Oleh AHDA IMRAN
BILA
perpuisian
Melayu Nusantara ditamsilkan sebagai sebuah sungai, dari hulu hingga ke hilir,
maka melayarinya bukanlah pekerjaan mudah. Sungai itu terlalu besar, berhulu di
suatu masa sebelum abad ke-16, bahkan pula ada yang menyebut sejak awal abad
ke-7. Terlebih pelayaran itu demi mengandaikan terbentangnya sebuah pemetaan
ihwal kekayaan khazanah perpuisian Melayu.
Ada banyak alun dan riak yang ditemukan,
yang seluruhnya niscaya minta ditautkan dengan ihwal fenomena gerak identitas,
sehingga pelayaran di sungai besar puisi Nusantara itu tak terjebak ke dalam
impresi yang serba romantik.
“Perpuisian Nusantara dari Hulu hingga Hilir: Perspektif Historis, Filosofis, dan Eksistensi”. Begitu tema yang diusung oleh perhelatan Pertemuan Penyair Nusantara (PPN) VI yang berlangsung di Jambi, 28-31 Desember 2012.
Perhelatan tahunan ini tak hanya diikuti oleh ratusan
penyair yang datang dari sejumlah kota di Indonesia, tapi juga oleh sejumlah
penyair dari Malaysia, Singapura, Thailand, Brunai, dan dua negara peninjau
(Korea dan Prancis). Selain itu tentu hadir pula para pengamat sastra,
kritikus, hingga kalangan akademisi.
Selama tiga hari, seluruh peserta diajak berlayar di
sungai besar perpuisian Nusantara dalam beberapa seminar perbincangan. Mulai dari yang mengurai kesilaman berbagai bentuk perpuisian Melayu yang berada di
hulu, semisal, pantun, seloko, mantera, hingga bergerak ke hilir menatap
sekalian jejak kesilaman itu pada bentuk puisi modern sebagai akar dan jejak. Lebih dari sekadar ingin
menjadi pembeda dari lima PPN sebelumnya, PPN VI Jambi mengajak orang melayari
perpuisian Nusantara dengan tautannya pada perkembangan sastra lokal, yakni,
perpuisian berbahasa Jawa dengan pembicara Siti Chamamah Soeratno, perpuisian Sunda
(Tedi Muhtadin) , dan perpuisian Bugis (M. Aan Mansyur), dan puisi lama Jambi
(Puteri Soraya Mansur). Tautan ke ranah
tradisi di luar Melayu ini tampaknya menarik, paling tidak bisa luput dari
kesan bahwa perpuisian Nusantara hanya beridentitas pada perpuisian
Melayu.
Pilihan melayari puisi Nusantara dari hulu ke hilir
ini memang dirancang dengan keinginan menjadikan PPN VI Jambi sebagai evaluasi atas lima pelaksanaan PPN sebelumnya, yakni, Medan Sumut (2007),
Kediri Jatim (2008), Kuala Lumpur Malaysia (2009), Brunei Darussalam (2010),
Palembang Sumsel (2011). Selain seminar,
juga diterbitkan buku antologi puisi bertajuk “Sauk Seloko”. Buku ini memuat
300 sajak karya 213 penyair dari Indonesia, Malaysia, Singapura, dan Brunei
Darusslam. Sedangkan makalah para pembicara seminar termaktub dalam buku
“Mengangkat Batang Terendam: Telaah Perpuisian Melayu Nusantara Mutakhir”.
Melayu
nan Romantik
Manakala Nusantara dipahami sebagai sebuah
geo-kultural dengan bahasa Melayu sebagai identifikasinya, maka perbincangan
ihwal perpuisian Nusantara tak bisa mengelak dari bahasa dan sastra Melayu
sebagai hulunya. Ini memang semestinya sebelum perbincangan dilepas mengalir ke
hilir. Sastrawan Abdul Hadi W.M memulaiya dengan serangkaian pemaparan ihwal
tautan antara perpuisian Melayu dan tasawuf, juga perkembangan di awal abad
ke-20 manakala bahasa Melayu ditating ke dalam tradisi intelektual dalam
konteks kesadaran nasionalisme. Pula begitu
dengan Suratman Markasan yang menghadapkan puisi Melayu dengan estetika Islam.
Pendeknya, ada lima pembicara yang mengurai historitas hubungan perpusian
Melayu Nusantara dan Islam, sembari menegaskan kearifan tradisi di dalamnya.
Tentu saja menarik, seandainya saja di sana-sini
tidak terasa bagaimana segenap uraian itu masih meletakkan Melayu dengan cara
pandang yang serba romantik. Melayu yang melulu ditetapkan sebagai masa silam
yang arif dan agung, yang dikenang dengan sekalian estetika perpusiannya. Cara pandang
semacam ini akhirnya menjadi gagap ketika ia dihadapkan pada fenomena kekinian
yang bertaut erat dengan soal politik identitas. Ini, misalnya, sempat muncul ketika
seorang peserta seminar mempertanyakan sejauh mana ungkapan-ungkapan sastra lama
Melayu Jambi (Seloko) berdaya membangun kesadaran dalam konteks kekinian di
tengah friksi sosial yang kerap muncul di tengah konflik lahan yang
menghadapkan pribumi dan para pendatang.
Sayangnya, pertanyaan ini luput dikembangkan menjadi
perbincangan ke arah bagaimana sebenarnya jejak sastra lama yang kerap disebut
sebagai kearifan lokal itu memberi kontribusi pada cara pandang terhadap yang
liyan. Dengan kata lain, bagaimana semestinya menafsir kearifan yang menjadi
pesan dalam khazanah tradisi lama itu dalam konteks kekinian manakala beragam
identitas berbaur yang kerap memicu perselisihan.
