--Ahda
Imran
Eloklah
manusia, menjelma dalam gulita
(Helian)
BAGI perindu kebenaran, pemeluk teguh karya seni
yang mengimani keindahan sebagai yang harus menyeru manusia pada laku kebajikan,
karya seni yang digubah dari getar sukma dan menuntun orang untuk menginsyafi
sinar benderang kemuliaan seraya mewaspadai kejahatan, Georg Trakl (1887-1904) dan
puisi-puisinya adalah contoh yang buruk—bahkan paling buruk. Baris puisinya di
atas hanyalah satu dari sekian karyanya yang tak patut dijadikan ajaran apalagi
teladan, pemujaannya yang setengah
mengajak orang untuk menjelma dalam gulita. Bahkan, penyair
yang juga pecandu narkotika ini pernah mengatakan, “Saya tidak berhak mengelak
dari neraka”. Na’udzubillahi himinndzaliq...
Dan ternyata itu belum cukup. Georg Trakl adalah
seseorang yang kepadanya seluruh kebencian mesti dialamatkan. Bukan hanya ia
pendosa karena mencandu narkotika yang membuatnya mengalami berbagai halunisasi
(skizofrina), tapi Trakl juga menjalin cinta gelap dengan adik perempuannya
sendiri, Grete. Hubungan inses ini telah berlangsung sejak keduanya masih
remaja. Ada banyak alasan untuk memaafkan seorang narkoba atau memaklumi seorang
yang memilih menjadi komunis, atheis, fasis, atau berbagai kejahatan dan
kelainan seks. Tapi sulit sekali menemukan alasan untuk memaklumi, apalagi
memaafkan, orang yang bercinta dengan adik kandungnya. Perbuatan yang bahkan
tak terpikirkan oleh para pengedar dan bandar narkoba sekalipun.
Sebaliknya, sebagaimana hidupnya, sajak-sajak Trakl
ialah dunia yang gulita. Sajak-sajak kelam yang ditulis oleh seorang pendosa,
seorang Skizofrenik yang menemukan dirinya sebagai pemuda yang Di petang hari,/ ia gemar berjalan-jalan di
kuburan yang terlantar, atau di remang/ kamar mayat memandangi jenazah, bintik-bintik
hijau/ kebusukan di tangan mereka (Mimpi
dan Kelam Jiwa).
**
LALU sajak-sajak semacam inilah yang dipilih oleh duet Berthold Damshäuser dan Agus R. Sarjono untuk diterjemaahkan ke dalam bahasa Indonesia. Proyek penerjemaah ini merupakan seri penerjemaahan puisi-puisi berbahasa Jerman ke dalam bahasa Indonesia yang ke-7. Ada 42 puisi yang termaktub dalam kumpulan bertajuk “Mimpi dan Kelam Jiwa”. Serupa kumpulan Seri Puisi Jerman sebelumnya— Rilke, Brecht, Goethe, Enzerberger, Nietzsche— kumpulan ini menyuguhkan Trakl dari dua ihwal, yakni, karya dan manusianya. Buku ini diluncurkan di sejumlah kota. Malang, Jakarta, Bandung, Tasikmalaya, dan Cirebon.
Seperti yang telah menjadi pakem dalam setiap format
seri buku Seri Puisi Jerman, pun dalam kumpulan ini Berthold Damshäuser memberi
pengantar yang begitu lengkap ihwal biografi Trakl. Menarik tentu, terlebih
Trakl dan puisinya tetaplah nama yang asing bagi publik sastra Indonesia. Meski
sejumlah karyanya telah diterjemahkan dan dimuat dalam dua antologi yang
dikerjakan oleh Berthold Damshauser dan alm. Ramadhan K.H., “Malam Biru di
Berlin” (1990) dan “Kau Datang Padaku” (1994). Pula demikian dengan Dian Apsari
dan Berthold Damshäuser yang menerjemahkan sejumlah sajak Trakl yang dimuat di Majalah Sastra Horison edisi Juni tahun
2000.
Pengantar Berthold Damshäuser mentautkan biografi
Trakl dan puisi-puisinya. Hal yang menjadi niscaya, sebab, sekurang-kurangnya,
biografi Trakl dimungkinkan menjadi pintu masuk yang leluasa untuk menghampiri nada
suram dalam puisi-puisinya. Lepas dari keniscayaan bahwa biografi seorang
sastrawan merupakan satu dari sejenis pendekatan terhadap karyanya. Terlebih
lagi pada Trakl, biografinya yang gelap dan puisinya yang nestapa, tak urung membuat
sajak-sajaknya seolah tak bisa lagi disendirikan.
