Jejak
dan Bayang Manusia
Oleh AHDA
IMRAN
TOPENG
itu terbuat dari kayu. Berasal dari Suku Dogon
di Mali, Afrika. Bentuk hidung dan sepasang lubang matanya tampak besar.
Dibanding ragam dan watak topeng Afrika umumnya, tak ada yang aneh dengan
topeng itu. Yang tak lazim ialah topeng itu memiliki bagian kayu yang mencuat
ke atas, sekira setengah meter, dengan dua persilangan geometris mirip antene,
sehingga tampak futuristik. Bentuk topeng yang tak lazim itu bertaut erat
dengan tradisi lisan Suku Dogon yang meyakini, bahwa mereka adalah keturunan
mahluk luar angkasa. Tak jelas sudah berapa
tahun usia topeng itu. Dari tekstur dan warna kayunya, topeng itu tampak sudah
sangat tua, disimpan di balik lemari kaca.
Tak jauh dari situ, terdapat lemari berikutnya yang
berisi beragam topeng Afrika lainnya. Sedang di ruang berikutnya, dalam deretan
lemari kaca, tersimpan sejumlah topeng tua yang berasal Nusantara. Di antara
yang paling menarik ialah topeng ritual dari Kalimantan yang disebut usianya
sekira dua abad. Berbeda dengan umumnya topeng ritual Suku Dayak (Hudoq),
topeng tersebut terkesan purba dan magis, terbuat dari sepotong kayu mirip buah
labu dengan kerutan tekstur yang kasar seolah terbentuk oleh peristiwa alami.
Tak ada keterangan lebih jauh, kecuali teks di bawahnya yang menyebutkannya sebagai “Topeng Ritual Borneo” yang biasa terdapat di dalam goa. Demikian pula dengan topeng kecil berwarna kehijauan dengan ekspresi yang sedih, dan disebut sebagai Topeng Kematian, jejak peninggalan di masa Majapahit. Sementara di tempat lainnya, dalam beberapa bangunan berbentuk joglo, tersimpan beragam jenis wayang. Tak hanya wayang Jawa, Betawi, dan Sunda, atau juga Si Gale-gale (Batak), tetapi juga Wayang Gantung (China) atau Wayang Tongkat (Italia).
Topeng-topeng dan wayang itu ada di Rumah Topeng dan
Wayang Setia Dharma, Ubud Bali. Tempat ini mengoleksi 1.300 topeng dan 5.700
wayang dengan beragam jenis dan berasal dari
seluruh Indonesia, termasuk Asia dan
Afrika. Lebih dari sekadar jumlah koleksinya yang bisa dikatakan terlengkap di
Indonesia, tempat ini menjadi penting dan menarik demi membaca jejak perjalanan
manusia dan kebudayaannya.
Jejak yang tak hanya terbaca pada langgam atau unsur
kebentukan, namun pula pada kesadaran dan pemaknaan di sebaliknya.
Termasuk dalam konteks fungsinya sebagai ritual (transenden), seni dan pertunjukan (profan), atau yang
sekaligus bermakna sebagai kesatuan keduanya. Topeng Suku Dogon, misalnya, yang
berhubungan dengan kepercayaan ihwal mahluk asing di luar angkasa sebagaimana
juga terdapat pada Suku Maya di Peru. Pula
demikian dengan Topeng Borneo yang purba disebalik terasa benar begitu magis
menatapnya.
Bila topeng-topeng ritual terasa lebih menekan pada
suasana, maka sejumlah topeng pertunjukan tampak lebih menonjolkan sisi perwatakan.
Mulai dari ekspresi, bentuk anatomi wajah, warna, ukuran, hingga ornamen ragam
hiasnya. Namun karena seni pertunjukan ialah bagian utuh dari tradisi suatu
komunitas etnis (kultur), watak dan bentuk topeng-topeng juga merepresentasikan
banyak ihwal. Mulai dari sebaran geokulturalnya atau simbol sistem nilai dan
idiom-idiom lokal yang termaktub dalam watak, warna, ornamen hiasnya. Pemiuhan
bentuk anatomi wajah banyak ditemukan pada topeng tokoh lelucon (bodor),
misalnya, Topeng Jiweng (Sawo Gletak) dari Wonosobo.
Demikian pula topeng yang mengambil bentuk wajah
binatang tertentu yang disucikan, sebutlah, ular naga atau Hudoq. Jenis topeng ini
fokus umumnya ditaruh meletakkan pada mulut dan taring demi melukiskan kekuatan.
Pemilahan topeng ritual dan seni pertunjukan, pada beberapa topeng, pula
menjadi kesatuan. Pada jenis ini, imaji bentuk binatang sangat ditonjolkan
dengan wataknya yang menyeramkan dan mistis atau bentuk topeng realis yang
khusyu dan diam dalam warna putih serupa Topeng Panji (Cirebon), atau yang
menampilkan wajah orang tua yang bijak seperti yang tampak pada topeng-topeng
Jepang
Wayang,
Beragam Bayang
5.700 wayang yang dikoleksi di tempat ini merupakan
bukti betapa panjangnya jejak tradisi boneka yang ada di berbagai bangsa.
