---Ahda
Imran, penyair dan esais
SANGAT
sulit memisahkan hubungan agama dan ekonomi, untuk tidak menyebutnya niscaya. Nyaris
tak ada aktivitas keagamaan yang tidak menimbulkan aktivitas produksi,
distribusi, konsumsi, atau memengaruhi grafik permintaan-penawaran. Tentu tidaklah
sulit menemukan contohnya. Naiknya grafik permintaan-penawaran kambing atau
sapi menjelang Hari Raya Idul Adha, atau kenaikan harga tiket berbagai angkutan
seiring tingginya angka permintaan menjelang lebaran. Yang sakral di situ memberi berkah bagi yang
profan.
Dalam hubungan semacam itu, ritus agama hadir sebagai fenomena yang
berkuasa atas tubuh penganutnya. Tubuh ritus yang hadir secara independen dan
otonom. Tubuh yang identifikasinya bisa dibaca dari Mircea Eliade (1949), yakni,
fenomena yang tidak bisa diartikan
sebagai produk realitas yang lain. Singkatnya, tubuh ritus ialah tubuh yang tak
berkorespondensi dengan realitas lain kecuali dengan realitas yang sakral,
dengan yang transenden. Sedangkan yang profan lebih hadir kemudian, dan tak
memiliki kesanggupan untuk memengaruhi tubuh ritus.
Namun, sebagaimana kita meniliknya selama bulan
Ramadan, hubungan agama dan ekonomi memperlihatkan pula keniscayaannya yang
lain. Keniscayaan yang bersebab dari pembesaran rezim konsumerisme sehingga
hubungan tersebut menjadi suatu paradoks. Dalam hubungan semacam itu, puasa
(Shaum) yang menekan pada pengekangan hasrat tubuh (jasmani) demi menimbulkan
pencerahan rohani, berada di tengah situasi yang membuatnya menjadi genting,
yakni, hasrat mengonsumsi, hasrat berbelanja.
Dalam kegentingan serupa inilah tubuh ritus
kehilangan independensi dan otonominya. Tubuh yang kehilangan konsentrasi
identitasnya sebagai tubuh sakral. Alih-alih sebentar menjarak dari hasrat profan
(duniawi), budaya konsumsi telah membawa tubuh puasa ke dalam kesibukan
berikutnya sebagai tubuh belanja. Oleh sebab itulah, bulan Ramadhan yang
semestinya menjadi interupsi atas budaya konsumsi, malah kian menjadi alasan
untuk makin mengonsumsi. Hal ini, misalnya, ditandai pula dengan meningkatnya
indeks kepercayaan konsumen saban memasuki Ramadan, terlebih menjelang lebaran.
Tubuh
Paradoks
Puasa Ramadan merupakan ibadah yang paling
introvert. Sejak Subuh hingga Magrib, setiap orang diperintahkan masuk ke dalam
tubuhnya yang paling privat. Di dalam ruang privat itu, segala hasrat ihwal tubuh
mengalami pengekangan, mulai dari makan-minum, libido, hingga kontrol terhadap
perkataan dan perilaku. Di dalam ruang privat itu, tubuh dengan segala hasrat
ketubuhannya ditarik pada kesadarannya
yang sakral. Maka tubuh puasa adalah tubuh sakral dan privat yang menginterupsi
berbagai hasrat ketubuhannya demi pencerahan rohani.
Namun, tubuh puasa ternyata adalah tubuh paradoks.
Tubuh yang muncul dari pengekangan sekaligus pemanjaan. Pemanjaan tubuh demi
menebus pengekangan bahkan telah terjadi sedari memasuki bulan Ramadan. Ini,
misalnya, bisa terbaca dari naiknya permintaan akan kebutuhan pokok, terutama
daging ayam dan sapi menjelang Ramadan. Meningkatnya konsumsi menjelang Ramadan
menyebabkan tubuh puasa berada dalam paradoks. Berpuasa dari hasrat-hasrat
ketubuhan namun menebusnya dengan tingkat konsumsi yang lebih tinggi dari
sebelumnya.
