Ahda
Imran, penyair dan esais
SETAHUN setelah harian ini menganugerahinya “Pikiran Rakyat Award 2012” untuk kategori
“Tokoh Muda Kreatif”, Ridwan Kamil
memenangi Pilwalkot Kota Bandung 2013. Usianya
42 tahun. Mungkin ia walikota termuda dalam sejarah Kota Bandung. Inilah kali pertama Bandung dipimpin oleh
seseorang di luar apa yang telah menjadi “tradisi” sejak masa Orde Baru, yakni,
pensiunan tentara atau birokrat. Bahkan, kecuali diusung oleh partai politik
yang mencalonkannya, pula ia bukanlah seseorang yang selama ini diidentifikasi
sebagai politikus, aktivis partai, atau anggota sebuah ormas yang ditautkan
dengan partai politik tertentu.
Ia selama ini lebih dikenal sebagai arsitek dengan
sejumlah gagasan serta proyek arsitektur ruang perkotaan di tengah perkembangan
masyarakat urban. Ringkasnya, ia berasal dari luar lingkaran kekuasaan dan
pemerintahan. Tak memiliki referensi pengalaman apa pun perihal jaringan
birokrasi kekuasaan atau pemerintahan. Ini menjadi menarik, sebab kekuasaan niscaya bersoal dengan bagaimana
kekuasaan itu dijalankan. Terlebih manakala kekuasaan itu dijalankan sonder
referensi pengalaman, termasuk ihwal tata kelola pemerintahan atau watak dan
etos kerja birokrasi.
Bagi sekalangan orang ini dianggap genting dan mendebarkan.
Apalagi untuk secepatnya berharap dia mampu
membenahi berbagai kondisi Kota Bandung yang centang-perenang. Pesimisme itu
masuk akal. Apalagi memimpin sebuah kota tidaklah serupa dengan mendesain atau
merancang suatu gedung. Memimpin kota ialah mengurus sebuah ruang administrasi
politik beserta khalayak di dalamnya, dengan beragam hasrat dan kepentingan
yang kudu dilayani. Belum lagi bila ditautkan dengan kenyataannya sebagai suatu
jabatan politik, sehingga niscaya ada banyak ihwal yang harus dikompromikan.
Tentu saja itu benar. Tetapi, datang sebagai yang
bukan bagian dari jaringan kekuasaan dan lingkaran birokrasi pemerintahan, atau
sebagai yang liyan di ranah politik, tidaklah lantas menyebutnnya tanpa
referensi. Sekurang-kurangnya, jaringan kekuasaan, lingkaran birokrasi
pemerintahan dan politik semacam itu, bukanlah referensi tunggal. Maka,
tampilnya yang liyan tanpa referensi kekuasaan, birokrasi pemerintahan, dan
jaringan politik, menjelaskan betapa seluruh referensi semacam itu dianggap tak
lagi mencukupi, untuk tak menyebutnya menjenuhkan.
Lepas dari beragam gugatan dari calon lainnya, tampilnya
yang liyan memimpin Bandung merupakan bentuk ketakpuasan khalayak pada jaringan
kekuasaan dan pemerintahan selama ini. Referensi pengalaman berada dalam
lingkaran kekuasaan atau jaringan pemerintahan dan politik, telah kehilangan
sugestinya di hadapan fakta betapa kota ini tumbuh tanpa utopia. Agaknya hasrat
pada utopia itulah yang membuat orang memilih yang liyan.
Kota
Tanpa Utopia
Dalam pengertiannya yang negatif, utopia itu eskapisme. Angan-angan yang tidak
berkesesuaian dengan kenyataan Sebaliknya, utopia menjadi suatu keperluan demi
membangun mimpi dan cita-cita bersama, tanpa lantas menjadi jargon.
Kekecewaan Gubernur DKI Joko Widodo pada pelaksanaan
Pekan Raya Jakarta (PRJ) 2013, sehingga ia mengadakan even Pesta Rakyat di
Monas, disadari atau tidak, merupakan bagian
dari desain strategi membangun sebuah utopia ihwal rakyat sebagai subjek
kotanya.