Keberbagaian ini tak hanya menjelaskan kreativitas bentuk atau format
pertunjukan, melainkan pula narasi dan mitos yang melatarinya. Di tempat ini
terdapat seluruh ragam seni boneka dari
seluruh Indonesia. Baik dalam pengertian seni boneka serupa Si Gale-gale,
hingga yang beragam boneka kayu dan kulit dalam rupa wayang.
Setiap geokultur menampilkan bentuk dan karakter
wayang yang berlainan meski dalam rupa yang sama. Sebutlah, wayang beber Bali yang berbeda
dengan wayang beber Jawa, meski keduanya mengisahkan lakon
Mahabharata-Ramayana. Koleksi beragam wayang ini juga menjelaskan bagaimana
tradisi ini hidup dalam setiap lapisan masyarakat, sebagaimana tampak pada
Wayang Kaper. Wayang kulit berukuran kecil dibuat dengan sangat apik yang pada
masanya biasa dipakai untuk berlatih mendalang oleh para anak-anak raja.
Tak
jauh dari deretan Wayang Kaper, juga berderet Wayang Suket yang terbuat dari rumput. Wayang yang
berasal dari Purbalingga Jawa Tengah ini merupakan permainan wayang yang biasa dimainkan oleh anak-anak dari kalangan rakyat.
berasal dari Purbalingga Jawa Tengah ini merupakan permainan wayang yang biasa dimainkan oleh anak-anak dari kalangan rakyat.
Selain tentunya beragam wayang kulit, terdapat pula
Wayang Golek dari sejumlah daerah di Jawa Barat, di antara Wayang Golek Pakuan,
Wayang Golek Cimareme, dan Wayang Golek Purwa Bogor. Yang menarik ialah Wayang
Golek Pakuan. Bukan karena jenis wayang
ini sudah langka, namun karena lakon yang dimainnya bukanlah lakon Mahabharata,
Bharatayudha, Ramayana. Akan tetapi mengambil lakon dari kisah sejarah atau
legenda lokal, karena itu tokoh wayang ini di antaranya Pangeran Kornel,
Gubernur Jenderal J.P. Coen, sampai Prabu Siliwangi.
Demikian pula dengan Wayang Lenong Betawi yang bentuknya lebih merupakan boneka kayu manusia yang dibuat mirip. Lakonnya diambil dari cerita masyarakat Betawi. Maka tak aneh bila di antara deretan wayang ini terdapat wayang “Si Manis Jembatan Ancol”.
Demikian pula dengan Wayang Lenong Betawi yang bentuknya lebih merupakan boneka kayu manusia yang dibuat mirip. Lakonnya diambil dari cerita masyarakat Betawi. Maka tak aneh bila di antara deretan wayang ini terdapat wayang “Si Manis Jembatan Ancol”.
Bukan
Museum
Menurut Staf Rumah Boneka dan Wayang Setia Dharma,
A.Prayitno, seluruh koleksi yang dipamerkan barulah setengah dari jumlah
koleksi yang dimiliki. Berangkat dari kecemasan punahnya jejak tradisi topeng
dan wayang, Rumah Boneka dan Wayang ini didirikan tahun 1998, dan sepenuhnya
dikelola secara partikulir tanpa campur tangan pemerintah. Setiap hari tempat
dikunjungi oleh masyarakat umum, anak sekolah, mahasiswa, sampai penggemar
wayang dan topeng, atau para peneliti.
Meski pada teknis kerjanya persis sebuah museum
(mengoleksi, merawat, dan memamerkan), namun A. Prayitno menolak sebutan itu. “Karena
sebutan “Museum” konotasinya berjarak, maka kami lebih suka menamakannya dengan
“Rumah”.
Mengoleksi benda-benda langka seperti topeng dan
wayang tentu tidaklah mudah. Terlebih banyak topeng dalam masyarakat etnis yang
masih dikeramatkan. Menurut A.Prayitno banyak kendala yang mesti dilalui untuk
mendapatkan sebuah topeng semacam itu. Mulai dari memberi pengertian pada puak
atau suku pemiliknya, sampai melakukan berbagai upacara sebagai syarat. Kesulitan lainnya ialah menarasikan topeng
tersebut karena tak adanya data. Jalan yang ditempuh akhirnya adalah
mengumpulkan informasi dari masyarakat, terutama mereka yang sudah sepuh.
“Tak terbayangkan bagaimana seandainya generasi
tersebut sudah tak ada,”ujar A.Prayitno.**
Sumber: Pikiran Rakyat, 14 Juli 2013
Tidak ada komentar:
Posting Komentar