Oleh AHDA
IMRAN
TAK ada yang aneh dengan kolong meja. Selain
tempat orang menjulurkan kakinya sambil duduk mengerjakan semua urusan di atas
meja, tak ada yang kudu dipersoalkan dengan kolong meja. Semua persoalan dan
urusan berlangsung di atas meja. Meja merupakan sebuah “arena”, tak hanya
pekerjaan dan urusan pribadi. Tapi juga perbincangan, perjanjian dan mufakat
atau kesepakatan sosial yang semuanya berawal serta diresmikan di atas
meja. Oleh sebab itu, meja akhirnya kerap
pula dipahami bukan melulu sebagai benda, namun suatu metafora, representasi
dari realitas yang sudah menjadi kesepakatan dan bisa dijelaskan. Maka tak ada
yang lantas menjadi penting dengan ruang yang berada di bawahnya, yakni, kolong
meja. Ruang yang bukan sebuah “arena” melainkan melulu kegelapan.
Kolong meja ialah ruang yang selalu luput diperiksa,
dan karena itulah diam-diam ruang itu
telah berpindah ke atas meja. Sementara meja itu tetap tak bergerak dan semua
berlangsung seolah baik-baik saja. Metafora
serupa ini menyaran pada kesadaran betapa kian peliknya membedakan kenyataan
yang sesungguhnya dan kenyataan yang dikonstruksi oleh sebuah kesepakatan di
bawah meja. Ruang di kolong meja telah melakukan migrasi besar-besaran ke atas
meja.
Bila mentamsil Indonesia adalah sebuah meja, sulit
menyangkal betapa fenomena inilah yang kini berlangsung. Meja yang menjadi
arena berlangsungnya berbagai perselingkuhan sosial, politik, hukum, moral, dan
etika, yang seluruhnya kian rumit sehingga orang tak lagi tahu; apakah ia berada
di atas meja atau di kolong meja. Terlebih manakala media telah menjadi
panglima.
Inilah yang kini tengah menjadi kesibukan pelukis
Hanafi, memikirkan dan merenungi kolong meja. Hasilnya berupa duapuluh lukisan
dengan objek berukuran rata-rata 2 x 2.20 Cm dan dua karya instalasi. Kolong meja sebagai tema tak hanya ia
hadirkan dalam sejumlah karya terbarunya , melainkan ingin pula menjadi semacam
penawaran ihwal diskursus praktik-pemaknaan atas ruang. Ruang yang selama ini
dianggap tak lazim dan luput diperiksa sebagai metafora yang merepresentasikan adanya
kenyataan liyan yang menyelubungi
segala yang berlaku di atas meja. Ini
menarik, karena sekurangnya ajakan itu membetot pemikiran ke arah pengamatan kritis
ihwal bagaimana hasrat-hasrat terselubung manusia melakukan konstruksi nalar
atas kenyataan.
Akan banyak contoh soal bila mesti menyebut berbagai
isu dan peristiwa di negeri ini yang tak menjelas apa pun kecuali keniscayaan
bahwa ada sesuatu di balik semua itu. Sesuatu yang bergerak dari kolong meja.
Mulai dari isu dan peristiwa politik, hukum, ekonomi,korupsi, kekerasan sampai
yang terkesan remeh temeh, seperti kasus Eyang Subur. Maka kolong meja yang diusung Hanafi seolah merupakan
penawaran ihwal cara memandang seluruh kesepakatan kita di atas meja, bahwa ada
ruang di bawah meja yang selama ini tak pernah kita periksa dalam menatap
realitas.
Neon
di Kolong Meja
Di atas meja, semua urusan atau kesepakatan
dihadirkan, legal-formalnya mudah diidentifikasi. Tapi apa yang bergerak di
kolong meja sangat jarang dipersoalkan. Meski
kolong meja yang teramat dekat dengan tubuh setiap orang, ruang itu sangat
jarang diterangi agar tak menjadi gelap.
