Pasar
Sejarah Nusantara
(Menanggapi Binhad Nurrohmat)
Oleh Ahda Imran
ESAI
Binhad
Nurrohmat (BN) Menerawang Kotak Hitam
Nusantara (Kompas, 11 November 2012) menyasar hubungan karya sejarah di
Nusantara dan karya sastra. Hubungan yang diletakkannya sebagai persekutuan
imajinasi dan nalar manakala keduanya melakukan penerawangan atas fakta dan
data sejarah. Meminjam latar penyelenggaraan Borobudur Writers & Cultural
Festival (BWCF) 2012 perihal ruang kosong sejarah Nusantara yang bisa dihampiri
oleh para sastrawan, BN seolah mewaspadai
bahwa ruang kosong itu berpotensi dimasuki oleh karya para pseudonovelis
yang mewartakan sejarah gadungan. Para pseudonovelis yang mendasarkan karyanya
pada data-fakta yang didapat serampangan, atau melulu fantasi-imajinasi serta
menistakan logika sejarah. Di ujung kewaspadaannya itu BN seolah membuat
semacam seruan bahwa diperlukan moral untuk menarasi dan mewartakan sejarah
melalui novel.
Tak ada yang baru sebenarnya dari esai itu. Tapi
kewaspadaan dan seruan moral BN itu tetap menarik untuk diperhatikan, lebih
lagi bila ditautkan pada perbincangan di forum BWCF. Forum yang mempertemukan
pemikiran para novelis berlatar sejarah yang karya dan nama mereka sudah
demikian popular—sebutlah, Aan Merdeka Permana, Hermawan Aksan, Tasaro GK,
Langit Krisna Hariadi. Kewaspadaan dan seruan moral BN karena itu,
terkesan diarahkan pada pertemuan
pemikiran para novelis yang menekan pada
ihwal hubungan sastra dan sejarah, atau yang memperkarakan kedudukan
imajinasi serta penjelajahan estetik di hadapan logika atau data-fakta sejarah.
Kewaspadaan dan seruan moral itu memang ditaruh pada
tempatnya, namun berpeluang memperluas ruangnya demi terus memperkarakan
hubungan sejarah dan karya sastra yang acap menjadi pelik. Dan hubungan itu
bertambah genting manakala ditaruh ke tengah besaran hasrat pasar industri
novel berlatar sejarah. Inilah yang luput dicurigai BN, realitas membludaknya produk novel berlatar
sejarah yang lahir atau yang niscaya bertaut dengan modus hasrat politik pasar
dunia penerbitan. Dan ini pula yang, anehnya, kehadirannya luput dari agenda
perbincangan forum BWCF.
Permintaan-Penawaran,
Politik Hasrat Produsen
Meski dalam filsafat sejarah bahkan Hegel pernah
menyebut berbagai peristiwa pada masa silam dan kekinian tetaplah meliputi satu
ide, namun karya sejarah mustahil sanggup melayani hasrat khalayak perihal
segala yang tersuruk di masa silam. Karya
sejarah (modern) tetaplah tak bisa melampaui kodratnya sebagai catatan lahir ketimbang menjadi catatan bathin. Padahal hasrat
khalayak pada masa silam selalu bertaut dengan pemaknaan narasi identitas dalam
laku bathin. Masa silam ialah negeri kejayaan para leluhur. Guncangan yang
mengganggu berbagai ide ihwal makna identitas dalam ruang kekinian kian
memperbesar hasrat pada masa silam itu. Maka narasi sejarah Nusantara kembali
diperiksa sekaligus dan dicurigai. Masa
silam diimani sebagai negeri para leluhur dengan segala kejayaannya. Itu semua
kembali dicari demi membuktikannya pada kekinian, demi menenangkan pemaknaan
identitas yang terus diguncang oleh berbagai perubahan. Sampai-sampai sebuah
gunung di kawasan Garut beberapa waktu lalu heboh dipercaya sebagai piramida tinggalan
kejayaan leluhur yang lebih tua dari Piramida di Mesir!
Dan hasrat sejenis ini mustahil terpuaskan hanya
oleh catatan lahir dari karya sejarah yang lebih lekat dengan orang sekolahan. Namun
oleh hasrat yang lain, guncangan identitas dan pencarian ke masa silam ini seringkasnya
dibaca sebagai permintaan yang menggairahkan pasar dunia penerbitan buku fiksi.
Permintaan-penawaran terjadi. Novel berlatar sejarah Nusantara bermunculan di
toko buku. Produksi yang membludak menerangkan novel-novel itu disukai
khalayak. Pasar menjadi ramai. Pasar yang belum ada ketika novel Untung Surapati karya Abdul Muis
terbit, juga lakon Sanusi Pane Sadhya kala ning Majapahit dan Saini
K.M (Ken
Arok), atau novel Arus Balik dan Arok-Dedes Pramoedya Ananta Toer. Pasar semacam
ini pernah juga ada, dan kian surut, pada genre novel relijius sejak suksesnya Ayat-ayat Cinta karya Habibburahman
al-Shirazy.
Tentu tak ada alasan
mencurigai hasrat politik pasar dalam industri karya sastra—yang bahkan kitab
sucipun terus diproduksi dan diperniagakan. Novel laris-manis Supernova (Dewi Lestari), Lasykar Pelangi (Andrea Hirata), Ayat-ayat Cinta (Habbibrahman
al-Shirazy), Negeri 5 Menara (Ahmad Fuadi) tentu tak melulu berurusan dengan
nilai keuntungan yang diraup penerbit dan penulis. Pula begitu semestinya yang
dibayangkan dengan pasar dan industri genre novel berlatar sejarah. Sebuah
pasar yang niscaya bisa membawa khalayak ke dalam berbagai narasi sejarah
Nusantara, demi mencari dan menyegarkan kembali berbagai ide pemaknaan
identitas dalam realitas kekinian.
