pada suaminya Tommy Herlambang (Ayez
Kassar), sebelum dengan ketus masuk ke dalam kamar. Lalu ia keluar dari dalam
kamar dengan pakaian yang maskulin, celana jins, kaos putih ketat, dibalut baju
hangat merah panjang dan syal.
Tommy menatapnya heran. Nora bukan lagi
perempuan yang dikenalnya. Istri yang manja dan diperlakukan bak boneka
kesayangan. Angsa putih cantik yang selalu harus menurut. Kini di hadapannya
berdiri seorang perempuan yang menatapnya dingin.
Perempuan
yang menggugat seluruhnya hasrat kuasanya sebagai suami dan lelaki. Perempuan
yang berkata sinis, “Kamu tidak pernah mencintaiku. Kamu hanya menemukan
kesenangan dan kepuasan jatuh cinta padaku. Papa memanggilku sebagai boneka
kecilnya, dan dia senang bermain denganku seperti aku bermain bersama
boneka-bonekaku. Di kemudian hari aku pindah ke kehidupan lelaki lain, yang
bernama suami itu, di rumahmu ini, dan aku hanya menjadi boneka dan pajangan
untuk kesenanganmu di rumah!!”
Adegan itu
menjadi klimaks pemberontakan Nora dalam pertunjukan “Rumah Boneka (A Doll’s House)” karya Henrik Ibsen,
diterjemaahkan dan diadaptasi oleh Faiza Mardzoeki. Sebelum ia melepas cincin
perkawinannya, membanting pintu, pergi meninggalkan anak dan suaminya. Pertunjukan
yang disutradarai Wawan Sofwan ini merupakan produksi bersama Institut Ungu,
Pentas Indonesia, mainteater Bandung, dan Kedutaan Besar Norwegia Jakarta.
Pertunjukan berlangsung di teater tertutup Taman Budaya Jawa Barat, 25-26 April
2012.
“Rumah
Boneka” mengisahkan Nora yang sejak gadis hingga menikah dan menjadi seorang
istri yang diperlakukan dalam kemanjaan yang membuatnya dipandang lemah dan tak
berdaya. Angsa putih yang manis dengan seluruh perhatian sekaligus aturan.
Ketika suatu kali ia diam-diam mengambil inisiatif untuk membiayai pengobatan
suaminya yang sakit keras, Nora terlibat dalam persoalan yang jadi rumit. Ia
terlibat dalam pemalsuan tanda tangan demi mencairkan pinjaman uang itu.
Akibatnya, pemalsuan itu mengancam kedudukan suaminya di sebuah bank.
Rahasia Nora
akhirnya terbongkar. Tapi alih-alih memahami tindakan istrinya, Tommy menganggap Nora telah menjerumuskannya.
Ia memaki dan menyebut Nora sebagai perempuan yang dungu. Tapi ketika Togar
(Teuku Rifnu Wikana) mencabut ancaman pengaduan tersebut, Tommy tiba-tiba
berkata lembut bahwa ia memaafkan Nora. Pada situasi inilah Nora memberontak.
Ia tak bisa lagi menerima perlakuan suaminya. Ia merasa tak dihargai. Ia merasa
tak boleh menjadi siapapun, kecuali hanya menjadi boneka kesayangan.
Karena
itulah Nora melepas pakaian angsa yang dipakainya. Pakaian yang disenangi
suaminya. Peristiwa yang minta dimaknai sebagai cara seorang perempuan
mengambil hak atas tubuhnya kembali setelah selama ini, lewat pakaian angsa
itu, tubuhnya menjadi milik dan kuasa suaminya. Dan inilah inti dari gagasan
pertunjukan. Kesadaran perempuan untuk mengambil hak dirinya sebagai subjek
otonom di hadapan kuasa masyarakat lelaki. Kuasa yang selalu mendapat “restu”
dari kuasa negara dan tafsir otoritas agama.
Realisme yang Utuh
Menampilkan
aktris perempuan Bandung Heliana Sinaga dan sejumlah pemain lainnya yang
umumnya jebolan Institut Kesenian Jakarta (IKJ), pertunjukan berlangsung dalam
gaya realisme yang utuh. Gaya pemanggungan yang memerhitungkan benar setiap
detail dari adaptasi naskah. Sebuah keluarga kelas menengah atas di Jakarta.
Setting ruang tamu, tangga loteng, lampu, pula demikian dengan pakaian. Lebih
dari itu, irama pertunjukan, kisahan, dan perluasan konflik sepenuhnya bertumpu
pada detail dialog.