Meski demikian, seraya mentautkannya dengan keniscayaan
hubungan agama dan aktivitas ekonomi, pada batas-batas tertentu, tubuh paradoks
dalam tahap ini masih menyediakan alasan ihwal bagaimana yang sakral memberi
berkah pada yang profan. Tetapi, sangat pelik menemukan alasan yang sama
manakala tubuh paradoks itu berada di tengah hasrat konsumerisme. Hasrat
belanja yang melakukan seduksi (godaan) atas tubuh puasa sehingga Ramadan menjadi
paradoks yang lebih mendebarkan; tubuh puasa sekaligus tubuh belanja. Mengekang
hawa nafsu sekaligus ramai-ramai mengumbarnya di sisi yang lain.
Rezim
Konsumerisme
Tubuh paradoks selama Ramadan menjelaskan peta
hubungan agama dan ekonomi di bawah kuasa rezim konsumerisme. Bila sebelumnya
yang sakral memberi berkah pada yang profan, kini yang profan tidak lagi
menunggu turunnya berkah itu. Melainkan mengambil, merebut, memaksa, dan
mengkonstruksi atau mengemas berkah sebagaimana yang diinginkannya. Rezim konsumerisme dalam
konteks ini telah mengambil alih pesan-pesan sakral agama. Mengalihkannya
menjadi alasan atau pembenaran sehingga kian besarnya keperluan orang untuk mengonsumsi.
Bahkan, bisalah dikatakan rezim konsumerisme ini seolah
telah menjadi agama baru yang mengemas berbagai pesan puasa Ramadan dan lebaran
menjadi seruan mengonsumsi. Seperti
terlihat dari iklan berbagai produk di
TV yang memakai tema puasa dan peristiwa lebaran. Oleh sebab itu, menjadi lumrah adanya bila
besaran pertumbuhan ekonomi jauh lebih cepat ketimbang munculnya gelagat kesadaran
atau semacam pencerahan rohani. Sekurang-kurangnya bisa ditilik dari dampaknya di
ranah sosial.
Di bawah rezim konsumerisme tubuh puasa adalah tubuh
belanja. Tubuh yang membelah dirinya dan
kehilangan independensi serta otonominya sebagai tubuh sakral dalam ruang yang
introvert. Orang berpuasa namun tubuh sakralnya tak lagi berada dalam realitas
yang paling privat akibat tekanan rezim konsumerisme. Rezim yang sebagaimana dikemukakan
Baudrilaard (1970), berwatak eksternal dan memaksa.
Oleh pemaksaan inilah tubuh puasa yang sakral,
privat, dan introvert menjadi kerumunan peristiwa mengonsumsi dalam fenomena
kolektif yang berlangsung saban tahun.
Oleh pemaksaan ini pula puasa Ramadan akhirnya seolah hanya menyisakan tradisi
atau rutinitas tubuh, ketimbang menjadi oase atau ruang untuk menjarak dan
menginterupsi rezim konsumerisme demi terbitnya pencerahan ruhani.
Tentu adalah lumrah bila selama puasa Ramadan
tingkat konsumsi melonjak naik ketimbang biasanya, terutama yang menyangkut
sejumlah kebutuhan pokok. Namun, menjadi tak masuk akal bila seluruhnya itu dijadikan
alasan untuk menciptakan tubuh belanja yang sibuk menimbun hasrat akan kelimpahruahan
mengonsumsi.
Bila pencerahan rohani hanya bisa dicapai lewat pengekangan
hasrat-hasrat tubuh seperti ritual berpuasa Ramadan, masih bisakah diharap
pencerahan rohani itu muncul dari tubuh belanja yang serakah mengkonsumsi? Tubuh
belanja yang makin sibuk mendorong dan mengisi trolinya setiap hari di mal-mal
sambil bergumam, “Aku belanja, karena itu aku lebaran”**
Sumber : Pikiran Rakyat, 1 Agustus 2013
Tidak ada komentar:
Posting Komentar