Karena itulah dalam dua diskusi peluncuran “Mimpi
dan Kelam Jiwa”—di Bandung (12 September) dan di Tasikmalaya (14 September)—muncul
semacam “keluhan” bahwa biografi Trakl telah merebut perbincangan ihwal-ihwal
puisi-puisinya. Paling tidak, puisi-pusi Takl tak pernah dibiarkan sendiri
sebagai sebuah teks sebagaimana pengantar Berthold Damshäuser yang kelewat
menjelas-jelaskan sajak Trakl dengan tautan pada biografinya. Bahkan di Bandung, Arahmaiani menyebut
perbincangan tentang biografi Trakl telah menjadi semacam penghakiman.
Namun di luar soal itu, mengapung pula pertanyaan
ihwal pertimbangan memilih sajak-sajak Trakl dalam Seri ke VII Puisi Jerman
tahun ini. Terlebih lagi bila dihadapkan pada relevansinya dengan konteks
Indonesia hari ini. Bila terjemaahan seri sebelumnya—“Syahwat Keabadian” karya
Nietzsche—ada ditemukan semacam relevansi atau aktualitasnya dengan konteks
Indonesia dalam hubungan kekerasan atasnama agama sebagai lembaga; maka
relevansi atau aktualias semacam itu sulit ditemukan pada penerbitan karya
Trakl.
Malah sebaliknya, di tengah berbagai situasi yang membuat
orang Indonesia sulit menemukan alasan untuk optimis, mereka diperkenalkan pada
sajak-sajak pesimisme Trakl. Tanpa sajak-sajak Trakl dan riwayat hidupnya yang
durjana itu, Indonesia sendiri sudah
begitu mengerikan. Karena itulah diskusi peluncuran “Mimpi dan Kelam Jiwa” di
Bandung diawali dengan pertanyaan: Apa sebenarnya faedah membaca puisi-puisi
Trakl yang muram dan penuh nestapa itu bagi publik sastra Indonesia yang hidup
di sebuah negara yang tak kalah muram dan penuh nestapa ini?
**
ATAS pertanyaan tersebut ada banyak jawaban yang dipaparkan oleh kedua
penyunting/editor, juga dari sejumlah tanggapan peserta diskusi. Tapi dari
seluruhnya itu—termasuk juga dalam diskusi di Tasikmalaya—ada satu hal yang mengemuka
dan menarik untuk ditating ke ranah yang lebih luas. Sesuatu yang bersinggungan
dengan kesadaran banyak orang ihwal status karya seni sebagai keindahan yang
selalu dilekatkan pada konsep kebenaran. Atau dengan kata lain, betapapun
relatifnya kategorisasi atau parameter sebuah karya seni, tapi ia mesti
menyimpan gagasan tentang keindahan atau mendatangkan rasa indah pada manusia
yang dengan itu ia mencerahkan dan mengajak manusia untuk merenungi kebenaran.
Karya seni dan keindahannya haruslah menyeru dan
mengajak masyarakatnya pada kebajikan. Ringkasnya, keindahan adalah kebenaran
itu sendiri. Adapun karya-karya seni yang mengandung keindahan tapi cenderung
mengajak orang untuk berbuat maksiat, maka seni semacam itu dikategorisasikan
sebagai seni rendah. Dalam konteks sosiologis, status bentuk seni sejenis itu
diidentifikasi sebagai seni bagi segolongan masyarakat yang tak berpendidikan
dan berselera rendah, seni yang kasar dan jauh dari tujuannya untuk memperhalus
batin manusia. Ronggeng, Bajidor, atau dangdut koplo, oleh parameter semacam
itu, agaknya bisa dikategorikan ke dalam seni sejenis ini.
Tampaknya, tradisi perpuisian Indonesia juga memiliki kecenderungan semacam ini. Karya
yang umumnya menjadi penanda penting dalam perkembangan sastra Indonesia selalu
diidentifikasi dari adanya tautan antara keindahan bentuk dan gagasannya pada
kebenaran. Puisi yang selalu memaktubkan berbagai seruan, kegelisahan, atau
renungan ihwal kesadaran pada pencarian kebenaran—mulai dari ketuhanan, hakikat
eksistensi manusia,atau kebenaran di ranah sosial-politik.
Sejak masa Hamzah Fansuri, lasykar Pujangga Baru,
generasi Chairil, Rendra, generasi 1970-an, hingga yang terkini, puisi
Indonesia dipenuhi oleh suara yang menyeru dan merindukan dunia ideal—Sang
Kebenaran. Dunia ideal yang digapai-gapai dalam sedu-sedan puisi relijius Amir
Hamzah, yang dirindukan lewat pemberontakan eksitensial Chairil Anwar, yang
diserukan dengan teriakkan atau linang air mata dalam sajak-sajak protes sosial
seperti Rendra dan Taufiq Ismail. Bahkan tak jarang, kebenaran yang diimani itu
membuat puisi Indonesia kerap penuh dengan fatwa sosial dan moral.