Kota bukanlah melulu ruang geografis. Melainkan
lebih bersoal dengan ruang khalayak yang minta dimaknai sebagai subjek. Tak ada
yang lebih mendebarkan ketimbang kota yang dipimpin tanpa utopia ke arah itu.
Kota yang gagal ialah kota tanpa utopia. Kota yang tumbuh dengan agenda
kebijakan yang tak berasal dari ruang khalayak sebagai subjek cita-cita dan
mimpi bersama. Alih-alih mendesain sebuah utopia, kota yang gagal lebih
disibukkan oleh beragam produksi
ungkapan yang dalam praktiknya tak lebih sebagai jargon.
Sebutlah, ungkapan “Kota Seni Budaya” yang sekadar
ditandai oleh ramainya pertunjukan Doger
Monyet di persimpangan jalan, bangunan-bangunan bersejarah yang dihancurkan, massifnya komersialisasi ruang publik. Atau ini;
ungkapan “Kota Bermartabat” seraya pembesar kotanya dililit kasus korupsi. Juga
“Kota Jasa” tapi kondisi jalannya jelek
dan banyak sampah. Fakta semacam ini membuat ruang khalayak menjadi apatis dan
pesimis. Akhirnya tak ada cita-cita dan mimpi bersama, kecuali cita-cita
bersama di antara pengusaha dan penguasa.
Subjek
Otonom yang Kreatif
Sulit menemukan alasan untuk tidak menyebut
bahwa Bandung ialah kota tanpa utopia.
Terlebih mentautkannya pada relasi arsitektur ruang kota dan ruang khalayak. Arsitektur
ruang di kota ini lebih merepresentasikan ideologi pembangunan yang
transaksional dan pragmatis bagi hasrat budaya konsumsi, ketimbang menaruh
ruang khalayak sebagai subjek. Seraya bersikap apatis pada pihak pengelola
kota, khalayak akhirnya membangun ruang subjek otonominya lewat beragam
komunitas kreatif. Walhasil, manakala sekira
tahun 2008 didapuk oleh lembaga internasional seperti BBC sekira tahun 2008 sebagai
“Kota Kreatif” di Asia, pertanyaan “Siapakah yang kreatif, warga atau pemerintah
kotanya”, tentu saja sangat mudah dijawab.
Menyusur masa silam Kota Bandung di tengah berbagai
perubahan, dinamika, dan karakter khalayaknya, sangatlah tak masuk akal bila
kota ini tak bisa memiliki sebuah utopia. Mimpi bersama seluruh individu warga
kota ihwal kotanya. Namun, utopia ini akan kembali sekadar menjadi jargon
sepanjang itu tidak dimulai dari lingkaran birokrasi pemerintahan. Mimpi dan
cita-cita bersama manakala etos para pengelola kota menjadi bagian dari
komunitas kreatif, dengan desain kebijakan yang memosisikan ruang khalayak
sebagai subjek.
Dan tampaknya inilah yang akan menjadi kerja besar
walikota yang baru. Sebagai orang yang liyan di tengah lingkaran birokrasi
pemerintahan dan tak memiliki referensi pengalaman, tentu saja ini bukan tugas
yang mudah. Namun, menjadi bagian dari khalayak komunitas kreatif merupakan referensi yang tak kalah
pentingnya. Hadirnya yang liyan dalam tradisi kepemimpinan di Kota Bandung,
baik pula dibaca bahwa utopia itu sedang dimulai.
“Jika ingin memperbaiki sistem, maka masuklah ke
dalam sistem”. Meski ungkapan lama itu terasa klise namun baik diingatkan pada
Ridwan Kamil, bahwa di dalamnya terdapat
pertanyaan yang genting; Apakah Anda yang
mengubah sistem, atau justru Andalah yang diubah oleh sistem? Dan sejumlah
fakta menunjukkan, yang terakhir itulah yang lebih banyak terjadi. Tabik,
Tuan Walikota!**
Catatan: Dalam versi pemuatan, tulisan berjudul "Utopia Suatu Kota"
Tidak ada komentar:
Posting Komentar