing di tengah proses politik perubahan yang
ruwet. Belum lagi, pertarungan partai-partai politik di parlemen yang akan
memengaruhi berbagai agenda perubahan.
Artinya, segalanya menjadi serba tidak mudah. Pada
saat itulah politik analogi yang ditautkan pada sosok historis perlahan akan
kehilangan legitimasinya. Utopia yang mengambil spirit dari masa lalu demi masa
depan itu, akhirnya abortif melahirkan
perubahan yang dibayangkan. Dan para pemuja pun segera membubarkan barisan, berbalik
menjadi barisan pembenci. Termasuk membenci harapan. Dan tak ada yang lebih
mengerikan dari sebuah negeri yang dihuni oleh mereka yang tak lagi memiliki
harapan.**
Sumber: HU. Tribun Jabar Bandung, 31 Mei 2014
Tidak ada komentar:
Posting Komentar