Puisi Indonesia umumnya adalah lirisme estetika Aku yang berdiam sebagai representasi
pencari dan penyeru kebenaran; yang mengasingkan diri dan mengutuki segala
kebusukan di sekelilingnya, atau yang mengepalkan tinju demi memperjuangkan
kebenaran. Jika pun di situ Aku lebur dalam kebusukan, maka puisi
itu menjelma sebagai estetika pertobatan yang mengharukan, yang sayup-sayup
menyeru dunia ideal kebenaran yang dirindukan, sebagaimana gumam Chairil
Anwar “Si Binatang Jalan”; Tuhan aku mengembara ke negeri asing / di pintuMu aku mengetuk dan tak bisa
berpaling
Sebaliknya, amat langka kita bersirobok dengan Aku
estetik yang merepresentasikan keburukan atau kejahatan, lebih lagi yang mengimani
keduanya. Seakan puisi Indonesia adalah
teks yang tak memiliki hubungan biografi dengan apa dan siapapun yang
memproduksinya. Setidaknya, perpusian
Indonesia umumnya adalah Aku sebagai strategi kesadaran yang tak berjarak dari kebenaran
dan moralitas yang diimani masyarakatnya. Oleh sebab itu, dalam tradisi
perpuisian Indonesia tak ada Aku atau
apapun yang menjadi personifikasi gagasan penyair, yang merepresentasikan kejahatan atau
menyimpang dari kebenaran, norma, dan moralitas masyarakatnya—Aku guy, Aku lesbi, Aku koruptor, Aku kejahatan, Aku Iblis.
Meski terlalu jauh untuk mencurigai jangan-jangan perpuisian
Indonesia dibangun dengan beban kebenaran serupa tradisi moralitas Viktorian, namun
satu hal yang jelas, keindahan di situ diimani sebagai milik kebenaran. Puisi
adalah keindahan dan keindahan puisi adalah pencerahan bagi pembacanya untuk
menemukan atau merenungi cahaya kebenaran. Ringkasnya, puisi Indonesia terlalu
terhormat untuk meniru apa yang dilakukan oleh sebuah lagu yang berisi pengakuan
seorang penjahat bernama Bento.
**
DALAM diskusi di Bandung, ada saya mencatat paparan
Berthold Damshäuser dan Agus R Sarjono ihwal salah satu kekuatan yang melatari
keindahan puisi Trakl, yakni, kejujuran. Saya kira ini menarik di tengah
kelangkaan puisi Indonesia yang menolak dibebani oleh kebenaran. Mentautkan
puisi Trakl yang kelam dan segala kedurjanaan dalam biografinya, kita seakan
diberi tahu bahwa keindahan bisa berselisih jalan dengan kebenaran. Bahkan,
keindahan bukan soal putih-hitamnya kebenaran dan kejahatan. Segala pemandangan
yang mendebarkan dalam 42 sajak Trakl dalam kumpulan “Mimpi dan Kelam
Jiwa”, berada di luar hasrat untuk
menjadi pemilih antara menyuarakan kebenaran atau menghembuskan kejahatan.
Hasrat satu-satunya yang dimiliki Trakl tampaknya
hanyalah menghadirkan kembali pengalaman
hidupnya yang paling menggelisahkan. Dan itu dilakukannya dalam pencarian
bentuk estetik seraya melepaskan
keindahan dari segala beban kebenaran dan moral. Dalam sajak Trakl, bentuk
sebagai keindahan ialah bentuk itu sendiri demi merepresentasikan segenap
pengalamannya yang mengerikan. Pengalaman yang berada di luar kelaziman norma dan
moralitas umum. Sebaliknya, estetika bentuk yang penuh pertimbangan dalam
puisi-puisinya tidaklah juga difungsikan untuk menyuarakan kejahatan. Ia,
Trakl, hanya berhasrat menulis puisi meski dari bagian hidupnya yang paling
durjana sekalipun. Satu hal yang langka ditemukan dalam perpuisian Indonesia.
Jika ditamsilkan dengan lukisan, sajak Trakl
bukanlah lukisan Otto Dix. Pelukis Jerman dengan keindahannya yang lugas dalam
menampilkan segala bentuk kehancuran manusia. Tapi, puisi Trakl adalah dunia
kelam dari kejahatan manusia yang mengerikan dalam keindahan kanvas Rembrant
yang penuh perhitungan warna, pencahayaan, komposisi.
Di tengah eforia fundamentalisme moral dan
riuh-rendahnya industri nasihat yang mengajarkan kebenaran, di tengah haru biru
keindahan puisi Indonesia dengan berbagai kebenaran “Platonis”-nya, tampaknya
inilah faedah yang termaktub dalam puisi-puisi Trakl—bahwa keindahan itu adalah
hak segala perbuatan. Membaca puisi-puisi Trakl, kita akhirnya tahu betapa
kejahatan yang paling memalukan sekalipun bisa berfaedah untuk sebuah keindahan. Puisi-puisi Trakl, akhirnya, juga berfaedah
demi menjadi semacam upaya membebaskan keindahan dari beban kebenaran.**
Sumber:
Jurnal Sajak No.4 Tahun 2012
Tidak ada komentar:
Posting Komentar