Namun ternyata pasar novel berlatar sejarah lebih
menunjukkan gelagatnya sebagai hasrat politik produsen bagi pembesaran grafik
permintaan-penawaran. Produksinya terus digenjot sebagai bacaan popular yang
disukai khalayak dengan penyiasatan kemasan yang mengaburkan batas antara karya
fiksi dan karya sejarah. Karena itulah pada sampul novel selalu ada teks
berikutnya yang melengkapi judul yang menegaskan bahwa novel itu adalah
senyata-nyatanya kisah yang terjadi di masa silam dan belum diketahui, seperti
terbaca pada sampul novel Sabda Palon karya Damar Shasangka—tanpa penjelasan bahwa itu
adalah sebuah novel; “Kisah Nusantara
yang Disembunyikan”. Semangat
pencantuman teks menyertai judul ini tentu tak bisa dibaca hanya sebagai siasat
penjualan, di hadapan hubungan karya fiksi (novel) dan sejarah. Dan sangat
langka juga ditemukan novel berlatar sejarah Nusantara yang melengkapi dirinya
dengan pengantar atau tulisan dari seorang sejarawan.
Narasi sejarah yang diwartakan dalam novel niscaya
akan berurusan logika sejarah, akurasi atau validitas data-fakta. Pada mekanis
produksi semacam ini tampaknya kerja editor dan penyuntingan bukan menguji atau
memeriksa muasal dan status sumber yang digunakan novelis. Sensasi berbagai
tafsir pengarang dan imajinasi adalah tanggungjawab pengarang. Dan sebab itulah
novelis produktif Langit Kresna Hariadi sesumbar di forum BWCF, bahwa besok lusa ia saja bisa menulis novel
yang mempertemukan Gajah Mada dan Ken Dedes, karena imajinasi itu hak mutlak
seorang pengarang!
Adanya sumber atau data-fakta yang berbeda atau
menyangkal dari apa yang ada dalam sejarah resmi atau memori khalayak
sebaliknya akan disebut sebagai temuan baru yang bakal menarik perhatian. Karena
itulah Aan Merdeka Permana dalam novelnya Perang Bubat bisa saja menceritakan
bahwa Dyah Pitaloka dan Gajah Mada yang saling jatuh cinta. Atau versi Langit
Kresna Hariadi tentang hubungan gelap Dyah Pitaloka dengan seorang seniman
sebelum ia dibawa ke Bubat, yang bahkan putri itu disebut sudah bukan lagi
perawan.
Durasi
Penciptaan dan Tamasya Masa Silam
Seorang novelis bercerita ketika dulu dihubungi
penerbit yang memesannya menulis novel Perang Bubat. Sementara pengarang lain
menuturkan pengalamannya melakukan riset sejarah di suatu tempat di Kalimantan
selama dua bulan, lalu ia mesti secepatnya menyelesaikan novelnya demi mengejar
tengat waktu yang telah disepakati dengan penerbit. Bila mengandaikan keduanya
representasi dari hubungan novelis dan penerbit, sangat sulit membayangkan
produktivitas dan durasi penciptaan pengarang semacam itu. Lebih lagi di
hadapan berbagai data-fakta sejarah atau sumber dan referensi yang mesti ditelaah
atau dikonfirmasikan dengan sumber lain.
Juga sangatlah sulit membayangkan bagaimana ia
melakukan strategi estetik dan praktik pemaknaan bagi keperluan menghubungan
gagasan kesadaran masa silam dan kekinian. Ini penting agar karyanya tidak
sekadar menjadi tamasya masa silam seperti mesin waktu. Narasi sejarah dan
seluruh misterinya tentu dihampiri bukanlah melulu demi masa silam. Sayangnya,
hingga hari ini, membludaknya penerbitan novel berlatar sejarah belum beranjak
dari fungsinya sebagai mesin waktu yang membawa khalayak bertamasya ke masa
silam. Tamasya yang tak menyentuh kedalaman bathin dan tubuh kemanusiaan di
ruang silam, melainkan hanya berbagai peristiwa besar yang dramatis, tragik, atau
hasrat menjadi kontroversi.
Begitu banyak ruang kosong dalam narasi sejarah
Nusantara. Ruang yang menunggu para sastrawan untuk menggali dan mengolahnya
menjadi sumber dan gagasan penciptaan. Pasar dan industri penerbitan adalah
tenaga yang penting dalam proses tersebut sehingga khalayak bisa menikmati. Namun,
alangkah pelik dan gentingnya
membayangkan bahwa ruang kosong itu nyatanya diisi oleh karya para
novelis yang menistakan data-fakta demi mengumbar imajinasinya dan
memanfaatkan besaran hasrat pasar
industri sejarah. Tentu saja mustahil hasrat itu bisa memberi artikulasi
berikutnya pada hubungan karya sejarah dan karya sastra, kecuali melulu menjadi
hasrat pasar. .
AHDA IMRAN
Penyair
Catatan: Esai ini versi lengkap dari yang pemuatannya di Kompas, 18 November 2012
Tidak ada komentar:
Posting Komentar