PENGUMUMAN
hasil
seleksi karya para penyair yang berhak mengikuti Pertemuan Penyair Nusantara
(PPN) VI di Jambi 28-31 Desember 2012, menempatkan 24 nama penyair Jabar.
Selain diundang hadir ke Jambi, karya mereka juga dimuat dalam antologi “Sauk
Seloko” bersama para penyair lainnya dari berbagai kota dan negara. Banyaknya
jumlah penyair Jabar yang lolos seleksi PPN VI Jambi dibanding propinsi-propinsi lainnya, mengulang apa yang
pernah terjadi pada hasil seleksi karya para penyair yang mengikuti Temu
Sastrawan Indonesia (TSI) IV di Ternate Maluku Utara 2011 lalu. Dalam buku
antologi “Tuah Tara No Ate” yang terbit
menyertai even TSI IV, terdapat sejumlah
puisi karya 15 penyair Jabar.
Dari kedua even itu, di antara daftar para penyair
Jabar, umumnya ialah generasi terbaru. Anis
Sayidah, Evi Sefiani, Sinta Ridwan, Nissa Rengganis, Herton Maridi, atau
Pungkit Wijaya. Termasuk pula sejumlah nama generasi terbaru yang mungkin masih terdengar asing bagi publik
sastra di Jabar; Jun Nizami, Khoer Jurzani, Ahmad Syahid, Arinda Risa
Kamal, Rudy Ramdani , Galah Denawa, Neneng Nurjanah, Syarif Hidayatullah, Willy
Fahmy Agiska, Windu Mandela, Romyan Fauzan, Arinda Risa Kamal, atau Zulkifli
Songyanan. Nama-nama ini menyertai sejumlah penyair lain dari lapisan generasi Ahmad
Faisal Imron, Atasi Amin, Toni Lesmana, Bode Riswandi, Heri Maja Kelana, Dian
Hartati, Fina Sato, atau Doni Muhammad Nur.
Banyaknya
jumlah karya penyair Jabar yang terpilih dalam seleksi dua even sastra tersebut,
tentu akan menjadi gegabah bila lantas disebut bahwa karya penyair Jabar lebih
bagus ketimbang penyair dari propinsi lainnya.
Sebutlah, Lampung, Bali, atau
Yogyakarta, atau Sumatera Barat, yang
selama ini selalu memunculkan para penyair generasi terbaru. Mekanisme seleksi
karya demi suatu even tidaklah bisa jadi perangkat untuk mengukur tingkat
pencapaian estetika rata-rata di sebuah propinsi. Terlebih lagi, di luar mereka
yang karyanya terpilih mengikuti even sastra semacam itu, masih terdapat
sejumlah penyair dengan kualitas karya yang tak kalah menariknya. Sebutlah,
Meitha KH, Semi Ikra Anggara, Pradewi
Tri Chatami, Pungkit Wijaya, Peri Sandi Huizche, Jean Reandy Satria, Abdurahman
Mohamad, Dyen Wijayatiningrum, atau Dery Hudaya, untuk menyebut beberapa nama.
Kegairahan
Namun,
banyaknya bilangan penyair Jabar yang lolos seleksi dalam kedua even itu, tetaplah
jadi menarik. Terutama demi mengurangi kecemasan ihwal regenerasi kepenyairan. Tapi
yang lebih penting lagi, pencapaian dengan jumlah bilangan itu baik dibayangkan
sebagai representasi dari tingkat kegairahan perpuisian yang berlangsung di
Jabar. Tingkat kegairahan yang tak lagi melulu berlangsung di Bandung, Tasikmalaya,
atau Cirebon sebagai kota yang selama ini menjadi penanda dalam dinamika
perpuisian di Jabar. Tapi juga Sumedang, Cianjur, dan Depok. Ini jika muasal
atau domisili para penyair yang karyanya terpilih dalam dua even sastra
tersebut digunakan sebagai ukuran.
Berbagai
agenda komunitas sastra, dari mulai diskusi karya, lauching atau peluncuran
buku, hingga pembacaan puisi, merupakan embrio dari kegairahan tersebut. Kegairan yang melahirkan pula bentuk
berikutnya dari intesitas pergaulan sastra. Apalagi lantas berkait pula dengan
kehadiran beragam media sosial, yang tak sekadar difungsikan untuk
menyosialisasikan karya dan pembacaan, tapi pula menjadi ruang yang tak tersendirikan
dari bentuk lain dalam hasrat melakukan mobilitas sosial. Lebih dari itu, jejaring sosial telah pula
memengaruhi jumlah dan keberagaman publik sastra.
