---Ahda
Imran, penyair dan
esais
MESKI kian berselisih jalan dengan yang apa selalu
dijanjikan, belumlah cukup alasan untuk berhenti menaruh harapan pada
demokrasi. Harapan bahwa dinamika politik bukan melulu rutinitas yang serba
teknis prosedural. Namun, membawa nilai yang mewujud bagi kemaslahatan dan
kedaulatan khayalak, kebebasan, kesetaraan, dan keadilan. Dan seakan tengah
mengamalkan ungkapan Erich Formm, bahwa harapan adalah tiang penyangga dunia, di
Indonesia khalayak merawat tiang penyangga itu dengan tangan yang sakit.
Bagaimana harapan mesti dirawat sedangkan pemilu
kian menjauh dari kesetaraan, keadilan, dan lebih mencirikan laku ekonomi dan
pasar yang tak ada urusannya dengan kesejahteraan bersama? Apa lagi sesungguhnya yang patut diharap dari
oligarki yang berselubung demokrasi?
Semakin panjang pertanyaan itu, kian terasa sakitnya
merawat harapan yang dijanjikan demokrasi. Namun, demokrasi dan bagaimana
demokrasi diperlakukan adalah dua ihwal yang berlainan meski relasi ontologis
keduanya mustahil dikesampingkan.
Pasar
Gelap
Ramai diwartakan di TV dan media sosial seorang
caleg gagal yang menawarkan ginjalnya demi melunasi hutangnya. Atau caleg yang
meminta kembali apa yang telah disumbangkannya karena nyatanya ia tidak
terpilih; mulai dari pengeras suara masjid sampai kompor gas. Demokrasi mayoritas telah membuat pemilu
menjadi ajang pertarungan para pemuja modal, ketimbang memperkarakan mutu isi
kepala.
Kenyataan inilah yang oleh Geoff Mulgan (1995:27)
disebut sebagai lenyapnya mitos dasar politik modern, pemilu yang sekadar
menjadi mekanisme demi melegitimasikan keputusan kolektif yang dibuat di tempat
lain. Di pasar gelap demokrasi yang dihuni oleh segelintir orang; para elite
partai, pengusaha, media, dan lembaga konsultan. Di pasar gelap demokrasi itulah, harapan
khalayak yang datang ke TPS sekadar menjadi komoditi transaksi partai politik.
Partai yang fitrah kelahirannya diniatkan sebagai
pemersatu aspirasi individu menjadi asipirasi kolektif demi memengaruhi
kebijakan negara, kini menjadi kerumunan yang berpatron pada individu pemodal
besar atau pada garis keturunan. Dalam pasar gelap demokrasi hanya sedikit,
untuk menyebutnya tak ada, ruang bagi kecendikiaan.
Sasmita
Banyak kalangan menilai kian maraknya politik uang
dalam pileg 2014 merupakan risiko logis dari demokrasi mayoritas di tengah
rendahnya pendidikan sebagian besar khalayak. Partisipasi politik sonder
kesadaran politik. Bisa jadi benar. Namun, logika penilaian semacam itu sama
halnya dengan menyimpulkan peristiwa pemerkosaan yang terjadi karena korban
memakai rok mini. Kian maraknya politik uang jangan-jangan adalah bentuk kemarahan dan kekecewaan khalayak setelah
menjalani laku kesabaran, namun terus disia-siakan. Harapan yang dirawat bukan
lagi demi harapan itu, namun untuk menghancurkannya, semacam amuk (Amok).
Khalayak bukan tidak bisa menilai siapa yang mereka
pilih dan apa risiko memilihnya. Rasionalitas memilih bukan semata soal nilai
tukar atau karena keputusan bahwa tidak memiliki harapan jauh lebih baik ketimbang
terus merawat harapan dan disia-siakan. Melainkan, sejenis isyarat yang minta
dimaknai sebagai sasmita, perlambang
kekecewaan khalayak yang dirahkan ke masa depan, untuk mengatakan bahwa mereka
memiliki kemampuan yang lebih massif untuk mempercepat kehancuran demokrasi.
Sasmita
ini menjadi niscaya sebab politik ialah jagat dengan dimensi keseluruhan
manusia yang ditautkan oleh relasi individu dan khalayak, mikro kosmos dan
makro kosmos. Dan di hadapan sasmita
semacam itulah, menjelang pilpres 2014, merawat harapan pada demokrasi kian
menjadi laku kesabaran yang genting dan menyakitkan. Sementara, tak satu pun
jalan keselamatan kecuali kesetiaan merawat apa yang telah kita yakini sebagai
harapan.**
Sumber: HU. Pikiran Rakyat, 24 Mei 2014
Tidak ada komentar:
Posting Komentar