KEBUDAYAAN tak pernah tersebut dalam hiruk-pikuk pilpres
2014. Apa lagi menjadi tema dalam perdebatan capres-cawapres. Bahkan pada
perdebatan capres ihwal pertahanan dan ketahanan nasional, kedua capres tak
sekalipun menyebut ketahanan budaya sebagai bagian dari visi-misi mereka.
Kenyataan ini cukup mengherankan mengingat hubungan negara dan kebudayaan ialah
suatu keniscayaan sebagaimana termaktub dalam konstitusi (Pasal 32 UUD
1945).
Sementara jauh
dari hingar bingar pilpres, RUU Kebudayaan mendesak untuk segera disahkan menjelang
berakhirnya periode keanggotaan DPR RI (2009-2014). Desakan terhadap RUU yang
telah disusun sejak tahun 2011 itu seolah kejar target. Terlebih lagi desakan
juga terus bermunculan dari berbagai komunitas budaya. Terakhir dari hasil Temu
Redaktur Kebudayaan III di Siak, Riau, 20-22 Mei 2014, dalam bentuk Petisi Siak
2014.
Salah satu butir
petisi tersebut ialah desakan agar DPRI dan pemerintah segera mengesahkan RUU
Kebudayaan sehingga pemerintahan baru hasil pilpres 2014 segera bisa
menindaklanjuti. Tak jelas benar bagaimana sebenarnya forum pertemuan para
redaktur kebudayaan itu melakukan
pembacaan atas RUU tersebut, seolah-olah RUU itu tak perlu lagi dipersoalkan.
Inferior
RUU Kebudayaan terdiri
atas tujuh bab dan 94 pasal ditambah penjelasan. Secara umum RUU ini hendak
menjadi landasan strategi budaya dalam berbagai fenomena aktual yang terjadi di
tengah realitas global. Namun, alih-alih menjawab keniscayaan itu dengan penuh
percaya diri, bahkan sejak pagi RUU ini telah memperlihatkan sikap inferior.
Bahkan Inferioritas
ini telah ditaruh sebagai pertimbangan terbitnya UU Kebudayaan, sebagaimana
termaktub dalam Konsideran Menimbang huruf “c” ; bahwa nilai budaya dan keanekaragaman budaya di Indonesia sangat rentan
terhadap pengaruh globalisasi sehingga dapat menimbulkan perubahan nilai budaya
dalam masyarakat.
Kalimat ini
memosisikan globalisasi sebagai antagonis yang berbahaya bagi identitas sistem
nilai berbagai budaya Indonesia. Sebaliknya dari itu, RUU ini memandang
keberbagaian budaya di Indonesia sangat lemah, rentan terhadap pengaruh yang
datang dari luar. Artinya, alih-alih dibaca sebagai ruang dialog, globalisasi
dimaknai sebagai ancaman yang berbahaya. Pandangan ini jelas mengabaikan pembacaan
atas realitas historis, bagaimana beragam budaya di Indonesia terbentuk sebagai
hasil pertemuan dan dialektika kebudayaan yang telah berlangsung sejak ratusan
tahun silam.
Penilaian bahwa
berbagai budaya di Indonesia itu sangat rentan terhadap pengaruh yang datang
dari luar, membawa logika penilaian; budaya global itu kuat dan budaya Indonesia
itu lemah. Sangat sulit membayangkan strategi budaya suatu negara dijalankan di
atas landasan UU yang disusun dengan pertimbangan yang inferior semacam ini.
Pengendalian
Penilaian bahwa
budaya Indonesia sangat rentan, akhirnya menjadi pembenaran pentingnya
pemerintah mengelola, mengawasi, dan mengendalikan kebudayaan, sebagaimana RUU
ini memaktubkannya dalam Pasal 1 Poin 5.
Asumsi bahwa budaya Indonesia lemah di tengah globalisasi lebih jauh
memberi peran besar pada pemerintah untuk tak sekadar mengawasi dan mengendalikan,
namun juga melindungi.
Tentu saja
adalah kewajiban negara melindungi berbagai aset dan potensi budaya. Namun
dalam RUU ini bentuk proteksi yang dilakukan muncul dari ketidakpercayaan bahwa
berbagai budaya di Indonesia memiliki mekanisme perlindungan dirinya. Oleh
sebab itulah ada sembilan pasal yang menyebut pembentukan Komisi Perlindungan
Kebudayaan. Komisi ini dibentuk oleh pemerintah dan bertanggungjawab pada
presiden.
Tugas pokok komisi ini adalah
mengawasi penyelenggaraan kebudayaan, membuat sejumlah kriteria dampak negarif
kebudayaan, hingga menetapkan status sebuah bentuk budaya yang berdampak
negatif.
Dengan eufemisme
melindungi, komisi ini lebih terkesan sebagai perpanjangan tangan pemerintah; mengawasi, mengontrol,
menyensor beragam ekspresi kebudayaan. Keberadaan komisi ini jauh dari menjamin
kebebasan masyarakat dalam memelihara dan mengembangkan nilai-nilai budayanya,
sebagaimana dimaktubkan dalam Pasal 32 UUD 1945.
Pembacaan yang
lebih kritis dan hati-hati atas RUU Kebudayaan tampaknya lebih diperlukan
ketimbang mendesak pengesahannya. Mengesahkan RUU ini menjadi UU Kebudayaan
dengan semangat yang akan menjadi landasan bagi dominasi pemerintah serupa itu,
risikonya kelewat besar. Apalagi hanya demi kepuasan para anggora DPR untuk melunasi
semua kewajibannya.**
Sumber: Pikiran Rakyat, 19 Juli 2014
Tidak ada komentar:
Posting Komentar