Maka perbincangan di wilayah hulu ini tak ayal lagi
hanya berputar di situ-situ juga. Meski tak berada dalam forum atau sesi
seminar yang sama, beruntunglah kesuntukan ini bisa dijawab oleh Prof. Jakob
Sumarjo. Alih-alih mengulang-ulang struktur estetika pantun, mantera, seloko,
dan fungsinya, Jakob Sumarjo memaparkan apa dan bagaimana desain kosmologis
yang ada di balik bentuk perpuisian Melayu klasik itu. Berbeda dengan Abdul
Hadi W.M yang melihat pantun sebagai bentuk sastra yang profan, atau yang melulu
melihat tautannya dengan gerakan tasawuf yang dikembangkan oleh Hamzah Fansuri,
dalam pandangan Jakob Sumarjo pantun sebagai akar perpusian Nusantara sesungguhnya
memaktubkan relasi antara eksistensi manusia dan makrokosmos yang
melingkupinya. Sampiran dan isi ialah representasi dari kesatua manusia dan alam, mikrokosmos dan makrokosmos.
Jejak Hulu di Hilir
Mengurai desain kosmologis di balik mantera dan
pantun inilah, uraian Jakob Sumarjo membawa pelayaran peserta seminar memasuki
hilir perpuisian Nusantara. Termasuk bagaimana jejak-jejak seluruhnya itu
membekas dalam eksplorasi bentuk pada karya sejumlah penyair muda, sebagaimana
uraian Pinto Anugerah. Bila Pinto melakukan penelahaan pada pencarian bentuk
pengucapan sejumlah penyair muda Sumatera Barat terutama tradisi lisan
Minangkabau Pasambahan, Maman S.
Mahayana menyasar pada telaah bagaimana pada akhirnya perpuisian Indonesia
modern tak bisa lepas dari jejak estetika yang berada di hulu tradisinya,
yakni, pantun.
Sekalipun St.Takdir Alisyahbana dan Pujangga Baru di
tahun 1920 dan 1930-an ngotot memproklamirkan apa yang mereka sebut sebagai
puisi baru, namun secara bentuk pengucapan puisi baru itu tetap tak bisa
melepaskan hubungan mereka dengan estetika puisi lama, terutama pantun. Jejak
pantun terasa pula dalam perkembangan berikutnya dalam perpuisian Indonesia
modern, sebagaimana uraian Prof. Suminto A. Sayuti. Dalam pandangannya, pelacakan terhadap jejak puisi Melayu dalam
perpuisian Indonesia modern hendaknya menempatkan perpuisian Melayu itu sebagai
interteks, sebagai sebuah interpretasi.
Berbeda dengan perbincangan di hulu, membaca jejak
perpuisian Melayu dalam puisi Indonesia modern perbincangan sepenuhnya
berkonsentrasi pada unsur kebentukan dan relasinya dengan kesilaman. Meski
Pinto Anugerah, Maman S. Mahayana atau Suminto A. Sayuti ada menyinggungnya,
nyaris tak ada perbincangan yang menyentuh aspek bagaimana mengolah jejak lama
itu ke dalam kekinian. Atau lebih lapang lagi, bagaimana persinggungannya dengan beragam bentuk pengucapan
yang dipungut dari tradisi perpuisian yang liyan,
sebutlah, lirisme, yang kuat mewarnai perpuisian Indonesia modern.
Melayari perpuisian Nusantara dari hulu ke hilir,
ditambah dengan pelacakan ke arah historitasnya, filosofi, dan eksistensinya,
tentu adalah pelayaran yang panjang, yang tak cukup waktu dilayari dalam waktu
tiga hari. Meski para pemakalah telah tampil mengurai dari berbagai segi, bahwa
adanya aspek yang luput tampaknya tetaplah tak bisa terhindarkan. Misalnya,
aspek perkembangan bahasa Melayu sebagai yang niscaya memengaruhi kontruksi
perkembangan perpuisian Nusantara dari setiap masa dan generasi.
Di lain soal, di hadapan berbagai isu yang mewarnai
hubungan negara-negara di kawasan Nusantara sejak beberapa tahun yang lalu,
sebutlah, Indonesia-Malaysia, tampaknya PPN lebih merupakan dunia yang
tersendiri. Karena itulah, seperti PPN VI Jambi, tak ada satu pun butir
rekomendasi yang merujuk pada pandangan para penyair Nusantara ihwal perlunya
merawat dan menjaga persaudaraan di kawasan Nusantara di tengah berbagai isu ketegangan
yang kerap terjadi dalam format yang bernama negara. Puisi dan para penyair
seakan dunia alienasi yang melayari bahasa dan sastra Nusantara, dari hulu
hingga ke hilir.
Tapi apapun, sebgai sebuah even, PPN VI Jambi secara umum telah mampu mengajak ratusan peserta dari berbagai kota dan negara untuk berlayar menyusuri sungai perpuisian Nusantara. Dari hulu hingga ke hilir, mereka diajak kembali membaca akar pula jejak-jejak yang masih terus berdegup dalam perpuisian Indonesia mutakhir. Ada banyak riak dan alun sejarah, filosofi, dan eksistensi yang ditemui di kedalamannya. Seperti para peserta menemukan bagaimana PPN VI Jambi dikelola dengan manajemen even dan militasi kerja pihak panitia yang mengagumkan. **
Catatan : Tulisan yang lebih ringkas dimuat di H.U. Pikiran Rakyat Bandung, 6 Januari 2013
Tidak ada komentar:
Posting Komentar