Oleh Ahda Imran
TAK
pernah ada di Indonesia sebuah festival teater
berbahasa daerah yang secara kontinu berlangsung sepanjang 25 tahun, seperti Festival Drama Basa Sunda (FDBS). Berlangsung
dua tahunan sejak 1988, bertempat di Gedung Kesenian Rumentang Siang Bandung, diselenggarakan
oleh Teater Sunda Kiwari (TSK). Peneraan kata “Drama Basa Sunda” menjelaskan
bentuk pertunjukkan yang dianut oleh festival ini, yaitu, teater modern dalam
bahasa daerah. Peneraan ini sekaligus
sedang menjelaskan hasrat TSK mensyiarkan anutan ideologi estetika mereka. Yakni,
menaruh atau memaknai bahasa dan tubuh
primordial (Sunda) di atas panggung teater modern.
Festival ini seakan ingin menawarkan perspektif
berikutnya demi memeriksa asumsi bahwa jagat teater modern adalah teater urban.
Jagat yang setidaknya terkesan kuat menaruh setiap pertunjukan berbahasa lokal
sebagai yang bukan teater modern. Bila pun ada, lokalitas itu tak lebih sekadar
demi meneguhkan apa yang disebut dengan teater modern Indonesia, sebagaimana mengemuka
dalam tema perhelatan Forum Teater Empat
Kota 1976 di Jakarta ; “Warna Daerah dalam Teater
Indonesia”. Atau, yang mudah ditemukan
dalam berbagai produksi kelompok teater modern dengan latar warna dan idiom
budaya daerah.
Sikap ini juga mengandung hasrat untuk berkompromi atau
menemukan semacam konsensus estetis dengan konsepsi seni modern. Namun, seraya itu
pula TSK melainkan identitas mereka dari orientasi kultural yang diusung oleh
teater modern seperti Studiklub Teater
Bandung (STB), yang di tahun 1970-an menjadi “patron” kelompok-kelompok
teater di Bandung.
Tubuh
yang Genting
Lebih dari sekadar demi mensyiarkan anutan sebuah
konsep estetis, FDBS merupakan ikhtiar merawat dan memaknai narasi tubuh
primordial (Sunda) dalam bentuk teater modern. Demi keperluan itulah naskah wajib
yang disediakan seluruhnya mengambil setting budaya Sunda. Semacam cara untuk
merayakan narasi tubuh yang lain di luar narasi bahasa dan tubuh urban yang selalu dilekatkan pada teater
modern Indonesia. Pendeknya, FDBS merupakan peristiwa merayakan pemaknaan
narasi dan tubuh primordial dalam watak dan bentuk teater modern.
Tetapi, perayaan ini ternyata memperlihatkan gelagat
yang lumayan genting pada watak tubuh primordial yang kian menyusut akibat pengalaman
tubuh yang dibesarkan oleh teks-teks urban. Akibatnya, referensi aktor dengan
segala ihwal yang berada di balik penanda teks (bahasa) primordial tampak kian
menipis. Gelagat yang tak cukup dicurigai karena perkara teknis pemeranan
atau penyutradaraan. Melainkan dari
segala ihwal yang bertaut dengan lenyapnya batasan geografis antara kota dan lembur (kampung) yang berimplikasi pada
hubungan pengalaman berbahasa dan tubuh. Ini bahkan kerap dijumpai pada kelompok-kelompok teater yang berasal dari
daerah; Ciamis, Tasik, Sukabumi, Sumedang, atau Kuningan. Terlebih peserta
umumnya adalah kelompok teater dari berbagai daerah yang seluruhnya anak muda.
Setidaknya dari tiga atau dua pelaksaan FDBS
terakhir, terasa betapa tubuh primordial (Sunda) itu tergagap-gagap berkorespondensi dengan
segala penanda di balik teks (lakon). Mulai dari gestur yang kehilangan
referensinya sebagai tubuh primordial, hingga keganjilan mengartikulasikan
situasi tubuh dalam pengalaman berbahasa. Pengalaman yang bahkan pernah
dijumpai oleh kelompok Mainteater
ketika mereka mementaskan naskah berbahasa Sunda“Sandekala” (Godi Suwarna) yang
disutradarai Wawan Sofwan tahun 2008. Pengalaman berbahasa yang membuat tubuh
para aktor berada dalam situasi yang tidak senyaman ketika naskah ini kembali
dipentaskan dalam bahasa Indonesia di Taman Ismail Marzuki (TIM) Jakarta.
Keniscayaan
Tetapi, barangkali kegentingan ini juga sebuah keniscayaan.
Keniscayaan yang membuat festival ini menjadi bagian dari cara menelisik
bagaimana realitas urban memengaruhi pengalaman tubuh primordial. Ketiadaan
jarak mental dan pembesaran watak tubuh urban telah membuat tubuh para aktor bekerja
keras untuk mempersempit jaraknya dengan narasi primordial. Terutama lagi
sejumlah naskah yang disediakan dalam festival ini masih belum beranjak dari
narasi ihwal lembur dengan watak teks yang baku.
Kegentingan tubuh primordial akibat pembesaran tubuh
urban sesungguhnya ialah risiko yang niscaya dalam gerak modernitas. Oleh sebab
itulah, penampilan berpuluh kelompok teater dalam festival yang akan dimulai
bulan April mendatang ini, tampaknya bukan sekadar ingin dimaknai sebagai
peristiwa teater. Melainkan peristiwa manakala tubuh primordial berupaya
melakukan interupsi atas pembesaran narasi tubuh urban, seraya berharap kegentingan itu kelak berujung pada peluang berikutnya
dalam memaknai kekiniaan dan identitas. **
Ahda
Imran, penyair
Catatan: Dalam versi yang lebih ringkas esai ini dimuat di HU Kompas, Minggu 6 April 2015
Tidak ada komentar:
Posting Komentar