Mengambil metafora itulah Hanafi lalu menyiapkan sebuah karya instalasi berupa
meja dengan lampu penerang yang ditaruh di bawah meja.
Seraya menjadi semacam ajakan agar orang memeriksa
kolong meja, karya ini tengah memeriksa hasrat gelap manusia yang tersembunyi
jauh dari permukaan meja. Dalam konteks budaya kuasa yang sedang riuh
berlangsung, karya ini sedang memperkarakan apa yang semestinya kini mendesak
dikerjakan. “Sekarang”, kata Hanafi, “Soalnya
bukan lagi bagaimana memproduksi janji-janji di atas meja, tapi bagaimana
mengurus kolong meja. Sekarang korupsi itu bisa terjadi di atas meja, tentu
bersama koloni-koloninya nya; itu terjadi di atas meja.”
Di kolong meja segala ihwal sangat sulit untuk
diikuti. Ada banyak gerak yang tidak mudah terjelaskan dan dimaknai,
sebagaimana kegelapan yang banyak sekali jenisnya. Di dalamnya ada banyak
praktik-praktik tak terduga yang diam-diam mengemuka ke atas meja dan kerap
mengotori hakikat dari suatu permufakatan. Perihal ini, Hanafi mengemukakannya
dalam tulisan pengantar kuratorial Jim Supangkat pada pameran tunggalnya
“Enigma”(2007), “Perjanjian tentang segala hal tidak bisa dipegang karena kita
tidak bisa memastikan perjanjian yang tidak muncul sebagai perjanjian.
Perjanjian selalu terjadi di atas meja, tapi kita tidak tahu perjanjian yang
ada di kolong meja.”
Dalam pameran tunggalnya yang sedang dipersiapkan
tahun ini, “Migrasi Kolong Meja”, Hanafi hendak menating kisah ihwal ingatan
banyak orang pada banyak ragam permufakatan yang hakikatnya telah diselewengkan
oleh permufakatan segelintir orang. Orang-orang yang bersembunyi di dalam
gelap, di bawah meja.
Di atas meja, semuanya telah kehilangan hakikatnya
sebagai sebuah mufakat demi kebajikan bersama. Mufakat ihwal politik dan demokrasi,
misalnya, yang kian kehilangan hakikatnya karena lebih direcoki oleh berbagai
mufakat kekuasaan para elite di bawah meja. Sehingga yang tersisa di atas meja
hanyalah politik demokrasi yang prosedural, yang tinggal kulitnya.
Untuk merepresentasikan hal tersebut, di atas
kanvasnya Hanafi sengaja tak mengubah posisi objek meja. Meja tetap dihadirkan
kukuh berdiri. Baginya, ini semacam kesengajaan untuk menghadirkan ironi yang
terjadi, beralihnya berbagai kesepakatan gelap dari bawah meja ke atas meja.
Dan dalam pandangan Hanafi seluruhnya terjadi dalam peristiwa yang ritmik, mulai
dari pemilu, pilkada, dan berbagai peristiwa kesepakatan lainnya. Kegelapan yang selalu melahirkan kegelapan
berikutnya, dan semua terus merambah tidak hanya di bawah meja tapi juga di
bawah kursi.
“Dan semua ruang yang berada di bawah meja itu
menjadi fenonema di atas seluruh dinamika yang kita gambarkan sebagai yang tak
ada persoalan,” kata Hanafi.
Kolong meja ialah ruang keseharian yang dekat benar
dengan tubuh setiap orang. Semua
kehadiran bermula dan berlangsung di atas meja. Tetapi, sangatlah pelik untuk
memastikan apakah benar semua berada di atas meja, atau sesungguhnya yang
terjadi adalah hasil dari kesepakatan di bawah meja? Entahlah, ini soal hasrat
di balik politik realitas. Tapi satu hal yang jelas, tulisan ini dikerjakan di
atas meja yang juga mempunyai kolongnya. **
Sumber: Pikiran Rakyat, 5 Mei 2013
Tidak ada komentar:
Posting Komentar