Setidaknya,
sebelum kehadiran media sosial, mudah sekali mengenali mereka yang rajin menghadiri
berbagai acara pembacaan dan diskusi puisi. Demikian pula dengan keberagaman
komunitas sastra yang sebelumnya hanya terkonsentrasi di kampus-kampus. Meski
tentu hal ini juga terjadi di banyak tempat, namun inilah yang membangun
tumbuhnya kegairahan berpuisi di Jabar.
Bila
kemudian kegairahan berpuisi di Jabar lebih besar ketimbang di daerah-daerah
lain, dengan meletakkan perbandingan keterpilihan dari dua even itu sebagai
ukuran, maka ada banyak kemungkinan yang bisa diperiksa sebagai musababnya.
Bisa iklim apresiasi dan karakter sosialnya yang berbeda, pola manajemen
komunitasnya. Atau, mungkin pula besaran kegairahan berpuisi di daerah lain itu
sebenarnya sama, atau bahkan lebih besar. Hanya saja hasrat para penyairnya
untuk mengirim karya agar diundang ke sebuah even sastra barangkali tidaklah
sebesar antusiasme penyair Jabar.
Kerumunan
Tapi apapun,
seperti membilang jumlah penyair Jabar yang terpilih mengikuti TSI IV Ternate
dan PPN VI Jambi itu, kegairahan perpuisian
di Jabar tentu tetaplah suatu kebahagiaan. Itu artinya, puisi masih memiliki
pesona yang menggairahkan bagi ihtiar meneruskan tradisi penciptaan. Terlebih lagi mereka umumnya ialah para
penyair muda. Namun, diam-diam, tetaplah
ada sesuatu yang tak bisa disangkal, bahwa kegairahan itu dicemaskan hanya berhenti
sekadar menjadi kegairahan. Kegairahan
yang bahkan berpotensi menjadi kerumunan.
Baik
kerumunan dalam konteks perayaan memproduksi teks sonder tradisi penemuan,
kerumunan dalam berbagai peristiwa dan agenda sastra sonder perbincangan atau
pemikiran yang produktif. Pula kerumunan
dalam pergaulan sastra, termasuk di jejaring sosial, yang melulu dipenuhi
semangat budaya lisan. Tanpa tradisi penemuan, atau ihtiar ke arah itu,
dan melulu
kerumunan, kegairahan berpuisi niscaya akan menemukan titik jenuhnya. Tak
pernah ada tradisi penciptaan, apalagi tradisi penemuan, yang lahir dari
kerumunan.
Barangkali memang
diperlukan ruang tunggu lebih lapang untuk menanti munculnya penyair muda
dengan ihtiar menemukan strategi estetis yang lebih keras kepala, yang bisa meluputkan
dirinya dari kerumunan semacam itu. Strategi
yang membayangkan jejak keras pencariannya untuk luput dari kerumunan “estetika” yang sudah menjadi umum.
Strategi yang tak melulu sibuk memperlakukan bahasa sebagai pekerja yang
sebenarnya tak lebih dari sekadar memfungsikannya untuk melakukan berbagai reproduksi.
Mulai dari metafora hingga bangun suasana dan sikap pengalaman di hadapan tema.
Strategi yang memperlihatkan kesuntukkannya memberi tenaga pada kata-kata.
Tapi di
antara kegairahan berpuisi yang berkerumun itu, ada juga karya-karya menarik yang
diperlihatkan oleh penyair generasi terbaru. Paling tidak, pada karya mereka
terasa benar adanya intensitas dan ihtiar dalam memperlakukan bahasa serta
strategi penghampirannya pada tema. Sebutlah, Anis Sayidah, Pradewi Trichatami,
Ratna Ayu Budiarti, Edwar Maulana atau Pungkit Wijaya.
Bila benar
bahwa kegairahan berpuisi tidaklah mesti berujung pada lahirnya generasi
kepenyairan berikutnya, setidaknya karya mereka bisalah diharap berada di luar
kebenaran itu. Sehingga kelak mereka bisa melapis generasi Toni Lesmana, Faisal
Syahreza, Ahmad Faisal Imron, Semi Ikra Anggara, Bode Riswandi, Heri Maja Kelana,
atau Yopi Setia Umbara. Tapi itupun sepanjang
mereka tetap setia merawat konsistensinya. Kegairahan yang tak terjebak dalam kerumunan.**
Tidak ada komentar:
Posting Komentar