--Ahda
Imran, penyair dan
esais
KETIKA
nama Ani Yudhoyono santer disebut sebagai capres yang bakal diusung oleh Partai
Demokrat (PD) dalam pilpres 2014 mendatang,
serta merta oranng diingatkan pada satu alasan ihwal realitas demokrasi.
Realitas yang mesti dipahami sebagai konsensus hak politik setiap warga negara.
Apalagi, alasan itu menguatkan dirinya dengan realitas konstitusi yang tak ada
satu pun bagiannya, yang paling kecil dan tersirat pun, mengatur dikurangi atau ditambahnya hak politik
seorang warga negara hanya karena ia ditakdirkan menjadi seorang istri presiden,
seperti Ani Yudhoyono.
Mengurangi haknya karena alasan seperti itu,
merupakan penyangkalan atas takdir demokrasi yang secara tegas memisahkan domain
publik dan domain domestik. Dari ingatan
semacam ini pula orang diajak memahami kemunculan para istri pejabat daerah ke tengah
arena pertarungan politik (pilkada bupati/walikota). Fenomena politik yang tak
ubahnya dengan transfer kekuasaan, istri menggantikan jabatan suami yang habis
masa jabatannya.
Terpilihnya Hj. Anna Sophanah sebagai Bupati Kab.
Indramayu tahun 2010, tampaknya menjadi “proyek percontohan” yang sukese dalam
peristiwa estafet jabatan atau transfer kekuasaan ini. Semuanya
berlangsung mulus. Tak ada gonjang ganjing apapun, karena memang tak ada alasan
untuk merecokinya. Bukankah rakyatlah yang memilihnya? Bahwa H. Anna Sophanah adalah istri bupati
sebelumnya, Irianto MS Syaifuddin (Yance), apakah lantas takdir jodohnya itu
menjadi suatu hal yang layak diperkarakan?
Pertanyaan-pertanyaan di atas tentu harus juga dilekatkan
pada para istri pejabat daerah lainnya yang tengah bersiap maju ke arena
pilkada di Jawa Barat. Hj. Atty Suharti,SE, misalnya, yang siap maju ke arena
pilkada Kota Cimahi tahun 2012 demi meneruskan jabatan suaminya sebagai
Walikota Cimahi, Itoch Tohija. Sementara
di Kab. Bandung Barat (KBB), istri wakilbupati Ernawan Natasaputra, Dr. Hj. Erni R Ernawan bersiap maju ke
pilkada 2013 sebagai calon dari Partai Golkar, yang ketuanya tak lain adalah suaminya
Ernawan Natasaputra .
Tentu saja ini tak hanya terjadi di Jawa Barat. Di
Kota Prabumulih Sumsel, Hj. Herawati bersiap maju dalam pilkada tahun ini
selepas masa jabatan suaminya Drs. Rachman Djalil sebagai walikota habis. Atau
yang tak kalah menakjubkannya ketika dua istri Bupati Kab. Kediri Sutrisno maju
ke pilkada 2010. Istri tua dan istri muda bertarung di arena pilkada demi
melanjutkan jabatan suami mereka!
Lalu di
depan berbagai alasan ihwal realitas demokrasi semacam itu, adakah yang salah
dan mesti diperkarakan dengan fenomena munculnya para istri pejabat yang
berhasrat meneruskan kekuasaan suaminya? Jawaban atas pertanyaan itu tentu saja
bergantung pada apa dan bagaimana
demokrasi itu dimaknai.
**
TAPI,
rasanya tak perlulah meminjam berbagai
teori politik untuk menganalisa alasan yang menyelubungi dirinya dengan
realitas demokrasi dan hak politik semacam itu. Juga tak perlulah mencoba mencari
alasan yang gagah dengan menganalogikannya pada figur para istri yang mengikuti
jejak suaminya di arena politik, Evita Peron, Hillary Clinton, atau Cory Aquino. Seperti juga tak relevan rasanya fenomena ini
ditautkan dengan hak politik perempuan, seraya menyebut nama Tri Rismaharini
(Walikota Surabaya) atau Suryatati A. Manan (Walikota Tanjungpinang). Dua orang
perempuan yang menjadi kepala daerah tanpa embel-embel meneruskan jabatan suami
mereka.
Fenomena munculnya para nyonya penggede ke arena politik
sebaliknya juga minta dibaca dengan sederhana saja. Seraya juga melihat
hubungan antara realitas demokrasi dan hak politik yang dijadikan alasan,
partai politik yang kini jadi panglima, dan budaya politik sebagai realitas
berikutnya yang menjadi penentu tabiat praktik demokrasi dan politik.