Sebagai
sutradara, Wawan Sofwan tampaknya tak tergoda untuk menciptakan peristiwa
dramatik di luar bantingan pintu, lemparan asbak ke dinding, atau dialog para
tokohnya. Karena itulah, bagi penonton yang mengharapkan adanya
peristiwa-peristiwa dramatik dalam rupa metafora yang puitis dan mendebarkan, terutama
ketika Nora melepas pakaian angsanya, barangkali pertunjukan ini akan terasa
membosankan. Pertunjukan ini kiranya memang tak berpretensi ke arah itu.
Keutuhan realisme Ibsen yang menyuguhkan teater dalam peristiwa keseharian
mesti tetap dijaga.
Sebagai
“teater gagasan”, karya-karya Ibsen memang selalu meletakkan kekuatan
dramatiknya pada detail dialog dan
kesiapan aktor dalam mengolah perannya. Dialog dan laku tubuh dalam
karya-karya Ibsen seakan menjadi kunci dari gagasan pertunjukan. Meski tidak
terlalu istimewa benar, beruntunglah umumnya pertunjukan ini dimainkan oleh para
aktor yang memahami benar hal itu.
Sebagai sebuah ensemble, mereka mengolah
setiap perannya dengan tertib dan penuh perhitungan seraya mempertegas
posisinya di dalam konflik. Sebutlah, olahan karakter Teuku Rifnu Wikana
sebagai Togar, atau Willem Bevers (Dokter Franky). Tentunya ini seraya mengecualikan
Ayu Dyah Pasha (Linda). Artis sinetron
ini tampak masih belum bisa mengartikulasikan laku tubunya dalam ruang yang
bernama panggung teater.
Mememerankan
Nora, permainan Heliana Sinaga cukup mampu mengolah perannya sebagai pusat dari
seluruh konflik. Terutama ketika konflik perlahan memuncak dan menekan Nora.
Adegan perdebatannya dengan Togar dan Tommy di bagian akhir seolah membayar
permainannya yang terasa monoton di awal-awal pertunjukan. Di bagian ini, pada
pergantian karakter Nora, Heliana Sinaga mampu mengantar emosi pertunjukan ke
pusat konflik.
“Pribumisasi” Ibsen
Pertunjukan
ini berangkat sepenuhnya dari hasil terjemahan dan adaptasi yang berusaha
membawa Ibsen ke dalam suasana Indonesia. Semacam “pribumisasi” Ibsen dari
konteks Eropa Abad ke-19 ke dalam suasana Indonesia hari ini, tepatnya Jakarta.
Strategi adaptasi semacam ini tidaklah mengurangi aktualitas isu yang
diusungnya, yakni, ketimpangan gender, kuasa masyarakat lelaki, dan hasrat
perlawanan perempuan untuk mengambil haknya sebagai subjek otonom, sebagai
dirinya meski ia adalah seorang istri dan ibu.
Menuturkan
proses terjemaahan dan “pribumisasi” Ibsen yang dilakukannya, Faiza Mardzoeki
menyebutkan hal pertama yang dipikirkannya adalah konteks dan peristiwa.
Meskipun secara esensi cerita dan berbagai peristiwanya sangat dekat dengan
kehidupan msayarakat Indonesia. Tetapi karya Ibsen, tetaplah ditulis pada jamannya.
Ada hal yang terasa jauh dalam kehidupan orang Indonesia.
“Misalkan
ketika Nora membawa suaminya berobat ke Italia Selatan demi mencari daerah yang
tenang untuk mengobati penyakit TBC. Mereka adalah keluarga kelas menengah
biasa, pekerja profesional yang kedudukannya yang berusaha semakin bagus
karirnya. Dalam konteks sekarang, penyakit TBC sangat menunjukkan status sosial
dan keadaan ekonomi keluarganya. Orang Indonesia, khususnya Jakarta, tentu
tidak akan berobat ke Italia, tetapi ke Singapura, dan penyakitnya pasti bukan
TBC,” tuturnya.
Secara umum,
pertunjukan berdurasi 2,5 jam dalam tiga babak yang melulu berisi dialog dalam
sebuah rumah tanpa pergantian sett
ini, selama dua hari telah cukup membuat penonton tampak menikmatinya. Paling
tidak di hari kedua. Kekuatan detail dialog para pemain dalam menyuguhkan
konflik, telah membuat penonton melupakan tata lampu dan musik yang kaku dan
abai membantu aksentuasi pertunjukan. Sehingga mereka tak beranjak meninggalkan
tempat duduk. (Ahda Imran)
Sumber: Pikiran Rakyat, 29 April 2012
Sumber: Pikiran Rakyat, 29 April 2012
Tidak ada komentar:
Posting Komentar