SEJARAH
masakan ternyata tak melulu berisi sejarah
awal mula imprealisme, seperti Jack Turner menulisnya dengan bagus dalam Sejarah Rempah: Dari Erotisme sampai
Imprealisme (2011). Tapi juga menyoal dapur dan bagaimana perempuan
dimaknai. Dalam masyarakat lelaki, dapur ialah ruang domestik sebagaimana tubuh
perempuan yang tak pernah dimaknai sebagai tubuh publik. Dapur tampakya
bukanlah semata ruang yang fungsional, melainkan pula tempat tubuh perempuan
dikoloni. Dari tempat itulah perempuan diukur kesempurnaannya melayani suami,
dengan kemampuannya memasak. Setidaknya tak ada seorang pun suami yang merasa
menanggung dosa besar jika ia tak pandai memasak.
Dapur adalah tubuh perempuan. Inilah yang ditulis
oleh Eka Kurniawan “Kutukan Dapur” dalam kumpulan cerpennya “Cinta Tak Ada Mati
dan Cerita-cerita Lainnya” (2005). Lalu cerpen ini dialihwahanakan oleh
kelompok teater DarahRouge Bandung, menjadi sebuah lakon pertunjukan berjudul
“Cooking and Murder” dengan sutradara Karensa Dewantoro.
Pertunjukan ini berlangsung di Auditorium Institut Francis Indonesia (IFI) Bandung, (15/3).
Pertunjukan ini berlangsung di Auditorium Institut Francis Indonesia (IFI) Bandung, (15/3).
Pertunjukan ini menarik bukan semata bagaimana
rangkaian aksara di kertas sebagai sebuah teks cerpen, dialihkan ke panggung dan dijelmakan menjadi peristiwa tontonan yang
niscaya hadir dengan dengan hukum komunikasinya yang berlainan, seraya meminta
penilaian yang berbeda. Tetapi pula pada
bagaimana pertunjukan ini mampu menghampiri dan melakukan eksplorasi tematik
yang, pada beberapa bagian, menajamkan atau bahkan menghadirkan gagasan
kesadaran berikutnya yang luput terangkum dalam teks muasal.
Namun lebih dari itu, tentu saja adalah bentuk
pertunjukan, konsep pemanggungan. Dan, ini yang terutama bagaimana, pertunjukan
ini secara sengaja menghadirkan sejumlah aktor perempuan yang sama sekali tak
memiliki referensi pengalaman sebagai aktor . Dengan kata lain, “Cooking and
Murder” merupakan pengalaman pertama mereka di atas panggung teater. Dan jika
ini diniatkan sebagai strategi yang lain demi menampilkan wajah yang liyan dalam keaktoran, strategi tersebut
mampu menyuguhkan tontonan yang menarik. Setidaknya, pertunjukan ini berhasil
menawarkan tubuh-tubuh aktor yang bersahaja, yang berada di luar tubuh
keaktoran yang cenderung telah menjadi streotipe.
Kutukan Dapur
merupakan sebuah cerita berbingkai. Mengisahkan Maharani yang tak pandai
memasak yang mencari resep masakan di museum kota, yang justru mempertemukannya
dengan kisah lama tentang Diah Ayu di tahun 1870-an. Seorang perempuan gundik
Belanda perkebunan yang pandai memasak. Dengan bumbu racikannya itu ia menjadi
kesayangan orang-orang Belanda. Diah Ayu membunuhi mereka dengan cara yang
sangat cerdas, yaitu, dengan masakan dengan bumbu yang mematikan. Diah Ayu
menjadi inspirasi Maharani untuk membunuh suaminya agar ia terbebas dari
kutukan dapur dan tempat tidur.
