“They see torture. They see corruption. They see rigged elections. What can they do? Of course: The only tool in their hands is their fingertips. And the keyboard” (Said Sadek)
PERNYATAAN sosiolog Mesir di atas merujuk pada sebuah kenyataan, bahwa hanya tinggal satu cara untuk menganggu dan menggugat kekuasaan yang zalim, yakni, ujung jari di keyboard komputer dan handphone. Menyebarkan kesadaran bersama ihwal berbagai ide perubahan dan solidaritas, seraya membentuk perlawanan sosial setelah institusi resmi seperti parlemen dan media konvensional (TV, radio, koran/majalah) tak lagi bisa diharapkan. SMS, e-mail, blog, Facebook, hingga Twitter segera menjadi ruang inkubasi berbagai ide perubahan dan perlawanan.
Di Mesir, ruang inkubasi ini menjadikan korban sebagai ikon perlawan lewar akun Facebook “We Are All Khaled Said”, dengan 40 ribu fans. Khaled Said adalah seorang pemuda yang tewas dianiaya polisi Mesir. Di ruang inilah informasi dan ide-ide perubahan diperbincangkan, mulai dari chat, tulisan, foto video, komentar, hingga kemudian komunitas virtual ini menemukan klimak dari proses inkubasinya berupa gerakan perlawan yang menjungkalkan rezim Hoesni Mubarak.
Itu di Mesir, juga yang terjadi sebelumnya di Tunisia. Internet menjadi ruang yang menakutkan bagi para penguasa. Di Indonesia, jauh sebelum apa yang terjadi di Mesir, media sosial pun menjadi ruang yang efektif untuk mengelaborasi kekuatan dan solidaritas masyarakat sipil. Mulai dari Gerakan Koin Keadilan untuk Prita Mulyasari, hingga pembentukan opini kolektif dalam kasus Bibit-Chandra.
Semuanya, sekali lagi, tidak dilakukan lewat media-media konvesional (TV, radio, koran/majalah), tapi lewat jejaring sosial Facebook, blogg, Twitter, sampai SMS. Terakhir, lewat media sosial seperti Wikileaks yang kemudian dijadikan sumber pemberitaan dua koran Australia, Sidney Morning dan The Age, orang nomor satu di negeri ini dibuat meradang akibat pemberitaan tersebut, bahkan konon sampai membuat istrinya menangis.
Paradoks Demokrasi
Meski dianggap sebagai ‘demokrasi elektronik’ atau ‘demokrasi semu’, tapi makin sulit dibantah bahwa media sosial akhirnya tak hanya sekadar menjadi bagian dari gaya hidup. Ia telah menjadi penanda tersendiri, khususnya dalam memengaruhi berbagai peristiwa sosial. Ia menjadi representasi dari kenyataan bahwa kini setiap individu adalah media. Betapa pun semunya kenyataan virtual itu, ia berangsur-angsur bukan lagi melulu menjadi ruang cengengesan. Ia telah menjadi penanda tersendiri dari perkembangan kultur demokrasi di bawah bimbingan kemajuan teknologi informasi dan komunikasi.
Dalam wacana politik, pengamat sosial Yasraf Amir Piliang memandang, karena bentuk ruangnya yang virtual, maka keberadaan media sosial baik diidentifikasi sebagai 'ruang publik virtual' (virtual public sphere). Keberadaan media sosial telah mengubah secara radikal kultur politik, karena sifatnya yang lebih terbuka, fleksibel, interaktif, tetapi juga lebih liar, anonim dan tanpa identitas. “Karena sifat terbuka tapi sekaligus liar inilah, maka media sosial menciptakan semacam 'paradoks demokrasi', khususnya paradoks kultur demokrasi,”ujarnya.
Di satu pihak, media sosial memperkuat bangunan masyarakat sipil (civil society), karena media sosial memiliki kekuatan amat dahsyat dalam menyampaikan suara rakyat atau aspirasi warga sekaligus untuk mengganggu penguasa. Tapi, di pihak lain, sebagai ruang publik virtual, media sosial memiliki karakter yang justru bisa merusak fondasi kultur demokrasi itu sendiri. Bagaimanapun, demokrasi memerlukan sebuah sistem konstitusi dan sistem etika yang mengikat, sebaliknya masalah utama media sosial adalah pada sistem aturan dan etika yang belum terumuskan secara jelas dan mengikat. Juga sifat media sosial yang bertahan seketika (ephemeral), yang menyebabkan ikatan emosional, sosial dan ideologis dari 'warga' yang berkumpul di dalamnya juga tidak permanen dan rapuh.
“Padahal, sebuah kekuatan politik memerlukan ikatan emosional dan ideologis yang bertahan lama dan kohesif. Selain itu, budaya politik yang berkembang di dalamnya adalah 'budaya politik instan', dengan kekuatan yang bertahan seketika dan gagasan ideologi politik yang kurang memiliki konsistensi. Saya kira, mengurangi efek paradoks inilah yang perlu dipikirkan,” tutur penulis buku “Hypermoralitas” ini.
