MAO Ze Dhong masuk dan berdiri di depan pintu kamar. Sambil memegang topinya, matanya mendelik ke arah perempuan yang duduk di atas ranjang, di balik kelambu. Perempuan itu bergaun merah menyala dengan model yang banyak dipakai oleh gadis-gadis Cina.
Seperti Ketua Mao, perempuan itu bertubuh gemuk. Dia duduk di tepi ranjang. Sikap tubuhnya tampak ragu dan malu-malu. Sebelah tangannya menarik kain kelambu, menutupi separuh tubuh dan wajahnya. Tapi di antara celah kain kelambu, tampaklah ekspresi wajah perempuan itu. Matanya terpejam dan mulutnya setengah terbuka.
Di antara celah kain kelambu, dengan rambut pirang dan ekspresi wajahnya yang tak asing, jelaslah siapa
sesungguhnya perempuan itu. Dia Marilyn Monroe. Sedang di dinding kamar menempel teks dalam tulisan Cina, pepatah yang terkesan sebagai jargon, "Tan bai cong kuan kang ju cong yan" (Kepada yang mengaku akan diberi keringanan dan terhadap yang tidak mau mengaku akan diambil tindakan keras).
Narasi apa sebenarnya yang terjadi sehingga Ketua Mao bisa "menyimpan" bomseks Hollywood itu dalam kamarnya dan seolah menjadikannya salah seorang gundiknya? Serta apa yang terjadi dengan Marilyn ketika ia bergaun gadis cina dengan tubuh yang gemuk semacam itu? Bagaimanakah menghubungkan makna teks pepatah Cina tersebut dengan momentum pertemuan keduanya?
Banyak sudut bisa dihampiri untuk masuk ke balik narasi pertemuan yang ganjil tersebut. Namun, satu hal yang jelas, dalam konteks hari ini, pertemua keduanya menyaran pada gagasan tereduksinya narasi hasrat ideologi besar, komunisme - kapitalisme.
Tak ada penaklukan apapun dalam moment pertemuan kedua sosok yang merepresentasikan narasi konflik komunisme - kapitalisme tersebut. Tubuh kedua Mao yang berdiri menjulang dengan kerling matanya yang tajam dan ketawa renyah Marilyn yang duduk menunggu di balik kelambu, menjadi pertemuan kedua hasrat yang memanipulasi. Tubuh Marilyn yang gemuk adalah tubuh dari hasrat kapilalisme yang malu - malu dalam balutan gaun tradisi gadis Cina.
Pertemuan keduanya di atas kanvas berjudul "Will You Marry Me" karya Arifien Neif itu, seolah menjadi upaya pelukis untuk mengungkapkan, betapa sesungguhnya narasi ideologi (politik) adalah narasi tentang hasrat yang disamarkan oleh kelambu kepura - puraan rasa malu. Komunisme sebagai ideologi yang disuarakan oleh Mao dengan bengis di seantero daratan Cina, jejaknya hari ini hanya tertinggal pada selembar gaun merah yang mebalut hasrat malu - malu wajah kapitalisme.
"Will You Marry Me" adalah satu dari sejumlah karya Arifien Neif dalam pameran tunggalnya bertajuk "Fine Romance" di Museum Nasional Singapura, Singapura 25 -27 April 2008. Seperti pilihan tajuk pameran, dalam pameran tunggalnya kali ini Arifien banyak bertutur ihwal narasi percintaan yang elok, namun sekaligus sayup-sayup di sana-sini menyimpan nuansa kegetiran; tarik - menarik antara kecemasan, kesedihan, kesepian serta harapan yang ada di seberangnya.
Dengan style ungkap ekspresionisme yang kuat, karakter garis yang lepas atau sapuan yang seolah dibiarkan melayang sehingga menimbulkan efek visual yang lembut dan tekstur yang mempertegas aksentuasi kebentukan dalam corak pewarnaan yang cenderung menyala, atau sejumlah pemiuhan dan distorsi pada objek (termasuk tubuh), serta cenderung naif. Kanvas Arifien adalah kanvas penuh dengan narasi gerak dan hasrat ihwal romantisme kehidupan manuasia urban.
Di situ, nyaris seluruh narasi di atas kanvas pelukis yang oleh kritikus Jean Couteau disebut senantiasa menghadirkan berbagai perasaan personal yang kompleks ini, dipenuhi oleh momen hubungan lelaki-perempuan sebagai manusia urban. Romantisme pertemuan (mungkin juga percintaan) keduanya, dihadirkan dalam konteks ruang manusia urban yang terjalin dan berkelindan dengan situasi emosional yang menggelayut, murung, malas, namun juga memancarkan hasrat.
Romantisme
Romantisme hubungan lelaki - perempuan dalam konteks ruang manusia urban seraya menyelinapkan berbagai narasi ihwal hasrat di sebaliknya inilah yang menjadi konsentrasi kuat karya-karya Arifien Neif, dalam pameran tunggalnya kali ini. Atas nama narasi itulah, agaknya kanvas Arifien adalah kanvas yang tak memberi sedikit pun rongga celah yang kosong dari gerak. Kanvas yang selalu penuh dan riuh oleh berbagai penanda hingga ke sudut yang paling detail.
Lanskap kota dan kendaraan yang tampak dari balik daun jendela kamar yang setengah terbuka senantiasa hadir dalam sejumlah karyanya. Seluruhnya seolah merepresentasikan hubungan antara momen di ruang privasi dan lanskap di luar dirinya. Atau mungkin bisa menyaran pada relasi ketegangan antara narasi yang personal dan impersonal. Sebutlah, misalnya, "Sweet Surrender", "Left My Heart in San Fransisco", "Burning With Love", atau "Garelis". Pada "Sweet Surrender", dengan kamar bernuansa merah muda yang romantis lelaki-perempuan tengah berhadapan dalam sebuah adegan yang naratif. Si perempuan berdiri dengan gaun tidur yang transparan. Sikap tubuhnya memperlihatkan ia seperti menyanyi, sedang Si lelaki duduk di sofa mennyaksikan sambil memeluk bantal guling, namun matanya mengerling keluar lewat jendela yang setengah terbuka.
Di dalam kamar, hasrat pertemuan lelaki - perempuan tidaklah juga selalu memperlihatkan momen-momen percintaan seperti tampak dalam "Please Dong Ah". Sesekali tampak juga kesepian yang sayup ("Burning With Love"). Di situ lelaki terbaring malas dalam kamar, sedang perempuan duduk menerawang menatap ke arah kota dari tirai kamar yang terbuka, sementara nyaris seluruh gaunnya melorot. Rasa malas, kesepian, dan hasrat juga terasa dalam "Gerelis" atau "Close Your Eyes and Make Your Own Paradise".
"Lukisan Arifien berbicara ihwal kegembiraan dan kecemasan, kebahagiaan dan kesepian, harapan dan putus asa, platonik dan erotik, yang seluruhnya menjadi situasi emosional yang melingkupi manusia kota di mana mereka merasa terbebas dari tabu," tutur Jean Couteau.
Manusia urban dalam narasi romantisme hasratnya senantiasa memperlihatkan wajahnya yang kontradiktif, antara gairah (desire) dan kesedihan itu sendiri. Di atas kanvas Arifien seluruh pergulatan naasi itu tampak demikian sayup, namun terasa menyelinap lewat kefasihannya mengolah ruang dan mengeksplorasi seluruh elemen estetika visualnya.(Ahda Imran, Pikiran Rakyat April 2008 )***
Tidak ada komentar:
Posting Komentar