Dapur,
Koloni, Lelaki
Di panggung, “Cooking and Murder” menjelmakan dapur
sebagai tubuh perempuan dan hubungannya dengan penemuan rempah-rempah dan
imprealisme. Sejarah rempah-rempah adalah dunia lelaki, seperti juga sejarah kolonialisme. Sejarah
koloni yang terus dirawat dan mengikat tubuh perempuan di dapur. Dapur dan meja
makan menjadi prosesi tubuh perempuan sebagai koloni di hadapan kuasa suaminya,
dan inilah yang dihadapi Putri (Ajeng Sriramdhani). Pada bentuk yang lain,
resistensi itu berlangsung dalam tubuh Wanita (Aida Agustina) yang memberontaki
perabotan dapur. Ia menolak dapur dan
kepandaian memasak dalam hubungannya dengan identitas pemaknaan perempuan. Bila
Putri setiap hari dibingungkan oleh kemarahan suaminya karena tak bisa memasak,
Wanita disibukkan oleh perlawanannya atas kuasa identitas perempuan yang
ditegakkan di dapur dan masakan.
Di antara konflik kedua perempuan ini terdapatlah
Ibu (Epiest Gee), sosok yang menuturkan kisah Diah Ayu. Ibu yang sepanjang
pertunjukan tak hanya menjadi narator, namun juga hendak menjadi representasi
dari Diah Ayu. Perempuan yang sepanjang pertunjukan hanya duduk di atas tanah
di antara tanaman dan bumbu-bumu yang siap diracik. Pula begitu dengan Emcee
Yunis Rica-rica (Rika Indrawati) dan Emce Karensa Va Der Klappertar (Karensa
Dewantoro). Keduanya melapis pertunjukan dengan berbagai ihwal sejarah masakan
dan bumbu, sejak masa awal kolonialisme, interaksi budaya, hingga terbentuknya identitas dan kuasa
lelaki. Keduanya juga seakan merepsentasikan suatu masa yang berada di
belakang.
Pertunjukan mengalir lewat narasi Diah Ayu yang
dituturkan Ibu, seakan ia tengah bercerita tentang dirinya. Narasi itu kemudian
dilapisi oleh adegan-adegan yang saling beralih, antara Putri yang
merepresentasikan sosok Maharani dan Wanita. Di situ soalnya bukan lagi dapur,
memasak dan masakan. Tapi apa dan bagaimana kekuasaan patriakat beroperasi
melalui dapur dan masakan. Dan sejarah sebagai ranah publik tentu bukanlah
milik perempuan, melainkan milik sejarah kuasa lelaki. Irama pertunjukan
sesekali membetot masuk ke dalam kisah Diah Ayu dan kepandaiannya meracik bumbu
masakan, untuk lantas menghadirkan tegangan relasi antara watak Wanita dan
Putri, antara dendam dan kepasrahan perempuan.
Sedang Emcee Yunis Rica-rica dan Emce Karensa Van
DerKlappertar sesekali melakukan penyiasatan dialog di luar teks muasal,
memperkaya sejumlah detail ihwal masakan dan sejarahnya. Di sini irama
pertunjukan jadi menarik dan segar. Tubuh keduanya yang karikatural
menghadirkan teks yang lain dalam menghampiri sejarah masakan dan interaksi
budaya. Termasuk celetukan-celetukan Karensa yang aktual dengan situasi yang
terjadi, misalnya, tentang krisis bawang.
Klimkas hadir secara perlahan, ketika Putri tak
sengaja memasukkan kecap ke dalam semur yang dimasaknya, dan membuatnya
suaminya mengamuk dan pergi. Di tempat lain, Emcee Van DerKlappertar
menggelepar setelah mencicipi masakan. Ibu pun roboh di pangkuan Wanita. Dapur
dan masakan bisa menjadi pembunuh yang paling cantik dalam pikiran perempuan
yang hendak melepaskan tubuhnya dari koloni para lelaki.