Upaya mengurangi efek paradoks yang disebut Yasraf, tentu tidaklah mengurangi relevasi media sosial dalam bangun budaya demokrasi. Demikian pula betapa pun di dalamnya pemahaman banyak orang ihwal realitas kini berada dalam wilayah negosiasi dan kontestasi yang tidak stabil, relevansi itu agaknya tetaplah tidak bisa ditiadakan. Satu hal yang jadi niscaya, keberadaan dan kekuatan media sosial telah membuat representasi mekanisme politik yang sebelumnya digenggam oleh sejumlah kanon dan institusi mapan, kini mengalami semacam desakralisasi atau peluruhan.
Karena itulah, menurut seniman dan aktivis budaya yang getol mencermati dinamika jaringan sosial, Gustaff Hariman Iskandar, pusat-pusat kekuasaan saat ini sudah menyebar di sembarang titik persimpangan dan jaringan. Tampaknya, mekanisme operasi aparatus kekuasaan yang baru kini tidak hanya ditentukan oleh kekuatan kapital. Tapi juga oleh informasi dan ilmu pengetahuan.
“Hal ini menjadi semacam arena baru yang ikut mendekonstruksi ranah kebudayaan dalam maknanya yang paling luas. Salah satu prasyarat demokrasi adalah akses dan partisipasi. Sejak tahun 1998, saya kira teknologi internet dan media digital dan ragam media sosial yang muncul belakangan telah jadi komponen penting yang mendorong lahirnya budaya demokrasi,” ujarnya.
Perjalanan Masih Panjang
Meski mengandung paradoks dan media sosial dan cenderung menggiring orang pada pemahaman realitas dalam negosiasi yang tidak stabil, media sosial tetap merupakan ruang yang mempunyai pengaruh besar dalam perkembangan kultur demokrasi. Media sosial memang memiliki kesanggupan menciptakan manipulasi informasi, rekayasa citra, simulasi realitas, sehingga media macam ini menciptakan problem besar untuk membedakan yang benar dan palsu, asli atau tiruan, fakta atau rekayasa. Sehingga, ada keraguan yang besar terhadap informasi, pengetahuan dan kebenaran (truth).
Tapi, menurut Yasraf , dengan sifatnya yang terbuka atau koridor aksesnya yang tanpa pagar dan batas, di sisi lain telah mengakibatkan segala bentuk rahasia dan kebohongan yang selama ini disimpan rapih (oleh individu, kelompok atau negara) demi memanipulasi realitas, kini dapat dibeberkan dalam media sosial, seperti yang dilakukan Wikileaks. Kini setiap orang harus hati-hati dalam berkata, berkomunikasi dan bertindak. Artinya, media sosial berperan besar dalam melakukan fungsi pengawasan (surveillance) dan pendisiplinan diri (disciplinary) dalam wacana dan tindakan politik,” paparnya
“Media sosial sangat berperan dalam menegakkan tiga pilar dari sistem demokrasi, yaitu 'kebenaran'(truth), 'keterpercayaan' (trust) dan 'kejujuran' (true). Karena, melalui media sosial kini segala bentuk kepalsuan dan kebohongan dapat dibongkar dan disebarluaskan kepada masyarakat luas,” tutur Yasraf.
Ihwal sifat media sosial yang paradoks, ia mengatakan diperlukan semacam 'kecerdasan budaya' (Cultural Intelligence) dalam ranah politik. Khususnya kecerdasan dalam membedakan yang benar dari yang palsu. Hanya melalui cara itulah kultur demokrasi yang terbuka, ruang publik demokrasi yang dialogis dan masyarakat demokratis yang cerdas dapat dibangun, agar kebohongan tidak dilawan dengan kebohongan yang lain.
Dikotomi antara apa yang virtual dan yang nyata memang kian cair. Menurut Gustaff Hariman Iskandar keduanya sama-sama penting dan relevan bagi proses perubahan dan demokratisasi. Tapi, seraya menyepakati pandangan Clay Shirky, Gustaff mengatakan bahwa perubahan revolusioner tidaklah terjadi begitu saja ketika masyarakat mengadopsi perkembangan teknologi terbaru.
Dalam pandangannya, keterkaitan antara media sosial dan perubahan harus diperiksa terus menerus. Apakah benar keberadaan media sosial melahirkan pola perilaku dan kesadaran baru yang secara konstruktif merubah situasi ke arah yang lebih baik? Atau, jangan-jangan hanya sekadar mendorong masyarakat menjadi lebih konsumtif dan berada di bawah bayang-bayang hegemoni rezim tekno-sosial yang represif dan otoriter?
“Perjalanan kita sepertinya masih panjang. Apa yang kita alami saat ini tampaknya baru sekedar riuh rendah 'noise' demokrasi, belum menyentuh substansi. Tapi, tanda-tanda ke arah yang lebih baik tetap ada, meskipun masalah yang kita hadapi saat ini semakin kompleks,” katanya. (Ahda Imran)**
Sumber: Pikiran Rakyat, 21 Maret 2011