MARILAH kita mulai dengan seorang kawan.
Meski baru saja dua bulan yang lalu ia dan anak istrinya pulang kampung untuk
menghadiri perkawinan seorang kerabat sekaligus mengantar liburan sekolah anaknya, tapi sudah sejak tiga hari yang lalu seorang teman saya kembali
bersiap untuk kembali mudik.
Meski akhirnya
tiket kereta ekonomi itu sudah di tangan, persoalan ternyata belum selesai.
Bagaimana dengan oleh-oleh untuk ibu, bulik,
paklik, emang, uwak, bibi, atau anak kemenakan, dan kerabat lainnya di
kampung? Lalu terbayanglah barang bawaan yang angkaribung, dan jangan lupa, suasana 15 jam perjalanan yang
menyebalkan itu.
Tapi seperti
tahun-tahun sebelumnya, semua keadaan itu dilakoni dengan sikap seakan-akan
memang sudah demikian mestinya, tanpa perlu melihatnya sebagai beban. Saya
merasa kagum dan cemburu dengan kesabaran teman saya itu.
Setelah saya
tanyakan mengapa ia harus merasa perlu berlebaran di kampung halaman padahal
belum lama pulang dari sana, sambil mengikat kardus yang penuh dengan
oleh-oleh, teman saya itu malah nyengir.
“Beda atuh! Sekarang mah buat Lebaran, kemarin mah
buat Si Neneng liburan sekalian ada hajat kawin,” katanya.
Mungkin bisa
saja saya curiga bahwa keinginannya yang keras untuk mudik kali ini juga
dibayang-bayangi oleh keinginan pamer, baik di mata orang-orang kampung atau di
hadapan sesama para pemudik tentang keberhasilan hidup di kota. Tapi saya pikir
kecurigaan saya tidak pada tempatnya atau salah alamat, sebab sebagai buruh
pabrik yang juga merangkap tukang ojek, apa yang mau dipamerkannya? Busana
muslimah istrinya dan baju model putri-putrian anaknya yang dibeli di kaki lima
itu? Lalu apa juga yang harus dipamerkan dengan oleh-oleh yang cuma goreng
oncom, dodol, goreng tempe, dan ranginang mentah itu?
Jawabannya yang
polos dan bersahaja itu menarik, karena disitu kampung dipahami dari dikotomi
realitas waktu dan ruang yang berbeda dalam keperluan mendatanginya. Pulang ke
kampung untuk menghadiri pernikahan kerabat dan mengantar anak berlibur lebih
menekan pada pengertian kampung halaman sebagai keterangan tempat yang sifatnya
fungsional, ketimbang menghadirkan makna yang lebih dari itu.
Artinya, kampung
di situ tidaklah dimaknai sebagai waktu dan ruang dengan kepastiannya yang
tetap, melainkan bisa menjadi relatif. Bukankah tak ada keharusan bahwa anak
harus selalu liburan di kampung, misalnya. Dengan perkataan lain, kampung
halaman untuk keperluan itu lebih dipahami sebagai sebuah ruang yang profan.
Dan inilah yang
membedakannya dengan pulang ke kampung halaman ketika Lebaran. Pengertian
pulang di sini bisa saja bersebab pada keperluan dan kebutuhan merayakan Idul
Fitri itu bersama sanak-saudara dan orang sekampung. Namun, tidaklah
lantas semuanya berhenti di situ. Idul Fitri menyimpan realitas waktu dan ruang
yang lebih dari sekadar perayaan dalam pengertiannya yang pragmatis dan profan,
atau yang kemudian dimengerti dalam persinggungannya dengan kesadaran identitas
kolektif yang tengah ditegaskan kembali.
Satu hal yang
terang, berangkat pulang ke kampung halaman untuk berlebaran lebih dari sekadar
bersebab pada keinginan-keinginan di mana kampung halaman hanya menjadi tempat
yang fungsional sifatnya. Ada sesuatu yang menggerakkannya sehingga ia menjadi
semacam kebutuhan, di mana kampung halaman dipahami sebagai sebuah kepastian
yang tetap bahkan menjadi abadi. Lebaran telah menjadikan kampung halaman
sebagai bagian dari sakralitas waktu dan ruang. Dan sebagaimana sifatnya,
sesuatu yang dianggap sakral akan selalu bersifat komunal.
Kampung halaman
sebagai ruang yang menjadi sakral pada setiap Lebaran juga menyimpan makna
simbolis dalam kesadaran setiap orang untuk mencari dan menemukan kembali
jejak-jejak awal sejarah dirinya. Sungkem,
bertemu kerabat, makan bersama, dan ramai-ramai ziarah kubur leluhur.
Kampung halaman
pada saat-saat Lebaran semacam itu didatangi sebagai semacam ziarah waktu dan
ruang, memberi tempat kembali pada roh masa lalu demi menemukan kesadaran
tentang kefitrahan manusia. Kefitrahan yang tak hanya terjadi di ruang privasi,
melainkan juga kefitrahan dalam seluruhnya. Kefitrahan sebagai sesuatu yang
sakral inilah yang membedakan makna kampung halaman pada saat-saat selain
Lebaran.
Tapi benarkah
bahwa setiap yang sakral niscaya juga bersifat komunal? Juga apa betul yang
sakral itu sekarang masih ada di tempatnya? Atau, sebenarnya apa sih kampung halaman itu?
“Saya mah tidak pernah bertanya kayak begitu,
karena saya punya kampung. Saya punya kampung karena itu saya mudik, “ kata
teman saya yang sedang mengikat kardus oleh-oleh untuk pulang mudik itu.
“Saya mudik
karena itu saya ada!” celetuk saya berseloroh. Teman saya sebentar termenung,
lalu meneruskan kembali pekerjaannya.
Di jalan pulang
saya masih memikirkan kata-katanya tadi. Kampung halaman sebagai ruang sakral
pada saat Lebaran ternyata tidak memberi tempat pada setiap pertanyaan.
Sesuatunya tiba-tiba menjadi pasti. Mudik menjadi perjalanan yang ritual di
mana setiap orang hanya diharuskan melakoninya. Tapi siapakah yang
mengharuskannya? Saya diam-diam jadi curiga, jangan-jangan yang sakral itu
sebenarnya cuma anggapan ketimbang kenyataan.
Ketika saya
hendak menyelesaikan tulisan ini, teman saya itu baru saja singgah untuk pamit
sekaligus menitipkan kunci rumah kontrakannya, dan istrinya bertanya, “Mudiknya
ke mana?”
“Tidak ke mana-mana. Di sini saja,”
kata saya. Dan tiba-tiba saja saya merasa sendirian.**
SUMBER: Pikiran Rakyat, 7 November 2004
Tidak ada komentar:
Posting Komentar