Paduan ketiganya inilah yang acapkali mengapungkan
sejumlah pertanyaan di benak publik. Jika benar pencalonan para istri pejabat
itu berangkat dari alasan hak politik yang termaktub dalam demokrasi, mengapa
hak itu seolah baru disadari sekarang setelah jabatan suaminya akan berakhir?
Jika benar karena pertimbangan kemampuan, sampai sejauh mana objektivitas
pertimbangan itu berada di luar kedudukannya sebagai istri pejabat?
Pertanyaan di atas baik dihampiri lewat kenyataan
bahwa demokrasi itu menyimpan berbagai kegentingan. Konsensus dan konflik.
Partai politik dan budaya politik berbaur di dalamnya. Mungkin kegentingan itu
tak perlu benar dicemaskan sepanjang konsensus dan konflik itu berlangsung demi
meneguhkan apa yang menjadi tujuan demokrasi, daulat rakyat. Sebaliknya,
kecemasan itu akan menemukan alasannya ketika budaya politik kian menunjukkan
gelagat bahwa hubungan partai dan demokrasi menjadi sunsang. Sayangnya, gelagat
inilah yang terus kita temukan.
Partai yang
semestinya menjadi penanda penting demi dinamika demokrasi dan daulat rakyat,
kian menggejala ke arah demokrasi yang menjadi keperluan partai. Keperluan yang
acapkali tak ada urusannya dengan daulat rakyat melainkan hanya sekadar
bungkus. Partai bukan lagi untuk demokrasi, tapi demokrasi untuk partai. Daulat
rakyat yang menjadi pesan demokrasi telah diubah menjadi daulat partai. Daulat
yang, meminjam ungkapan Yasraf Amir Piliang, telah membuat demokrasi menjadi
sebuah ruang gelap. Ruang gelap demokrasi. Ruang yang dihuni oleh partai yang
di dalamnya berlangsung berbagai kesepakatan.
Tentu saja banyak orang tahu bahwa politik adalah
soal kesepakatan. Tawar-menawar kepentingan. Dan mengikuti berbagai peristiwa
ganjil dalam realitas politik yang terjadi di negeri ini, kita pun agaknya
sudah diberi tahu di ruang sejenis apa kesepakatan itu diadakan. Dan sejauh
mana jarak hubungan kesepakatan itu dengan daulat partai dibanding jaraknya
dengan daulat rakyat. Dari kesepakatan dalam ruang gelap demokrasi semacam
inilah orang disuguhi berbagai panggung teater kekuasaan yang sekonyong-konyong
menjadi lazim. Termasuk berlangsungnya proses dinasti kekuasaan di sejumlah
daerah yang dihegemoni oleh sebuah keluarga.
Lalu bisakah
kemunculan para istri pejabat ke arena politik demi meneruskan jabatan suaminya
dengan alasan realitas demokrasi dan hak politik warga negara itu makin meneguhkan
keinsyafan kita pada demokrasi?
Tentu saja bisa. Fenomena ini memberi keinsyafan pada
kita bahwa demokrasi, juga partai, adalah alat, bukan tujuan. Sebagai alat ia
bergantung pada siapa yang mengendalikannya, siapa yang memperalatnya. Sebagaimana
rejim silam pernah memperalatnya, menghiasinya dengan kata bertuah, “Demokrasi
Terpimpin” dan “Demokrasi Pancasila”.
Menerima demokrasi adalah menerima berbagai
kegentingan. Termasuk kegentingan yang muncul dari tabiat partai-partai politik.
Dan risiko itu kian membesar ketika gelagat kian menunjukkan bahwa partai bukan
lagi untuk demokrasi, tapi demokrasi untuk partai, dan menjadikannya hanya
sekadar basa-basi. Atas nama demokrasi inilah berbagai keganjilan dalam
realitas politik di sekeliling kita terus berlangsung. Seperti Itoch Tohija Walikota
Cimahi yang hampir habis masa jabatannya, yang akhir-akhir ini sibuk mendampingi dan
mempromosikan istrinya dalam berbagai baliho berukuran besar yang tersebar di
sejumlah sudut kota, termasuk di kantor-kantor kelurahan.**
Sumber:
Pikiran Rakyat, 1 Mei 2011
Tidak ada komentar:
Posting Komentar