Kebersahajaan
Tubuh Aktor
Sebagai sutradara, Karensa Dewantoro tampaknya sadar
benar bahwa dalam konteks alih wahana, meminjam istilah Sapardi Joko Damono,
sebuah cerpen bukanlah naskah lakon yang bertumpu pada dialog. Di sini ia
leluasa melakukan tafsir, termasuk dalam penokohan dan bangun perwatakan. Ada
perluasan ruang pada konflik sekaligus menajamkan fokus gagasan. Watak Putri
dihadirkan dalam kebingungan dan kepolosannya, istri yang setiap hari selalu
memikirkan apa yang harus dimasaknya sehingga ia tidak mendapat kemarahan
suaminya.
Putri seakan mewakili posisi perempuan dalam tekanan
kuasa lelaki atas nama masakan. Tekanan yang membuatnya bisu dan hanya bisa
membuatnya berbicara dengan Pohon (Detty Kania). Percakapan Putri dengan Pohon
memang terasa menggelikan, tapi sebenarnya adalah metafora mengharukan.
Demikian pula Wanita yang berwajah dingin, yang membanting perabot dapur dan
berdiri tegak di atas meja makan.
Kehadiran Karensa Dewantoro sebagai sutradara
bisalah diduga merupakan strategi untuk melapis para aktor yang masih mentah di
panggung teater. Tapi ternyata tidak. Tak ada yag perlu dilapis. Para aktor
pemula itu tampil benar-benar sebagai tubuh yang bisa memberi hidup pada ruang
pertunjukan. Terutama Epiest Gee yang begitu tenang menarasikan kisah Diah Ayu.
Begitu pula Ajeng Sriramdhani yang dengan kebersahaja bisa menghidupkan
wataknya.
Bila ada satu hal yang terasa mengganggu dan terasa
dipaksakan, itu hanyalah peran Suami yang dimainkan oleh aktor perempuan. Tapi
apapun, tampaknya pertunjukan “Cooking and Murder” bisalah dianggap sebagai
dapur berikutnya dari sebuah kelompok teater yang menyajikan tubuh para aktor
yang liyan, yang bersahaja dan berada di luar tubuh-tubuh stro-tipe.**
Sumber: Khazanah Pikiran Rakyat, 17 Maret 2013
By Ahda Imran
BalasHapusTranslated into English by Alda Agustine
The history of cooking in Indonesia apparently is not only always about the beginning of imperialism, as written by Jack Turner in his book ‘The History of Spices: From Erotic to Imperiailsm’, but also about the kitchen and how women are perceived. In a patriarchal society, the kitchen is a private domain, which shouldn’t be exposed to outsiders. It is not just a functional room, but also a place where women are kept ‘prisoners’ and measured by how well they serve their husbands with their cooking ability.
The kitchen is the same as the women’s body, as said by Eka Kurniawan in his short story ‘The Kitchen Curse’, which is included in his anthology ‘Love Will Never Die and other stories’. The story was then staged by DarahRouge, a Bandung-based theater group, into a play called ‘Cooking and Murder’ directed by Kerensa Dewantoro. The show was held at the Institute Francais Indonesie (IFI) Bandung on the 15th of March 2013.
The show was interesting, not only because of the way the story was interpreted on stage, but also how some elements were added without changing the original meaning, and how the cast was chosen from those women without theater background. In other words, ‘Cooking and Murder’ was their first experience on stage. If this was meant to be a strategy to introduce new actresses, it surely worked.
Cooking and Murder is a story that comes in three fragments. One is the story of Maharani, a woman living in this modern day, who has no cooking skills. She then went looking for recipes in the public library, where she encountered the story of Diah Ayu, a woman who lived in the 1870s, a concubine of a Dutch landlord who was a good cook. She became a favorite thanks to her dishes. She then murdered several Dutch by combining the spices into deadly ingredients, a very smart way of finishing them off. Diah Ayu became the inspiration for Maharani to kill her husband so that she can set herself free from having to serve him all the times, in the kitchen and in bed. Another is a cooking show, where the hosts were telling the history of spices using Maharani’s story, and the last is a submissive wife and her angry husband, which actually represents Maharani’s past. The three scenes were interrelated and acted simultenously.
Thx for translet...
BalasHapus