SEBAGAI seorang seniman dan budayawan, Rendra (1935-2009) tak ubahnya dengan bangunan yang memiliki kamar-kamar besar. Dalam bangunan itulah Rendra menunjukkan dedikasi kesenimannya. Bagi Rendra, kesenian haruslah sejajar dengan kehidupan lainnya. Begitu juga menjadi seorang seniman haruslah berdiri sejajar dengan siapapun, tak terkecuali di depan seorang Jenderal. Di mata Rendra, kemampuan emasipasi seorang individu dalam sebuah hubungan sosial haruslah dipuncaki pada yang disebutnya dengan Ananingsun, marganira, ananira magraningsun (Aku ada karena Anda, Anda ada karena aku).
Demikian sebuah pandangan yang muncul dalam diskusi “Sastra dan Teater Rendra: Perjuangan adalah Pelaksanaan Kata-kata” yang berlangsung di Aula Redaksi H.U. Pikiran Rakyat, Sabtu (31/9). Diskusi yang menghadirkan pembicara penyair Afrizal Malna, kritikus teater Radhar Panca Dahana, dan budayawan Hawe Setiawan ini merupakan bagian dari rangkaian Bandung Mengenang Rendra.
Dalam pandangan Afrizal Malna, terdapat beberapa penting dalam perjalanan hidup Rendra yang bisa menjadi penanda dalam membaca karya-karya dan pemikirannya. Misalnya, kepergian Rendra ke Amerika Serikat (AS) di akhir tahun 1960-an untuk belajar drama yang merupakan sebuah perjalanan ideologis. Sepulang dari AS, Rendra mengusung tema-tema penting dalam karyanya.
“Misalnya, teologi pembebasan yang membuat dia menjadi renggang dengan gereja. Dari AS, Rendra juga membawa tema-tema modernisme yang hancur dan dicurigai seperti amat terasa dalam sajak-sajaknya,” ujar Afrizal.
Tapi dengan kritis Afrizal juga mempertanyakan sejumlah pemikiran Rendra ihwal kebudayaan, seperti kumpulan esainya “Mempertimbangkan Tradisi”. Menurut Afrizal, dengan judul itu Rendra seolah meyakini bahwa tradisi itu berada di luar dirinya. “Ini adalah cara berpikir khas orang-orang modernis. Mempertimbangkan tradisi sama halnya dengan mempertimbangkan dirinya sendiri,” papar Afrizal.
Dalam bagian lain, Afrizal menilai bahwa Rendra sesungguhnya lebih menampilkan dirinya sebagai seorang yang amat perduli dengan kebebasannya sendiri ketimbang menampilkan dirinya sebagai seorang pemberontak.
**
SEDANG dalam pandangan Radhar Panca Dahana, Rendra adalah sosok yang tak henti-hentinya berjuang agar kesenian bisa berdiri sejajar dengan kehidupan lainnya. Kritikus teater yang pernah bergabung dalam Bengkel Teater Rendra dan terlibat dalam beberapa produksi ini, menguraikan sejumlah pandangannya dari karakteristik masyarakat yang hidup dalam berbagai kerancuan.
“Inilah schrizofrenia kultural yang menciptakan berbagai kerancuan. Karena itu bangsa ini tak pernah mampu konsisten dan patuh pada aturan-aturan yang dicipakannya sendiri. Dan seorang Rendra hidup untuk menyangkal itu semua,” paparnya.
Sedangkan Hawe Setiawan, lewat kajiannya atas sejumlah esai Rendra menilai bagaimana esai-esai tersebut tampak seperti susunan kosmologi yang berpijak pada keselarasan antara alam dan manusia di bawah naungan Tuhan. Sebagai penulis, kata dia, Rendra tampak seperti seorang shaman yang tiada hentinya menjaga agar tata dunianya tidak sampai menjadi fragmentaris.
“Dengan selalu menegaskan perspektif penyair, Rendra di tengah panggung wacana kebudayaan Indonesia kontemporer tampak seperti penyair tragis atau tokoh dalam lakon tragedi,” kata Hawe. (Ahda Imran)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar